(Persembahan Untuk Para Sahabat)
Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu...Ikhwan and akhwat...moga hati kita dipertautkan karena-Nya
Terimakasih Telah Menjadi Sahabat Dalam Hidup kami

rss

Rabu, 31 Oktober 2007

Kutunggu Kau Dineraka


dibagikan kepada semua penghuni kamar ini, bahwa sebentar lagi akan dibagikan beberapa tiket gratis menuju istana alam baka... barang siapa berminat untuk mendapatkannya, anda hanya cukup berjudi saja, atau mabuk dikit juga boleh. disana anda akan disuguhi sebuah minuman hangat yang masih fresh bersama dengan api yang membara. makanan istimewa yang masih basah bercampur dengan soda susu dari nanah. bagi yang tertarik, hubungi dajal kontak kami di no (jangan) 24434

Hikmah Hari Ini


[51] Wahai Rasul-rasul, makanlah dari benda-benda yang baik lagi halal dan kerjakanlah amal-amal soleh; sesungguhnya Aku Maha Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan. [52] Dan sesungguhnya agama Islam ini ialah agama kamu agama yang satu asas pokoknya, dan Akulah Tuhan kamu; maka bertakwalah kamu kepadaKu. [53] Kemudian umat Rasul-rasul itu berpecah-belah dalam urusan agama mereka kepada beberapa pecahan, tiap-tiap golongan bergembira dengan apa yang ada pada mereka. [54] Maka biarkanlah mereka tenggelam dalam kesesatannya itu hingga ke suatu masa. [55] Adakah mereka menyangka bahawa apa yang Kami berikan kepada mereka dari harta benda dan anak-pinak itu.

Hikmah Hari Ini


Barangsiapa mengerjakan amal saleh, itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan al-Jaatsiyah : 15

CINTA YANG MEMBARA



Rumah tangga idaman muslim, selain memberikan ketenteraman atau sakinah, juga penuh dengan rasa cinta alias mawaddah. Perasaan cinta adalah fitrah antara laki-laki dan perempuan. Allah mengistilahkan sebagai sebuah ‘kecenderungan’ untuk saling tertarik, dan kemudian tenteram karenanya.

Cinta memang cenderung bermakna fisikal. Karena itu, Rasulullah mewanti-wanti agar suami atau istri selalu menjaga penampilannya di hadapan pasangannya. Bukan hanya ketika ada orang lain. Tetapi ketika di rumah.

Rasulullah mengingatkan begini:
Cucilah bajumu, cukurlah rambutmu, bersihkan mulutmu, berhias dan bersucilah. Bani Israil tidak pernah melakukan seperti itu, sehingga istri mereka berzina.

Jadi menjaga penampilan sangatlah perlu dan dianjurkan di dalam Islam. Karena itu, agama Islam sangat memperhatikan soal kebersihan, kerapian dan kesucian. Bahkan setiap hari 5 kali kita diperintahkan untuk membersihkan dan mensucikan diri, lewat aktivitas wudhu dan shalat wajib.

Penampilan yang buruk dan jorok bakal mendorong terjadinya masalah dengan pasangan kita. Bahkan bisa mendorong munculnya ketidakpuasan dan terjadinya perselingkuhan. Baik pada istri maupun suami. Mereka merasa orang lain lebih menarik dari pada pasangannya.

Nah, Islam sangat menganjurkan agar kita memupuk rasa cinta itu. Rasa kesenangan dan kebahagiaan yang dipengaruhi oleh faktor fisik. Termasuk hal-hal yang berkait dengan penampilan, kebersihan, kelembutan ucapan, dan kepuasan hubungan biologis.

Salah satu tujuan perkawinan memang adalah menyalurkan hasrat cinta. Sebuah hal yang menjadi fitrah manusia. Sehingga Rasulullah bersabda:
Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin dapat menjaga mata dan kemaluanmu (dari berbuat zina.)

Ini sangat manusiawi. Apalagi pada anak-anak muda yang sedang dalam dorongan libido sangat tinggi. Perkawinan digunakan untuk menyalurkan hasrat secara lebih mulia dan terhormat. Bisa menghindarkan dari perbuatan zina yang merusak budaya dan kesehatan masyarakat.

Maka, rumah tangga Islam harus dibina supaya tetap ‘membara dalam cinta’. Harus menjadi ‘surga dunia’ dalam hubungan cinta. Jangan sampai ada yang lebih menarik daripada suami atau istri kita.

Karena itu, Rasulullah menasehati kita agar benar-benar menjaga kehamonisan. Dimulai dari bertutur kata yang halus. Bersikap lembut. Bahkan selalu menampakkan pandangan mesra kepada istri atau suami.

Sebab, tutur kata dan sikap yang kasar akan menyakitkan hati. Dan ini akan sangat berpengaruh pada hubungan selanjutnya yang lebih intim. Bisa menyebabkan tidak 'mood' pada saat bermesraan. Dan muncul ganjalan hati.

Rasulullah selain berpenampilan bersih dan harum, selalu berkata lemah lembut kepada istrinya. Bahkan suka menggunakan panggilan-panggilan kesayangan kepada istrinya. Misalnya, beliau menyebut Siti Aisyah dengan Humairah, ‘Yang Bersemu Merah’.

Itu adalah bumbu kemesraan, yang akan terus menjadikan cinta tetap membara dalam rumah tangga kita. Memunculkan kemesraan dan kerinduan sepanjang waktu. Sehingga beliau bersabda begini untuk umatnya:
Hanya lelaki yang mulia yang berlaku lemah lembut kepada istrinya. Sebaliknya hanya lelaki yang hina yang suka bersikap kasar kepada istrinya.

Bahkan dalam hal bermesraan dengan istri beliau memberi nasehat begini:
Apabila salah seorang di antaramu menggauli istrinya; maka hendaklah ia melakukan dengan tulus. Dan jika ia telah mencapai hajatnya (orgasme) sebelum istrinya mencapai (orgasme) hendaklah dia bersabar sampai istrinya menyelesaikan pula.

Begitulah Rasulullah mengajarkan sikap penuh cinta dan saling memperhatikan pasangannya. Bukan hanya kepentingan dirinya sendiri. Insya, Allah dengan cara ini, kita bisa menjaga rumah tangga kita sebagai surga dunia. Rumah tangga yang mawaddah, penuh cinta membara.
Selain itu, jangan ragu-ragu untuk selalu memberikan yang terbaik buat suami atau istri. Berikanlah apa yang paling disukainya. Karena, itu semua akan menenteramkan dan membahagiakannya.

Jangan canggung untuk memberikan cinta terbaik yang kita miliki, kepadanya. Ia adalah milik kita. Dan kita adalah miliknya. Sehingga Allah berfirman kepada kita di dalam Al-Qur’an untuk menghilangkan keraguan itu.

QS. Al Baqarah (2): 223
Isteri-isterimu adalah sawah ladang bagimu, maka datangilah sawah ladangmu itu sesukamu. Dan lakukanlah (yang terbaik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Namun demikian, Rasulullah memberikan tips praktis kepada kita dalam berhubungan suami istri. Intinya janganlah kita semuanya hari ini. Mesti ada sedikit-sedikit yang dirahasiakan. Untuk diberikan di kesempatan yang berbeda.

Sesuatu yang sudah ‘blak-blakan’ diberikan semua, menjadi kurang 'curious' dan menggairahkan. Cepat bosan. Dan tidak ada tantangannya lagi. Sehingga, Siti Aisyah pernah berkata, bahwa dia dan Rasulullah selalu dalam keadaan yang tertutupi sebagian ketika bercinta dengannya. Lebih menarik. Lebih artistik. Dan menggairahkan.

Namun demikian semua itu berpulang kepada masing-masing individu. Ada yang senang blak-blakan. Ada juga yang senang sedikit tersembunyi. Toh semuanya sudah menjadi milik kita. Mau diapakan saja silakan...

Begitulah rumah tangga Islam. Harus dikelola secara baik dan penuh cinta. Bukan hanya untuk sekarang, melainkan untuk selama-lamanya, sampai maut memisahkan keduanya.
Yang juga perlu dipahami, barangkali adalah kecenderungan kesenangan antara laki-laki dan perempuan. Dalam bercinta, laki-laki dan perempuan memiliki ukuran kepuasan yang sedikit berbeda.

Laki-laki lebih mementingkan tercapainya orgasme, sedangkan perempuan lebih kepada perasaan disayangi dan dicintai. Karena itu, seorang perempuan bisa merasakan kepuasan, meski tidak mencapai orgasme seperti lelaki. Walaupun, jika ia mencapai orgasme akan lebih komplet kebahagiaannya.

Perasaan diperhatikan dan disayangi suami, dan sekaligus bisa melayani atau membahagiakan suami, seringkali lebih dominan dalam mendorong kepuasan seorang istri. Akan tetapi, pada seorang lelaki, orgasme merupakan kepuasan puncaknya. Jika tidak tercapai bisa ‘sakit kepala’

Karena itu Rasulullah mengingatkan kepada para istri untuk memahami hal ini. Jangan sampai ketika dibutuhkan oleh suami, tidak mau melayani. Meskipun dengan alasan sedang berpuasa atau ibadah.

Rasulullah bersabda demikian:
Satu hari pun seorang istri tidak boleh berpuasa tanpa ijin dari suaminya, jika suaminya sedang berada di rumah. Kecuali pada bulan Ramadan.
[HR. Ahmad Bukhari & Muslim]

Demikian pentingnya kepuasan seorang suami atas istrinya, sehingga mengalahkan puasa sunnah. Dan Allah mencurahkan ridhaNya atas seorang istri yang taat kepada suami demi kebahagiaan rumah tangganya. Keluarga yang mawaddah, yang penuh cinta membara... (Firliana Putri)

SANG BUAH HATI




Apakah yang menjadi tujuan perkawinan Anda? Sekadar untuk melampiaskan dorongan biologis? Untuk membahagiakan pasangan yang Anda cintai? Untuk melahirkan generasi yang kuat, sejahtera dan bahagia di belakang kita? Atau, lebih jauh dari itu.

Semua itu akan mempengaruhi jalannya biduk rumah tangga yang sedang kita arungi. ‘Tujuan’ menentukan ‘cara’. Bahkan menentukan hasil. Tujuan yang salah dan tidak baik akan berpengaruh tidak baik pula pada hasil yang kita capai. Bahkan juga pada proses yang kita jalani.
Rumah tangga yang baik dan bahagia adalah rumah tangga yang sejak awal sudah diorientasikan untuk mencapai tujuan yang baik dan bahagia. Itulah rumah tangga yang dilandasi dengan tujuan ibadah.

Dari sekian banyak tujuan ibadah itu, salah satunya adalah menghasilkan keturunan yang salih dan salihah. Anak-anak yang meneruskan misi dan visi ibadah kepada Allah semata. Itulah yang diajarkan oleh nabi Ibrahim sejak awal. Sang Nabi Kesayangan Allah yang ditugasi untuk menyampaikan agama Islam kepada manusia, hingga diteruskan oleh nabi-nabi keturunan beliau - termasuk nabi Muhammad saw.

QS. Al Baqarah (2): 124
Dan, ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim".

Keturunan yang berkualitas adalah salah satu tujuan ibadah dalam membangun rumah tangga. Dimulai dari suami dan istri yang berkualitas, bakal menghasilkan rumah tangga yang berkualitas pula. Rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Dan kemudian, hasil berikutnya, adalah keturunan yang berkualitas. Anak-anak yang salih dan salihah. Begitulah, Allah mengajarkan kepada setiap muslim agar menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Dan menjadikan rumah tangganya sebagai surga dunia...

QS. At Tahrim (66): 6
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

QS. Al Furqaan (25): 74
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Keluarga yang penuh ketenteraman dan kebahagiaan. Dan anak-anak yang menyejukkan hati dengan segala tingkah laku mereka yang Islami. Bukan keluarga yang penuh dengan pertengkaran dan amarah, dikarenakan perbuatan anggota keluarga yang salah. Atau anak-anak yang bermasalah.

Anak-anak yang salih dan salihah bakal tumbuh dari keluarga yang salih dan salihah juga. Jiwa mereka diukir dengan contoh-contoh konkret dalam realitas kehidupan mereka. Oleh doa-doa tulus kedua orang tuanya. Oleh nasehat-nasehat bijak yang penuh kasih sayang.

Rasulullah saw memberikan nasehat kepada umatnya agar mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Karena seorang anak terlahir bagaikan kertas putih tanpa cela. "Orang tuanyalah yang menjadikan dia itu muslim, nasrani, yahudi atau majusi."

Di sinilah kita jadi memahami kenapa Allah mengatakan, jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka. Jika kita tidak bisa menjaga diri kita dari api neraka, maka keluarga kita pun akan terimbas karenanya. Maka keluarga dan rumah tangga kita pun menjadi neraka dunia. Sebaliknya jika kita bisa menjaga tingkah laku sesuai dengan perintah Allah dan rasulNya, maka kita pun merasakan bahagia. Rumah tangga bagaikan surga dunia. Anak-anak, istri dan suami menjadi penyejuk hati. Menyegarkan jiwa...

Anak-anak yang salih dan salihah adalah anak-anak yang cerdas secara intelektual, dewasa secara emosional dan matang secara spiritual. Maka keluarga Muslim harus berupaya menjadikan anak-anaknya memiliki kecerdasan yang paripurna. Gizinya tercukupi. Kemampuan analitis, rasionalitas, logika, dan skill-nya harus terlatih dengan baik. Karena di sinilah bertumpu kecerdasan intelektual sang anak.

Selain itu, sejak kecil anak-anak kita juga harus memperoleh latihan kematangan emosi. Melatih anak supaya sabar dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Mendorong anak-anak supaya bersikap rendah hati, tidak sombong dan mampu mengendalikan emosi.

Memotivasi anak agar memiliki empati dan rasa belas kasihan kepada sesama, dan lain sebagainya, yang akan menjadikan anak-anak kita memiliki kematangan emosi. Cerdas secara emosional.

Karena ternyata, banyak kasus menunjukkan kesuksesan seseorang itu sangat dipengaruhi oleh kematangan emosinya dibandingkan dengan intelektualnya. Intelektual yang tinggi saja, tanpa dibarengi dengan kematangan emosional seringkali memunculkan masalah dalam kelompok beraktivitasnya.

Cerdas, tapi pemarah misalnya. Pinter, tapi tak sabaran dalam mengambil keputusan. Atau punya skill bagus, tapi tak bisa bekerjasama dengan tim. Dan lain sebagainya. Maka, sejak kecil seorang anak mesti dilatih untuk memiliki kematangan emosi yang bagus.

Dan lebih dari semua itu, kematangan spiritual memegang peranan kunci dalam keberhasilan seseorang. Orang pintar, emosinya terkendali, sekaligus penuh keikhlasan dan kesabaran dalam bekerja, bakal mencapai suatu hasil yang sempurna.

Apalagi kalau semua itu diorientasikan untuk kemaslahatan orang banyak - atas nama Allah yang Rahman dan Rahim - maka hasilnya akan semakin sempurna. Itulah yang di agama kita disebut sebagai rahmatan lil ‘alamiin – menjadi rahmat bagi seluruh alam. Inilah tujuan puncak beragama.


QS. Al Anbiyaa' (21): 107
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Maka, sebuah rumah tangga muslim harus menghasilkan keturunan yang berkualitas untuk tujuan yang sangat mulia : bermanfaat buat dirinya, buat keluarganya, buat orang-orang di sekitarnya, dan buat seluruh makhluk yang berinteraksi dengannya.

Allah menciptakan manusia untuk membentuk tatanan kehidupan universal yang penuh kedamaian dan kebahagiaan. Sebab, sejak awal, manusia memang diciptakan sebagai manajer Bumi. Khalifah di muka Bumi.

Dan kita sebagai orang tua diberi amanah untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang berkualitas secara paripurna bagi kemaslahatan kehidupan di planet Bumi. Karena itu Allah sangat memuliakan orang tua. Mereka adalah wakil Allah di muka Bumi, dalam konteks ikut ‘menciptakan’ generasi-generasi yang Islami.

QS. Al Ahqaf (46): 15
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguh-nya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

Ayat di atas memberikan gambaran betapa mulia dan bahagianya rumah tangga muslim. Sebab, berumah tangga tidak hanya dikaitkan dengan kebutuhan biologis semata, melainkan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Istimewanya, dengan budaya berkeluarga secara turun temurun.
Coba cermati ayat tersebut, Allah memerintahkan manusia untuk menghormati ibu bapaknya. Karena beliau berdualah kita menjadi ada di muka bumi. Dengan segala susah payah dan pengorbanannya, mereka membesarkan kita hingga dewasa.

Jasa mereka tidak bisa kita ukur dengan apa pun. Mereka bagaikan wakil Allah yang ditugasi khusus untuk mengawal kehadiran kita sebagai khalifatu fil ardhi. Calon pemimpin di muka bumi.

Karena itu sesudah dewasa, seorang anak yang salih akan ganti mendoakan orang tuanya agar mereka disayangi Allah sebagaimana orang tuanya menyayanginya sejak kecil. Tidak ada balasan yang setimpal yang bisa kita berikan kepada orang tua kita, kecuali kasih sayang Allah yang tiada terbatas.

Bahkan, bukan hanya berhenti di situ, ayat tersebut mengajarkan kepada kita, agar berdoa kepada Allah bagi anak keturunan kita. Anak cucu kita. Entah sampai berapa generasi ke depan, agar mereka menjadi pemimpin-pemimpin yang salih dan rahmatan lil alamin.

Karena itu Rasulullah saw mengajari agar kita mendoakan orang tua setiap selesai shalat: Allahummaghfirli waliwaalidayya warhamhumma kamaa rabbayaani shaghiira. "Ya Allah ampunilah dosa-dosa kedua orang tua kami, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah mengasuhku sejak kecil,"

Islam mengajarkan keluhuran budi pekerti kepada kita semua. Dan tidak pernah melupakan jasa orang lain kepada kita. Apalagi orang tua kita yang tercinta. Sehingga dalam ayat berikut ini Allah menegaskan kepada kita agar, suatu saat nanti, ketika orang tua sudah berusia lanjut dan tidak berdaya, janganlah kita berbuat yang tidak pantas kepada mereka.

Ingatlah, bahwa merekalah yang melahirkan kita, membesarkan kita, mendidik kita, dan memberikan segala-galanya untuk kebahagiaan kita. Maka, jangan sekali-kali berkata kasar. Apalagi berbuat yang menyakitkan hati.

QS. Al Israa' (17): 23
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan-lah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Coba lihat, Allah melarang kita berbicara dengan nada tinggi. Apalagi membentak kepada bapak ibu kita. Bahkan berkata ‘Ah’ dengan nada yang agak keras saja dilarang oleh Allah. Ucapkan kata-kata yang mulia kepada mereka berdua.

Kenapa Allah berfirman secara khusus tentang hal ini? Karena kejadian seperti ini banyak terjadi. Begitu banyaknya anak-anak yang sudah dewasa tidak bisa membalas budi kepada orang tuanya. Maka, setidak-tidaknya berkatalah lemah lembut kepada keduanya. Mereka tidak meminta balasan berupa harta benda dan hal-hal yang bersifat material. Cukup dengan memberikan ‘perhatian’ yang baik sebagaimana mereka telah mengasuh kita selama ini.

Kekuatan fisik mereka sudah berkurang seiring dengan usia. Kemampuan intelektual mereka pun sudah jauh menurun. Banyak hal yang mereka butuh bantuan. Betapa sedihnya kalau anak-anak mereka tidak mau lagi memperhatikan kondisi mereka. Siapa lagikah yang bisa dan mau memberikan bantuan itu?

Maka Allah memberikan perintah secara tegas lewat ayat di atas, dengan penekanan "Jika mereka sudah berumur lanjut, dan dalam pemeliharaanmu...," muliakanlah mereka.

Kita harus ingat, bahwa kita yang sekarang masih muda ini pun suatu ketika akan menjadi tua. Seperti orang tua kita. Jika kita tidak berbuat baik kepada orang tua, maka nanti kita akan dibalas oleh anak-anak kita. Diperlakukan seperti saat kita memperlakukan orang tua kita.

Sebaliknya, kalau kita memperlakukan dengan baik, apalagi memuliakan mereka, maka anak-anak kita bakal mencontoh apa yang kita lakukan itu. Pada waktu kita sudah tua renta, anak-anak kita bakal ganti memperlakukan kita dengan mulia. Persis seperti contoh yang kita berikan kepadanya, saat kita memuliakan ibu bapak kita.

Tentu, bukan hanya orang tua kandung dari pihak suami saja. Atau orang tua kandung dari pihak istri saja. Melainkan kedua-duanya. Orang tua kandung dan mertua sudah menjadi orang tua kita semua. Sebab, bagi anak-anak kita, mereka itu adalah sama saja: Eyang dan Kakek-Neneknya.

Kalau kita berlaku tidak baik kepada salah satu diantaranya, maka anak-anak kita pun akan meniru memperlakukan kita seperti itu kelak.

Ah, betapa indahnya berumah tangga di dalam ajaran Islam. Kita sedang diajari Allah untuk membangun budaya dan peradaban dalam skala yang kecil.

Jika rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang bahagia, maka ini akan menular kepada lingkaran yang lebih besar. Orang tua kita ikut bahagia. Mertua kita pun ikut bahagia. Saudara-saudara juga ikut bahagia. Bahkan kalau kualitas rumah tangga ini demikian baiknya, kebaikan itu akan menular ke siapa saja yang berdekatan dengannya. Itulah yang disebut sebagai rahmatan lil alamin, merahmati siapa saja yang ada di sekitarnya.

Rumah tangga adalah unit terkecil dari masyarakat. Jika setiap rumah tangga muslim bisa menjadi contoh rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, maka masyarakat yang ada di sekitarnya pun bakal menjadi masyarakat yang sakinah mawaddah wa rahmah. Masyarakat yang tenteram, penuh cinta dan kasih sayang di dalam ridha Allah yang Maha Bijak lagi Maha Penyayang... (firliana Putri)

MENGATASI SYAHWAT DENGAN SYAHWAT



Bagaimanakah cara mengatasi dorongan syahwat yang menggebu? Dalam sejarah kemanusiaan kita melihat banyak orang mengatasinya dengan banyak cara pula.

Ada yang berusaha mematikan syahwatnya dengan cara tidak kawin, dan lantas menyibukkan dirinya dengan ritual-ritual peribadatan yang keras, supaya ia bisa melupakan dorongan syahwat itu.

Sebaliknya, ada yang justru mengumbar syahwat dengan kawin banyak -poligami ataupun poliandri- secara legal. Atau dalam bentuk selingkuh dan berzina secara sembunyi-sembunyi.

Pada dasarnya syahwat atau libido adalah butuh penyaluran. Jika tidak, maka ia akan mengganggu secara fisik maupun psikis. Namun, disalurkan pun jika tidak benar, juga bakal menimbulkan masalah. Bahkan bisa lebih besar!

Dalam bahasa laki-laki, syahwat adalah salah satu dari 3-Ta - Harta, Tahta, Wanita. Semuanya memang adalah godaan, sekaligus ujian. Harta adalah cobaan dan ujian. Tahta alias kekuasaan juga cobaan dan ujian. Demikian pula wanita juga cobaan dan ujian.

Sebenarnya inti permasalahannya itu bukan pada harta, tahta atau wanita, melainkan pada syahwat terhadap harta, syahwat terhadap tahta dan syahwat terhadap wanita.

Jika syahwat terhadap harta tidak disalurkan dengan benar pun, akan muncul masalah. Seseorang bisa menjadi jahat karenanya. Mencuri, merampok, korupsi dan semacamnya adalah bentuk syahwat terhadap harta.

Jika kita mengumbar syahwat terhadap harta, maka kita akan diperbudak olehnya. Semakin lama semakin menggiurkan, sekaligus membutakan mata hati kita. Tujuan hidup kita, tiba-tiba membelok kepada mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Padahal, tadinya hanya sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidup sekeluarga. Akan tetapi, setelah semua itu terpenuhi, tiba-tiba saja kita ingin mengumpulkan lebih banyak, dan lebih banyak lagi. Ingin menikmati lebih besar, dan lebih besar lagi. Ingin bersenang-senang sepuas-puasnya.

Sampai pada titik ini, kita mulai dihinggapi keserakahan syahwat kita terhadap harta. Kita boleh saja mengatakan, bahwa mengumpulkan harta itu sah-sah saja. Bahkan baik, karena kita bisa beramal lebih banyak dari biasanya.
Akan tetapi, ternyata itu hanya omongan mulut kita saja. Alasan sesungguhnya ada di dasar hati yang paling dalam, yaitu: ingin memuaskan syahwat kita terhadap harta. Semakin banyak semakin nikmat rasanya. Kalau ini yang terjadi, maka kita sudah berada di bibir ‘jurang masalah’. Tinggal menunggu jatuh saja.

Tidak ada bedanya dengan Tahta alias kekuasaan. Ini juga berpotensi menggiring seseorang kepada syahwat yang tidak terkendali. Penguasa-penguasa negara super power misalnya, adalah orang-orang yang mengumbar syahwat kekuasaan.

Semula kekuasaan itu digunakan untuk melindungi masyarakat. Akan tetapi, pada orang-orang yang mengumbar syahwatnya, kekuasaan itu menjadi alat pemuas keserakahannya. Tidak cukup hanya memerintah negerinya sendiri, mereka lantas menjajah negara lain tanpa perasaan bersalah. Ada yang dengan cara brutal, ataupun dengan cara-cara yang dilegalkan.

Inti persoalannya bukanlah legal atau tidak legal, melainkan niat yang tersembunyi di dalam hatinya. Mencari harta dengan berbisnis itu legal. Tetapi kalau dia melakukannya dengan semata-mata demi memuaskan syahwatnya terhadap harta, maka itu menjadi serakah namanya. Dan bakal menuai masalah.

Demikian pula kekuasaan. Menjadi pemerintah, anggota DPR, MPR, ataupun PBB adalah legal dan halal. Akan tetapi jika cara itu digunakan untuk memuaskan syahwat kekuasaan, maka hasilnya pun adalah masalah.

Maka, ketika berbicara tentang syahwat seks masalahnya tidak jauh berbeda dengan harta dan kekuasaan. Kuncinya bukan pada legal atau tidaknya. Melainkan pada niat yang ada di dalamnya.

Beristri itu adalah cara legal dan halal untuk menyalurkan hasrat seksual kita. Akan tetapi, hati-hati menjadi serakah. Sebagaimana harta dan kekuasaan, syahwat seks ini berpotensi menjebak kita untuk berasyik-masyuk di dalamnya, berburu kenikmatan, sehingga menjadi lupa diri.
Kuncinya, adalah pada niat yang ada di balik perbuatan itu. Jika beristri diniatkan untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah serta untuk menyalurkan libido secara benar dan tidak berlebihan, seperti kita bahas di depan, maka ini menjadi benar dan baik-baik saja.

Akan tetapi jika kemudian kita berburu kenikmatan untuk memuaskan syahwat sesksual kita dengan cara mengumpulkan istri sebanyak-banyaknya, maka kita lantas menjadi serakah.

Ini tidak ada bedanya dengan harta dan kekuasaan yang kita kumpulkan sebanyak-banyaknya itu. Niatan kita sudah berbelok. Menjadi berburu kepuasan syahwat.

Yang namanya kepuasan tidak akan pernah kita dapatkan. Yang bakal muncul adalah mencari kepuasan yang lebih tinggi lagi. Kalau niatnya poligami adalah untuk memuaskan syahwat, maka dijamin itu hanya akan terjadi beberapa saat saja. Tak lama kemudian, pasti akan terbayang-bayang: bagaimana ya nikmatnya punya istri lebih banyak lagi ?

Ini tak ada bedanya dengan sudah punya mobil, lantas pingin punya mobil lebih banyak lagi. Sudah menjadi gubernur pingin jadi presiden, dan penguasa dunia. Syahwat manusia tak pernah ada habisnya. Tak akan pernah terpuaskan.

Karena itu adalah keliru kalau kita mencoba mengatasi desakan syahwat kita dengan cara mengumbar syahwat agar tercapai kepuasan yang kita inginkan. Dan karenanya pula, tidak akan pernah anda temui di dalam Al-Qur’an ayat yang membolehkan poligami karena alasan syahwat..!

Sunyi dalam Ramai, Ramai dalam Sunyi



Jika perjalanan tafakur kita menembus batas-batas cakrawala, menapak langit-langit hingga Sidratul Muntaha, pastilah berakhir dengan keterjengahan hati kita, bahwa segalanya menuju, demi dan untuk Rabbul Izzah, Allah Ta’ala. Itulah awal perjalanan keikhlasan kita, disaat tafakur sunyi menapakai “Inna sholaati wa-Nusukii wa-Mahyaaya wa Mamaatii Lillahi Robbil ‘Alamin…” (Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah…).

Menuju Arsy kita bertemu dalam hamparan Liqo’ Allah, dalam sunyi paling sunyi, karena segala hal selain Allah sirna, dan yang ada hanyalah Wajah Allah. Tetapi dalam sunyi paling sunyi, ghuyubul ghuyub itu, betapa tiada terperi, berhamparan cahaya yang meramaikan, lebih ramai dari keramaian apapun juga, karena KemahaanNya Yang Rahman bersinggasana mengatur semesta. Seluruhnya berada dalam genggamanNya yang serba sunyi senyap dalam ghuyubul ghuyub, dan ketika dilepaskannya dalam hamparan keleluasaanNya, betapa ramainya dalam taburan tasbih kepadaNya, atas Kemahasucian asma-asmaNya.

Kita baru memahamiNya ketika kembali ke dunia nyata, dengan segala keramaian peradaban, kesemrwutan manusia, tumpukan- tumpukan problema yang silih berganti antara cahaya dan kegelapan, bahkan suara-suara, rupa warna tiada tara, toh berujung pada kesunyian hati dalam sudut paling lorong, ada denyut jantung terus bersamaNya.

Bagaimana tidak? Yang nyata dalam fenomena, yang tampak oleh mata kepala, yang terdengar oleh telinga, yang teraba oleh indera, telah membawa tarikan pesona yang mengalpakan kita di lembah Ghafalat, yang dibuai oleh tarian-tarian syahwat, telah melemparkan kita di batas Hijab: kita telah berada dalam jurang jinabat. Dan Rumah Allah melarang orang-orang junub untuk memasukinya, kecuali telah bersuci dari Jinabat Ghafalat (kealpaan pada Allah)-nya.

Bertanyalah kepada bukit biru menjulang gagah, siapakah anda? Bertanyalah pada gulungan-gulungan ombak di lautan, siapakah anda? Bertanyalah desau angin nan lembut dan badai yang menggelora, siapakah anda? Bertanyalah pada bunga tulip di pagi hari ketika mekar bersama gejora dan fajar hari, siapakah anda? Bertanyalah kepada api yang membakar dan seluruh energi semesta, siapakah anda? Ternyata semua menjawab serentak dalam “harmoni konser pesona”: “Sesungguhnya kami adalah fitnah, maka janganlah anda kufur!”. Jawaban yang meledakkan seluruh dirinya, merobek seluruh nafsu kita, mencekam seluruh ketakutan, dan sekaligus mendendam kerinduan cinta kita.

Anda mau lari dari kenyataan? Lari dari gigitan paling pedih dari kesunyian ruhani anda? Lari dari keterlemparan diri anda akibat dosa dan kegelapan? “keinginanmu untuk lari menuju Tuhan dan hanya ingin sendiri bersamaNya, hanya ingin ‘anda dan Dia’, sedangkan kenyataannya anda harus menghadapi dengan alam fikiran, logika sebab akibat, hasrat anda itu tadi hanyalah Nafsu tersembunyi dalam bilik ketololan, kemalasan, ketidak beranian, kepengecutan, dan kelelahan hati anda.”

Hadapilah! Karena Allah tak pernah hilang, tak pernah ghoib, tak pernah berjarak, tak pernah bergerak atau diam, tak pernah berpenjuru atau bernuansa, tak pernah berbentuk dan berupa, tak pernah berwaktu dan ber-ruang. Tak ada alasan apapun yang bisa menutup, menghijabi, menghalangi, menirai Allah dari dirimu, apalagi sekedar untuk “menyendiri bersamaNya” dalam hiruk pikuk dunia. Tanpa harus melepaskan tantangan zaman, perjuangan, kegairahan kehambaan, kita tak pernah terhalang sedetik pun untuk menggelayut di “PundakNya” apalagi bermesraan dalam pelukanNya.

Jika ruang sunyi di hatimu terganggu oleh buar dan suara-suara nafsu, masuklah ke dalam bilih ruhmu, karena dalam bilik ruhmu ada hamparan agung Sirrmu, dimana sunyimu menjadi sirnamu kepadaNya, bahkan tak kau sadari kau panggil-panggil namaNya, karena kau telah berdiri di depan GerbangNya. Kelak kita bisa kembali bersamaNya, untuk melihat dunia nyata yang tampak di mata kepala, “BersamaNya aku melihat mereka,” begitu sunyi ungkapan Abu Yazid Bisthami kita.

Inilah awal keberangkatan kita,
menuju tetapi dituju,
memandang tetapi dipandang,
melihat tetapi dilihat,
bergerak tetapi diam fana,
berkata tetapi bisu,
memanggil tetapi dipanggil,
bersyari’at tetapi hakikat,
berhakikat tetapi syari’at,
bertangis dalam senyuman
senyum tak menahan airmata
bersunyi-sunyi tetapi ramai
beramai-ramai tetapi sunyi

Lalu kita berbondong-bondong menempuh jalan Khalwat, menuju Gua Hira Agung tak terperi, Hira’ hamparan hati. Agar hati lebih luas dari Arasy Ilahi, berbondong-bondong melepaskan atribut- atribut manusiawi, dan apapun alasan dan alibi kewajaran kita, agar kita tak punya alasan lagi, untuk tidak durhaka kepadaNya, untuk tidak menghindariNya, untuk tidak berselingkuh dengan selain DiriNya, untuk tidak memproduksi bermilyar-milyar syetan setiap hari, untuk tidak menyembah ribuan berhala dalam hati.

Kita keluar dari khalwat menuju ‘Uzlah Jiwa lihatlah betapa sunyinya keramaian peradaban manusia, betapa senyapnya suara-suara yang berdesing atau bagaikan nyanyian tapi sunyi. Kecuali yang ramai di detak jantungmu, Allah Allah Allah, Subhanallah Walhamdulillah wa-Laailaaha Illallah Allahu Akbar, menyelimuti seluruh keramaian semesta. Sampai semesta sunyi dalam kefanaan, Allahu Akbar! Walillahil Hamd. Maha Puja Puji bagi AbadiNya.

Deru mobil lalu lalang. Teriakan orang-orang lapar di jalanan atau di pengasingan. Deru peluru menghantar peperangan. Kerut melipat kening orang-orang di bursa saham. Murka para penguasa meneguhkan kesombongan.

Para koruptor berancang-ancang. Hukum semrawut di jalanan. Semua atas nama kepentingan diri dan golongan. Dari Jakarta ke London, Jakarta ke New York, Washington ke tumpukan lembah debu di Palestina. Apakah ini Jakarta atau hutan liar penuh raksasa dari penjuru dunia? Oh, lihatlah bagaimana akibat orang-orang pendusta Tuhan. (firliana Putri)

POLIGAMI RASULULLAH



Berbicara poligami, tidak bisa lepas dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Beliau berpoligami untuk memberikan contoh aplikasi ayat-ayat yang bercerita tentang beristri lebih dari satu itu. Memang dibolehkan, akan tetapi banyak di antara kita yang kurang jernih dalam memahami makna poligami ini, sehingga maksud yang semula mulia menjadi direduksi hanya untuk memuaskan hasrat seksual belaka.

Untuk bisa memahami makna yang terkandung di balik praktek poligami Rasulullah ini kita harus melihat persoalannya secara utuh dan holistik.

Yang pertama, kita harus paham bahwa, Rasulullah diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh alam.

QS. Al Anbiyaa' (21): 107
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Yang ke dua, Rasulullah diutus untuk memberi contoh dan keteladanan akhlak yang mulia kepada seluruh umat manusia.

Q5. Al Ahzab (33): 21
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

QS. Al Qalam (68): 4
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Yang ke tiga, Rasulullah diutus untuk melindungi dan mengangkat martabat kaum wanita, anak-anak yatim, para budak, dan kaum tertindas lainnya.



QS. An Nisaa (4): 127
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.

Yang ke empat, Rasulullah menyuruh umatnya untuk berumah tangga. Bukan hanya untuk menyalurkan fitrah seksnya, melainkan juga untuk membentuk keluarga yang sejahtera, bahagia, dan menumbuhkan generasi Islami yang kuat di masa depan. Menciptakan umat teladan.

QS. An Nisaa' (4): 9
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Bahkan Al-Qur’an mengritik orang-orang yang melakukan perkawinan hanya untuk tujuan pemenuhan hasrat seks belaka, sebagaimana telah kita bahas pada bagian sebelum ini.

Yang ke lima, berbagai ayat yang diwahyukan kepada Rasulullah perlu dicontohkan dan diteladankan secara nyata, agar menjadi jelas maknanya. Maka, kita melihat alasan-alasan di balik praktek poligami itu sebenarnya adalah manifestasi aturan Allah di dalam Al-Qur’an.

Misalnya ayat di bawah ini, yang menegaskan bahwa mengawini bekas istri anak angkat itu dihalalkan. Maka, salah satu istri Rasulullah adalah Zaenab binti Jahsyi. Beliau mengawininya setelah Zaenab bercerai dengan Zaid ibn Haritsah, salah seorang budak yang diangkat Rasulullah sebagai anak angkatnya.

QS. Al Ahzab (33): 37
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Atau, ayat di bawah ini yang secara umum meletakkan dasar-dasar hukum perkawinan yang berkaitan dengan siapa-siapa saja yang boleh dikawin, dan siapa yang tidak boleh. Hal ini perlu ditegakkan kembali karena pada jaman itu hukum perkawinan telah demikian amburadul. Maka Allah menegakkan kembali aturan itu. Sekaligus memberikan contoh pelaksanaannya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.

Namun demikian Allah memberikan kekhususan dan pembatasan kepada Rasulullah, supaya tidak ditiru oleh umat Islam secara sembarangan.

QS. Al Ahzab (33): 50
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Setelah meletakkan aturan dasar tentang siapa saja yang boleh dikawin, maka berikutnya Allah memberikan batas kepada Rasulullah. Bahwa semua itu sudah cukup. Tidak boleh menambah, ataupun mengganti.

QS. Al Ahzab (33): 52
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.

Dengan pembahasan holistik semacam ini kita bisa memahami praktek poligami Rasulullah saw secara lebih proporsional. Lebih jauh, berikut ini saya cuplikkan secara ringkas informasi seputar wanita-wanita yang dikawini oleh Nabi.

1. Khadijah binti Khuwailid.
Dikawini nabi Muhammad sebelum beliau menjadi rasul - saat berusia 25 tahun. Ketika itu Siti Khadijah sudah janda berusia 40 tahun. Dengan istri pertamanya ini Rasulullah punya 6 orang anak. 2 laki-laki dan 4 perempuan. Yang laki-laki bernama Qasim dan Abdullah. Keduanya meninggal ketika masih kecil. Sedangkan keempat anak perempuannya adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Siti Khadijah meninggal pada usia 68 tahun. Setelah berumah tangga selama 28 tahun. Rasulullah kawin dengan Khadijah dikarenakan kebaikan dan kemuliaan akhlaknya bukan karena kecantikannya. Selama berumah tangga dengan khadijah itu, Rasulullah tidak pernah berpoligami, meskipun bisa dan sangat memenuhi syarat untuk itu.
2. Saudah binti Zam'ah.
Dikawini Rasulullah setelah Khadijah wafat. Demikian Pula Saudah ditinggal mati suaminya -Sakran ibn Amr. Sakran dan Saudah adalah sahabat Rasul yang ikut hijrah ke Madinah. Beliau kasihan karena Saudah hidup sebatangkara. Dan dikucilkan keluarganya yang kafir, akibat ia masuk Islam.

3. Aisyah binti Abu Bakar.
Adalah anak sahabat Rasulullah, Abu Bakar. Dialah sahabat Rasulullah paling terpercaya. Dan sangat berjasa sejak awal perjuangan Islam. Mereka bersama-sama melewati saat-saat yang sangat kritis dan berbahaya. Khalifah pertama sesudah Rasulullah wafat adalah Abu Bakar. Maka, salah satu motif perkawinan dengan Aisyah adalah mengikat persaudaraan lebih erat dengan Abu Bakar, agar lebih kokoh dalam perjuangan.

4. Hafshah binti Umar bin Khaththab.
Sama dengan Aisyah, Hafshah adalah anak sahabat dekat Rasulullah, yaitu Umar. Dialah khalifah ke dua yang menggantikan Abu Bakar. Rasulullah mengikat kekeluargaan lebih erat dengan Umar dengan cara mengawini anaknya.

5. Zaenab binti Khuzaimah.
Ia adalah janda beberapa kali sebelum menikah dengan Rasulullah. Suaminya yang terakhir adalah Ubaidah Ibn Harits yang gugur di perang Badar membela Islam. Rasulullah merasa kasihan kepadanya, dan menjadikannya sebagai istri. Zaenab dikenal sebagai wanita yang sangat welas asih kepada orang-orang miskin. Rasulullah sangat menghargai kemuliaan hatinya itu. Delapan Wan setelah dikawini, Zaenab meninggal dunia.

6. Hindun binti Abu Umayyah.
Ia dikenal juga sebagai Ummu Salamah. Suami sebelumnya adalah Abu Salamah. Wanita ini dikawini Rasulullah setelah ditinggal mati suaminya, yang gugur di medan perang Uhud. Ia memiliki empat orang anak: Zaenab, Salam, Umar dan Durrah. Hindun dikenal sebagai pejuang wanita di medan perang bukit Uhud.

7. Juwairiyah binti Harits.
Juwairiyah adalah tawanan perang. Ia berasal dari bani Musthaliq. Pada jaman itu seorang tawanan perang tidak memiliki harga di hadapan tentara yang menawannya. Maka Rasulullah memberikan pelajaran kepada tentara Islam untuk menghargai mereka yang menjadi tawanan perangnya. Terutama para wanita. Rasulullah meminangnya menjadi istri yang dihormati oleh kaum muslimin.

8. Zaenab binti Jahsyl.
Zaenab adalah sepupu nabi. Ia dikawinkan oleh nabi dengan anak angkatnya yang bernama Zaid ibn Haritsah. Padahal, semula Zaid itu adalah budak. Tapi begitulah Rasulullah mengangkat derajatnya, menjadi anak angkatnya. Bahkan dikawinkan dengan sepupunya. Akan tetapi, mereka tidak cocok. Dan akhirnya, Zaenab diceraikan oleh Zaid. Nabi kasihan kepada Zaenab dan kemudian mengawininya. Perkawinan ini sekaligus menjadi penerapan hukum, bahwa mengawini bekas istri anak angkat diperbolehkan dalam Islam.

9. Raihanah binti Zaid.
Adalah salah seorang budak Rasulullah. Ada juga yang mengatakan diperoleh dari tawanan perang. Ia berasal dari bani Quraizhah. Rasulullah memerdekakannya dan menikahinya. Dikabarkan pernah dicerai, tetapi kemudian dirujuki kembali. Motifnya adalah mengangkat martabat seorang budak dan menghapus perbudakan.

10. Ramlah binti Abu Sufyan.
Dikenal juga dengan nama Ummu Habibah, karena anaknya bernama Habibah. Suaminya semula adalah Ubaidillah ibn Jahsyi. Mereka berdua temasuk sahabat yang berhijrah ke Habasyah. Akan tetapi, tak lama kemudian suaminya berpindah keyakinan dengan masuk kristen. Maka, bercerailah keduanya.

Ummu habibah bertahan pada keyakinan Islamnya. Padahal keluarganya pun adalah penentang-penentang Islam. Rasulullah sangat menghargainya, dan kemudian meminangnya untuk menjadi istrinya. Untuk menguatkan keislamannya.

11. Shafiyyah binti Huyay.
Shafiyah adalah tawanan perang. Ia anak pembesar Yahudi di Khaibar, yang ditawan oleh seorang tentara Islam, bernama Dahiyyah. Rasulullah membebaskannya dengan cara menebusnya. Lantas dipinangnya untuk menjadi istri beliau. Selain memberikan pelajaran bagaimana seharusnya menghargai seorang tawanan perang, beliau juga berusaha untuk menghilangkan kebencian yang bersifat rasisme antara umat Islam dengan orang-orang Yahudi.

12. Maemunah binti Harits.
Perkawinan Rasulullah dengan Maemunah terjadi pada saat Umrah ke dua Rasulullah, yaitu Umratul Qadha. Maemunah adalah keponakan Abbas, dan sudah menjanda karena ditinggal mati suaminya. Ia seorang perempuan yang saleh dan berakhlak mulia. Sehingga Siti Aisyah pun pernah memuji dia sebagai wanita yang paling bertakwa di antara istri-istri nabi. Perkawinan Nabi dengan Maemunah juga dilandasi rasa terima kasih nabi kepada kaum Maemunah yang berbondong-bondong masuk Islam.

Begitulah salah satu cara Rasulullah menghargai seseorang atau kelompok tertentu dalam rangka syiar Islamnya. Semuanya dirangkul sebagai sahabat, sebagai saudara, dan sebagai keluarga, dengan cara melakukan perkawinan. Sampai kemudian Allah memerintahkan untuk mencukupkan jumlah istri-istri nabi, seperti telah kita bahas di depan. Dan Allah mengangkat seluruh istri Rasulullah itu sebagai ibunya umat Islam, yang tidak boleh dikawini oleh siapa pun setelah wafatnya beliau.

QS. Al Ahzab (33): 53
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak (boleh pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah la wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.

SEMANGATNYA PENGHARGAAN & PERLINDUNGAN



Berpoligami dalam Islam memang diperbolehkan, akan tetapi dengan tujuan yang benar-benar mulia. Bukan karena syahwat. Janganlah berpoligami dengan mengajukan alasan, bahwa kita sudah tidak mampu menahan dorongan seksual kita. Jangan pula berpoligami dengan alasan agar tidak terjadi perselingkuhan. Apalagi sambil memberikan ‘ancaman’ kepada sang istri, lewat sindiran maupun terang-terangan.

Seperti telah kita bahas di depan bahwa pembolehan poligami sama sekali bukan dikarenakan alasan syahwat. Tidak ada satu pun ayat yang membolehkan poligami karena alasan syahwat atau dorongan nafsu seks yang tak terkendali.

Islam telah memerintahkan umatnya untuk menikah, salah satu maksudnya adalah untuk menyalurkan hasrat seks. Beberapa ayatnya telah kita bahas. Tetapi coba cermati lagi tidak ada yang menyuruh berpoligami karenanya. Secara umum ayat-ayat tersebut hanya mengatakan agar kita menyalurkan dorongan nafsu itu secara legal kepada istri yang telah kita miliki atau menundukkan pandangan, memelihara kemaluan dan menjaga kesucian. Bukan menambah jumlah istri!

Sedangkan dalam hal poligami Allah menceritakannya di dalam Surat An Nisaa, yang selama ini dipersepsi secara sepenggal dan 'ditekuk' mengikuti kepentingan orang-orang yang ingin berpoligami karena alasan syahwat.
Kalau tidak hati-hati dalam memahaminya, ayat ini memang seakan-akan ‘memerintahkan’ berpoligami. Bukan cuma membolehkan. Karena kalimat yang dipakai adalah: kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...

Inilah ayat yang dipegang oleh para penganut poligami. Bahkan karena 'diperintahkan' itu, maka ada yang mengatakan bahwa poligami itu hukumnya ‘wajib’ meskipun bersyarat. Kalau ‘terbukti’ tidak mampu menjalaninya, barulah ‘boleh’ kawin satu saja.

Sebenarnya ini adalah sebuah 'kecerobohan' dalam memahami ayat tersebut. Atau mungkin ‘kecerobohan yang disengaja’ karena ditunggangi oleh kepentingan di belakangnya. Untuk memahami maknanya secara utuh kita harus mengetahui suasana di sekitar ayat itu. Yaitu ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Tidak boleh diambil satu ayat saja. Apalagi cuma diambil sepotong kalimat.

Ada cerita lucu yang dialami oleh kawan saya yang berpoligami. Seusai diskusi ada jamaah yang mendekati saya. Ternyata ia ingin bertanya soal poligami yang dilakukannya.

Ia mengatakan begini: menurut saya poligami itu diperintahkan oleh Al-Qur’an, karena kalimatnya menggunakan kata perintah : ‘kawinilah...’ dst. Tapi, setelah saya melakukan kenapa yang datang bukan sakinah mawadah warahmah seperti tujuan perkawinan itu, melainkan ‘bencana’. Saya kini pusing tujuh keliling mengatasi masalah rumah tangga saya yang demikian rumit. Tiap hari bertengkar dengan istri dan anak-anak. Nggak bisa konsentrasi bekerja. Dan kini berat badan saya turun beberapa kilo. Apa yang salah dengan saya...?!

Saya tersenyum, lantas tertawa. Waktu saya katakan kepadanya agar ia membaca dan memahami lagi ayat yang dijadikan sebagai dasar praktek poligaminya. Jangan-jangan ia salah memahami. Karena, tidak mungkin perintah Allah berbuah 'bencana' seperti itu. Harusnya berbuah rahmat dan kebahagiaan, seperti yang diceritakan dalam berbagai ayat tentang perkawinan.

QS. Ar Ruum (30): 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Yang lebih menarik adalah cerita berikutnya, sekian bulan kemudian, ketika saya berjumpa dengannya untuk ke dua kalinya. Ia mengatakan bahwa ternyata ia tak kuat menjalani poligami. Sehingga, la memutuskan untuk bercerai dengan istri mudanya. “Akhirnya terbukti bahwa saya tidak mampu berpoligami, dan memilih untuk beristri satu saja.” Wah, tambah runyam...! pikir saya.

Maka, bagaimanakah seharusnya memahami ayat tersebut. Yang jelas, kita tidak boleh keluar dari semangat utama diperintahkannya perkawinan. Bahwa salah satu tujuan perkawinan itu adalah membentuk ketentraman dan kebahagiaan. Kalau itu tidak tercapai, berarti ada yang salah dengan yang kita lakukan.

Berikut ini marilah kita baca dengan pikiran jernih ayat-ayat poligami yang sangat terkenal itu. Benarkah Allah memerintahkan poligami atau sebenarnya sedang ‘menyindir’ kita.

QS. An Nisaa' (4): 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Kalimat yang saya tebaikan itulah yang menjadi pegangan penganut poligami. Dan seringkali hanya diambil sepotong. Padahal kalimat itu tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari potongan kalimat sebelumnya yang berkait dengan perintah untuk berlaku adil kepada wanita-wanita yatim, karena dimulai dengan kata ‘maka kawinilah...’ berarti ada sesuatu penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya.

Dan, harus dicermati lagi, ternyata kalimat tentang wanita yatim itu pun merupakan bagian atau kelanjutan dari kalimat sebelumnya, yang termuat di ayat sebelumnya. Karena, awalnya dimulai dengan kata ‘Dan jika...’

Karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh kita harus memeriksa ayat-ayat sebelum potongan kalimat itu. Dan bahkan juga sesudahnya, karena masih terus terkait. Inilah suasana ayat-ayat tersebut secara utuh.

QS. An Nisaa' (4): 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta (tolong) satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Rangkaian ayat-ayat tersebut ternyata dimulai dengan cerita persaudaraan dan silaturahim. Bahwa semua kita ini bersaudara, berasal dari nenek moyang yang sama. Makanya, Allah memerintahkan kita untuk saling tolong menolong dan menjaga silaturahim di antara sesama manusia. Laki-laki maupun perempuan. Semuanya karena dorongan takwa kepada Allah - lillahi ta'ala.

Dan kemudian ayat itu dilanjutkan dengan ayat berikutnya.

QS. An Nisaa' (4): 2
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kalian memakan harta mereka bersama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa yang besar.
Ayat ke dua ini melanjutkan tema tolong menolong & silaturahim - di ayat sebelumnya - dengan tema perlindungan kepada anak-anak yatim. Allah memerintahkan agar kita membantu mengelola harta benda mereka. Dan kemudian kita serahkan ketika mereka sudah beranjak dewasa.

Setelah itu, temanya lebih mengerucut lagi kepada anak-anak yatim yang wanita. Allah membolehkan kita mengawini anak-anak yatim wanita yang tadinya berada di dalam perlindungan kita itu, ketika mereka sudah akil baligh. Sudah dewasa. Asalkan kita bisa berbuat adil terhadapnya. Tidak memakan harta benda milik mereka, atau hak-hak lainnya.

Akan tetapi jika kita khawatir tidak bisa berlaku adil kepadanya, maka kita 'diperintahkan' untuk mengawini wanita lain saja: boleh dua, tiga atau empat - terserah. Maka berikut inilah ayatnya.

QS. An Nisaa' (4): 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain saja) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Namun, ayat itu tidak berhenti pada potongan kalimat tersebut, tapi dilanjutkan lagi: ‘Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya’.

Kalimat ini sangat menarik, karena bersifat ‘mementahkan’ kembali ‘perintah’ berpoligami tersebut. Jika tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja. Kenapa dimentahkan lagi oleh Allah? Diberi alasannya: karena kawin satu itu lebih dekat kepada ‘tidak berbuat aniaya’.
Artinya - dengan kata lain - kawin dua, tiga atau empat itu lebih dekat kepada menganiaya. Istri tuanya teraniaya, anak-anaknya juga teraniaya, orang tua dan sahabat-sahabatnya pun teraniaya. Bahkan mungkin saja istri mudanya pun teraniaya. Misalnya ketika terjadi peceraian akibat tidak mampu mengelola konflik dalam perkawinan poligami, seperti yang terjadi pada kawan saya itu.

Padahal Allah tidak suka kepada orang-orang yang menganiaya. Baik menganiaya diri sendiri, maupun, apalagi menganiaya orang lain.

QS. Ali Imran (3): 57
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat aniaya (zalim).

Untuk memperoleh penegasan makna ayat ini, marilah kita ikuti terus tema yang diangkat dalam ayat-ayat tersebut.

QS. An Nisaa' (4): 4-6
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (yang kamu kelola itu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan (mereka). Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasilnya saja) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (bisa mengelola harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakan) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Cobalah lihat dan cermati. Ternyata ayat yang sering dijadikan dasar untuk melakukan poligami itu adalah ayat-ayat perlindungan kepada anak-anak yatim. Dan juga ‘sindiran’, agar kita mengangkat martabat budak-budak wanita yang teraniaya, sebagai istri. (QS.4:3)
Bahkan sampai di ayat 6, kita melihat sendiri Allah masih fokus berbicara tentang perlindungan kepada anak-anak yatim itu. Terutama yang terkait dengan harta dan nafkah mereka. Di antaranya berbentuk pemberian suami berupa mahar alias mas kawin. Dan selebihnya adalah harta peninggalan orang tua mereka. Kita tidak boleh mengambilnya secara batil.

Jadi, kita tidak habis pikir, kenapa ayat-ayat yang bernuansa perlindungan ini lantas berubah menjadi ayat-ayat syahwat. Meskipun, diembel-embeli dengan syarat bisa berlaku adil. "Boleh berpoligami asal bisa berlaku adil," begitu alasan yang sering kita dengar.

Padahal, coba baca ayat berikut ini, Allah dengan tegas mengatakan bahwa kita tidak akan bisa berlaku adil kepada istri-istri kita, meskipun kita sangat ingin melakukannya. Sekali lagi -di ayat ini- Allah mementahkan ‘perintah’ poligami itu.

QS. An Nisaa' (4): 129
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin melakukannya, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada salah satu di antaranya), sehingga kamu biarkan lainnya terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari ketidak-adilan itu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka, marilah kita menempatkan masalah poligami ini secara lebih proporsional. Bahwa poligami bukanlah perintah, meskipun kalimatnya kalimat perintah, karena ia harus dipahami secara holistik terkait dengan kondisi yang mengiringinya.

Sebagai contoh adalah masalah perceraian. Di dalam Al-Qur’an Allah juga menggunakan kalimat perintah untuk kasus talak dan cerai, seperti yang digambarkan dalam QS. 2: 231. Akan tetapi, bukan berarti Allah memerintahkan kita untuk bercerai. Karena kalimat perintah itu terkait dengan kondisi yang mengikutinya. Jadi, sekali lagi, tidak lantas karena kalimatnya kalimat perintah maka kita diwajibkan untuk bercerai begitu saja. Rasulullah pun menegaskan bahwa perbuatan yang diperbolehkan, tetapi dibenci Allah adalah perceraian...!

Poligami di dalam Islam adalah kasus khusus yang terkait erat dengan alasan-alasan perlindungan terhadap hak-hak wanita. Sekaligus untuk memberikan penghargaan dan mengangkat martabat wanita. Terutama di jaman yang para wanita memperoleh perlakuan tidak senonoh dan merendahkannya.

Tidak selalu itu terjadi di jaman dulu. Kini, di era modern pun banyak wanita yang diperlakukan secara memprihatinkan. Dilecehkan, dipermainkan, dihina, dan sekadar dijadikan sebagai pemuas nafsu belaka. Baik secara legal di dalam lembaga perkawinan, maupun di luar perkawinan dalam bentuk pelacuran atau bisnis porno lainnya.

Sebagaimana telah kita bahas di depan, Allah pun melarang mengawini wanita secara paksa, atau mengawini hanya dengan alasan untuk pemuas nafsu belaka. Karena sebenarnyalah lembaga perkawinan adalah sebuah lembaga sakral dimana kita beribadah untuk meneruskan keturunan dan menyiapkan generasi islami yang tangguh di masa depan.
Sebagai balasannya, Allah bakal memberikan rasa tentram alias sakinah, rasa cinta alias mawaddah, dan rasa kasih sayang penuh keikhlasan alias ar rahmah di dalam rumah tangga kita.

Begitulah mestinya rumah tangga Islam dibangun. Sebagaimana Rasulullah menjalaninya bersama Siti Khadijah sampai wafatnya sang istri tercinta. Satu-satunya istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah, sehingga sampai membuat cemburu siti Aisyah ketika beliau bercerita tentangnya.

Memang, Rasulullah melakukan poligami setelah itu, akan tetapi dengan tujuan dan alasan yang berbeda. Untuk memenuhi tugas kerasulan beliau. Untuk meneladankan dan mencontohkan sikap perlindungan kepada umat Islam atas harkat dan martabat wanita. Untuk memperbaiki peradaban dan menegakkan syariat Islam. Untuk memberikan pembatasan kepada perilaku poligami yang kebablasan. Serta berbagai alasan mulia yang memang ditugaskan kepada beliau. Karena itu Allah menegaskan, bahwa semua itu hanya dikhususkan buat Rasulullah. Bukan untuk umat Islam pada umumnya. QS. 33:50

Sayangnya, kebanyakan kita tidak memahami hal itu dengan cermat. Sehingga kita keliru dalam menerapkan makna poligami yang mulia, menjadi hanya karena alasan syahwat belaka. Dan kemudian dengan begitu gampangnya kita mengeluarkan ajakan: "Poligami yuuk..!!"



(Firliana Putri)

wallahu a'lam bishshawab

MENUNDUKKAN PANDANGAN


Seringkali kita mendengar orang berpoligami dengan alasan begini: "daripada berbuat zinah, lebih baik kita berpoligami".

Saya heran, kenapa alasan berpoligami selalu dikaitkan dengan perzinaan dan perselingkuhan? Darimana asal usul alasan ini muncul? Karena di dalam Al-Qur’an ternyata tidak ada satu ayat pun yang mengaitkan bolehnya melakukan poligami disebabkan alasan-alasan takut terjadi perzinaan dan perselingkuhan.

Agaknya, telah terjadi reduksi kepahaman tentang makna poligami dalam konsep Islam. Dari alasan-alasan yang bersifat sosial politik menjadi alasan-alasan yang bersifat seksualitas. Saya kira ini harus diluruskan, karena telah memunculkan persepsi yang sangat rancu dan menyesatkan umat.

Dalam pengamatan saya terhadap sekian banyak ‘ayat syahwat’, saya tidak menemukan keterkaitannya dengan poligami. Demikian pula sebaliknya, ayat-ayat poligami tidak dikaitkan dengan ayat-ayat syahwat. Beberapa di antaranya adalah berikut ini.

Kata syahwat di dalam Al-Qur’an saya temukan hanya dua kali, sebagaimana saya kutipkan di bawah ini. Dan menariknya digunakan untuk menggambarkan dorongan seksual yang menyimpang. Seperti homoseks, misalnya.

QS. An Naml (27): 55
Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)".

QS. Al A'raaf (7): 81
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan syahwatmu (kepada mereka), bukan kepada wanita, sungguh kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.

Sedangkan dorongan nafsu seks kepada perempuan atau istri diistilahkan dengan lebih halus, yaitu ‘bercampur’ atau ‘bergaul’.

QS. Al Baqarah (2): 187
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Adalah sangat menarik, Allah mengumpamakan istri sebagai pakaian bagi suami, dan suami adalah pakaian bagi istrinya. Sedangkan nafsu digambarkan sebagai dorongan halus yang bersifat fitrah. Bukan menggebu-gebu dan tidak terkendali seperti syahwat alias dorongan seks yang menyimpang dan sekadar fisikal.

Di ayat lain, Allah mengumpamakan istri sebagai sawah ladang bagi suami. Tempat bercocok tanam. Dan Allah memboleh-kan untuk mendatanginya atau mengerjakannya sebagaimana si suami suka.

QS. Al Baqarah (2): 223
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Ketika di antara kita tidak dapat menahan dorongan nafsu seks maka Allah memerintahkan untuk menundukkan pandangan, memelihara kemaluan dan menjaga kesucian. Baik dia laki-laki maupun perempuan. Hal ini dijelaskan secara berurutan dalam Surat An Nuur ayat 30-31.

QS. An Nuur (24): 30-31
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

QS. Al Ma'arij (70): 29
Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Dua ayat di atas adalah aturan umum dalam mengendalikan dorongan syahwat. Jika dorongan itu muncul menggebu, maka tahanlah pandangan, pelihara kemaluan, dan jaga kesucian. Artinya, kita diajari untuk tidak secara semau-maunya mengumbar dorongan syahwat itu. Kecuali kepada istri yang telah kita miliki.
Meskipun ayat di atas menyebut istri-istri dalam bentuk jamak (azwaajihim - istri-istri mereka) tetapi ini tidak bermakna secara spesifik menyebut istrinya banyak. Karena laki-laki yang disebut dalam ayat tersebut juga berjumlah banyak – ‘mereka’.

Konteksnya akan lebih jelas ketika kita mengutip ayat-ayat selanjutnya, dalam surat An Nuur, yang mengatakan bahwa menjaga kemaluan dan kesucian itu ditujukan kepada orang-orang yang masih sendirian alias belum beristri. Sedangkan yang sudah beristri diperintahkan untuk menyalurkan dorongan seksnya kepada istri yang telah dimilikinya. Jangan mencari-cari selain itu. Melampaui batas.

QS. An Nuur (24): 32-33
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang sesudah mereka dipaksa (itu).

Di ayat lain Allah menegaskan, ketika seseorang tidak memiliki nafkah yang cukup untuk kawin, maka kesabaran dalam menjaga kesucian itu adalah lebih baik. Sampai suatu saat Allah bakal memberikan jalan keluar baginya.


QS. An Nisaa' (4): 25
Dan barangsiapa di antara kalian yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki. Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Yang demikian) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari zina) di antara kalian, dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Yang menarik, di masa itu, jika seseorang tidak mampu kawin dengan wanita merdeka karena persoalan nafkah yang mahal, ia dianjurkan untuk kawin dengan budak. Akan tetapi harus benar-benar dikawini. Bukan dengan tujuan sekadar melampiaskan hasrat seks belaka.

Ada 2 maksud di sini. Yang pertama adalah mengangkat martabat wanita budak, sehingga layak dijadikan istri. (jaman itu hanya jadi pemuas seks, gundik, dan pelacur). Dan yang ke dua Allah menegaskan dalam ayat-ayat yang lain bahwa sebuah perkawinan pun bisa bermakna pelacuran atau perzinaan, jika maksud perkawinan itu hanya untuk memuaskan hasrat seks belaka.

QS. An Nisaa' (4): 24
dan (diharamkan juga mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian, mencari isteri-isteri dengan harta kalian untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Penjelasan yang senada juga diberikan Allah dalam ayat yang berbeda, berikut ini.

QS. Al Maaidah (5): 5
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Ayat-ayat di atas secara langsung menyindir orang-orang yng melakukan perkawinan tetapi hanya sekadar ingin melampiaskan hasrat seksual belaka. Mereka disindir seperti melakukan ‘pelacuran’, dan ‘perzinaan’ secara legal di dalam perkawinan itu, serta memelihara gundik-gundik. Meskipun secara syariat mereka telah sah, karena telah membayar mahar. Tetapi maksud yang terkandung di dalam hatinya hanya sekadar urusan syahwat...!

Dengan kata lain, Islam ingin mengatakan bahwa makna perkawinan jauh lebih luas dan mendalam dari sekadar itu. Ada misi suci dan mulia yang terkandung di dalamnya, terkait dengan fitrah tertinggi tertinggi seorang manusia...(firliana Putri)

DOKTRIN AGAMAWAN



Simpang siurnya pemahaman tentang penciptaan Adam disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya adalah bercampurnya informasi dari ketiga agama besar keturunan Ibrahim - Yahudi, Nasrani, Islam. Sehingga memerlukan telaah kritis agar kita memiliki kepahaman yang lebih murni.

Yang kedua, kesimpangsiuran itu juga disebabkan oleh tidak utuuhnya kita dalam menyerap informasi sesuai petunjuk Al Qur’an. Kebanyakan kita tidak mengambil ayat-ayat Qur'an secara utuh dan holistik. Sehingga memunculkan kepahaman sepotong. Padahal sebenarnya, Al Qur’an adalah sumber informasi yang sangat akurat dan holistik, asalkan diambil secara utuh. Selalu ada informasi baru yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta bukti-bukti ilmiah.

Di bagian-bagian tertentu seringkali Al Qur’an mendorong umat manusia untuk melakukan pengamatan dan penelitian langsung ke alam sekitarnya, untuk memperoleh data-data ilmiah yang lebih detil. Karena itu, memahami ayat-ayat Qur'an akan sangat baik jika ditinjau dari sudut pandang ilmiah.

Banyak di antara kita yang alergi untuk memahami Al Qur’an dari sudut pandang ilmiah dengan alasan Al Qur’an adalah sebuah kebenaran mutlak dari Allah, sedangkan ilmu pengetahuan adalah kebenaran relatif buatan manusia. Padahal, itu tidak sepenuhnya benar. Justru, kini terbukti, bahwa pemahaman ilmiah ternyata sangat membantu kepahaman kita terhadap informasi Al Qur’an.
Kebenaran Al Qur’an justru bakal terbukti dari penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Sayangnya, banyak penelitian modern yang mendukung kebenaran Al Qur’an itu justru diperoleh ilmuwan-ilmuwan non muslim. Di antaranya adalah apa yang akan kita bahas dalam bagian-bagian selanjutnya, di dalam diskusi ini. Yang diharapkan, bakal membuka tirai gelap proses penciptaan Adam dan Hawa. Asalkan kita tidak apriori terlebih dahulu terhadap sudut pandang baru dalam memahami hal ini.

Kebanyakan kita suka dengan legenda. Dan merasa tidak perlu untuk mencari kebenaran legenda itu. Meskipun itu terkait erat dengan asal-usul kita sendiri.

Apalagi, banyak yang kemudian berlindung kepada ‘kekuasaan’ Allah. ‘Kalau Allah menghendaki maka apa pun bisa terjadi. Cukup dengan kun fayakun, maka jadilah ia.’ Begitulah yang seringkali kita dengar.

Kita lupa bahwa Allah justru ingin menunjukkan kepada kita betapa Agungnya Dia dengan apa yang Dia lakukan. Bukan untuk pasrah tanpa mengambil hikmah dari ilmuNya yang luar biasa dahsyatnya itu.

Memang, tidak ada yang tidak bisa dilakukan olehNya. Kalau Allah menghendaki sesuatu, semuanya bakal terjadi. Termasuk, jika Dia menghendaki kita semua menjadi beriman. Akan tetapi, bukankah Allah tidak melakukan itu? Allah menjadikan kita beriman lewat proses panjang yang melibatkan kita untuk berinteraksi denganNya. Berikut ini salah satu firman-Nya.

QS. Yunus (10): 99
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Atau di ayat berikut ini Allah mengatakan, jika Allah berkehendak memberikan petunjuk, maka niscaya semuanya dapat petunjuk. Semuanya serba bisa dipahami. Tak ada lagi rahasia. Tetapi Allah tidak melakukan itu. Allah ingin kita berusaha untuk memperoleh petunjuk itu, sebagai interaksi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

QS. Al An'aam (6): 35
...dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.

Allah menghendaki manusia untuk membuktikan perjuangannya dalam menghambakan diri kepada Allah. Bukan dengan pasrah tanpa usaha. Sebab yang dinilai oleh Allah adalah usaha dan amalan kita. Atau perjuangan dan kesabaran kita. Tidak akan masuk surga orang yang belum terbukti perjuangan dan kesabarannya.

QS. Ali Imran (3): 142
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad (berjuang & bekerja keras) di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.

Beragama adalah perjuangan tiada henti. Untuk memahami petunjuk-petunjuk Allah dan kemudian menerapkan dalam kehidupan nyata. Sayangnya, banyak di antara kita yang menganggap bahwa beragama adalah kepasrahan total tanpa berusaha. Terserah kehendak Allah.

Padahal, Allah justru menghendaki agar kita berusaha keras untuk mendekatkan diri kepadaNya. Mengorbankan segala yang kita punya untuk menebarkan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata sehingga tercapai masyarakat manusia yang sejahtera dunia dan akhirat. Rahmatan lil alamin.

Dalam konteks yang sedang kita bahas, kalau Allah berkehendak untuk menguak misteri itu secara langsung lewat firman-firmanNya, maka tidak ada kesulitan apa pun. Namun, Allah sengaja menyembunyikan itu agar kita berusaha untuk memperoleh kepahaman yang terbaik.

Allah sudah memancing kita dengan ayat-ayat yang demikian banyak tentang penciptaan manusia. Tinggal, apakah kita mau mempelajarinya lebih jauh. Dan mencari bukti-bukti dari bekas keberadaan mereka di muka Bumi.

Jika tidak, maka misteri tinggal menjadi misteri. Akan tetapi, jika kita terpanggil untuk mempelajari dan mencari bukti-buktinya, kita bakal ‘bertemu’ dengan Allah dalam proses pencarian itu. Dan ini adalah point yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah. Allah bakal meneguhkan keimanan orang-orang yang melakukan pencarian dalam beragama.

Allah mendorong setiap muslim untuk melakukan perjalanan di muka bumi menelusuri jejak-jejak sejarah. Kita harus banyak mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu umat-umat sebelum kita. Untuk apa? Untuk membuka mata hati kita. Untuk meneguhkan keimanan kita. Dan pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda alias pelajaran penuh hikmah bagi orang-orang yang berakal.

QS. Al Hajj (22): 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

QS. Thahaa (20): 128
Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.

Jadi adalah salah besar, kalau kita berusaha memahami Al Qur’an hanya dari sisi bahasa saja. Itu baru permulaan. Kita harus melangkah lebih jauh dengan memahami data-data dan ayat-ayat yang dihamparkan Allah di sekitar kita.

Seorang muslim harus mencocokkan terus menerus petunjuk yang terdapat di dalam Al Qur’an dengan realitas kehidupan sehari-hari yang ada di sekitarnya. Kepahaman atas keduanya itulah yang bakal mengantarkannya kepada syahadat yang sesungguhnya: sebuah kesaksian bahwa Penguasa alam semesta yang mempesona ini adalah benar-benar Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Dalam konteks penciptaan manusia, kebanyakan kita hanya bertumpu kepada informasi-informasi yang terdapat di dalam Al Qur’an. Memahaminya dari sisi bahasa. Lantas berharap memperoleh kesimpulan yang tuntas tentang proses penciptaan manusia pertama

Tentu saja hal ini sangat musykil. Apalagi, ternyata Allah tidak secara gamblang menjelaskan mekanisme penciptaan itu dengan kata-kata yang eksplisit. Yang ada cuma sinyal-sinyal yang tersebar dalam berbagai ayat Al Qur’an. Allah mendorong kita untuk memahaminya lewat realitas sejarah kemanusiaan.

Celakanya, banyak di antara kita yang langsung menyimpulkan secara sederhana proses penciptaan itu hanya dari sepotong atau dua potong ayat. Padahal, sebagaimana kita ketahui ayat-ayat itu tidak boleh dipahami sebagian. Kita bisa terjebak kepada kepahaman parsial yang menyesatkan. Dan tak jarang bertengkar dengan sesama saudara kita karena ‘berpegang teguh’ kepada ayat-ayat yang saling berseberangan.

Contoh kasus yang sangat jelas tentang kesalahpahaman dalam memahami ayat Qur'an itu saya tuangkan dalam diskusi poligami. Banyak di antara kita yang memahami ayat-ayat Takdir dan ayat-ayat Poligami secara parsial. Lantas menjebak mereka dalam kesalahan yang fatal

Padahal kalau kita memahaminya secara holistik, kita bakal tahu bahwa ayat-ayat itu sebenarnya tidak berseberangan melainkan saling melengkapi dan saling menjelaskan.
Akan lebih celaka lagi, kalau kesimpulan sepotong itu dipegang sebagai doktrin bagi kelompoknya. Bahwa apa yang mereka pahami itu adalah kebenaran mutlak seperti yang dimaksudkan Allah. Lantas, mengharamkan kelompok lain yang tidak sepaham dengannya. Kemunduran dan pertengkaran di dalam tubuh umat Islam sering disebabkan oleh keterbatasan pemahaman seperti itu. Dibarengi dengan sifat arogansi bahwa kita adalah yang paling benar. Lainnya salah. Padahal sungguh Allah tidak menyukai cara yang demikian itu. Allah ingin agar kita menyadari bahwa masing-masing kita belum tentu benar.

QS. An Nahl (16): 125
Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan penuh hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ayat di atas dengan sangat gamblang mengajarkan kepada kita bahwa setiap kita berkewajiban untuk mengajak orang lain menuju jalan Allah. Akan tetapi semua itu harus dilakukan dengan cara yang baik. Jika perlu berbantah atau mesti dilakukan dengan baik pula. Kenapa? Karena cuma Allah saja yang tahu siapa yang tersesat dan siapa yang memperoleh petunjuk.

Maka, adalah sebuah kedholiman jika kita saling berebut benar. Yang harus kita lakukan adalah saling mengingatkan dan saling memberikan masukan, tanpa harus memaksa pihak lain untuk mengikuti dirinya. Siapa tahu, apa yang kita yakini itu justru yang keliru.

Bukan berarti, lantas kita tidak meyakini apa yang menjadi kepahaman kita. Bukan. Setiap kita harus mantap terhadap apa yang menjadi keyakinan kita. Karena kalau tidak yakin, kita sendiri tidak akan berani melangkah dalam mengamalkan agama ini.

Setiap orang boleh merasa dirinya benar. Yang tidak boleh adalah merasa dirinya paling benar, dan menafikan orang lain. Bahkan memaksa-maksa untuk mengikuti dirinya. Islam bukan mengajarkan arogansi dan kesombongan melainkan mengajarkan rendah hati.

Allah saja tidak pernah memaksa hambaNya, masa kita mau memaksa mereka. Kalau mau, Allah dengan sangat mudahnya menjadikan semua manusia beriman. Tetapi Allah tidak melakukannya, sebagaimana difirmankan dalam ayat berikut ini.

QS. Yunus (10): 99
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi teluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Bahwa iman adalah sebuah keyakinan yang diperoleh lewat pemahaman keilmuan. Jadi, substansinya bukan dogma, melainkan pemahaman dan pembelajaran sampai memperoleh keyakinan.

Maka, ketika Allah mengatakan tidak akan memaksa seseorang untuk beriman, sesungguhnyalah memang tidak ada keyakinan yang bisa dipaksa-paksakan. Keyakinan hanya bisa diperoleh dengan cara memahami dan menyaksikan bukti-bukti keberadaannya

Dengan demikian, keimanan atas proses penciptaan manusia harus diperoleh dengan cara mempelajari dan memahami segala aspek yang terkait dengannya. Dimulai dari pemahaman ayat-ayat Al Qur’an secara holistik, kemudian dilanjutkan dengan mencari bukti-bukti ilmiah dari sejarah kemanusiaan yang terhampar di sekitar kita. Cara demikian, insya Allah akan mengantarkan kita kepada keyakinan tertinggi. (firliana Putri)

MEREKONSTRUKSI MANUSIA PERTAMA


Dewasa ini, planet Bumi dihuni oleh sekitar 6 miliar manusia! Kalau kita runut ke belakang, pastilah jumlahnya semakin sedikit. Seratus tahun yang lalu misalnya, jumlah penduduk Bumi hanya berkisar 1,5 miliar. Jadi, kini sudah berlipat 4 kali hanya dalam kurun 1 abad terakhir.

Kalau kita teruskan merunut ke belakang, kita akan memperoleh data yang semakin mengerucut - semakin kecil. Dan suatu ketika, kita akan ‘bertemu’ dengan nenek moyang pertama manusia, yaitu pasangan legendaris, yang kita kenal sebagai Adam & Hawa.
Semua agama-agama besar di dunia sepakat bahwa kita adalah keturunan Adam & Hawa. Asal muasal populasi manusia di muka Bumi. Spesies tertinggi yang menguasai planet Biru yang sangat indah mempesona.

Dibandingkan dengan makhluk lainnya di muka Bumi, manusia memang sangat istimewa. Ia menempati urutan pertama dalam segi apa pun. Dari segi jumlah misalnya, manusia adalah spesies dengan jumlah terbesar, mengalahkan jenis binatang atau tumbuhan apa pun, termasuk jumlah ternak dan unggas yang kita pelihara. Enam Miliar manusia adalah jumlah material yang kira-kira setara dengan 300 juta ton biomassa.


nusia memang sangat istimewa. l Bagi pakar biokimia, ini adalah sebuah proses yang menakjubkan. Berbagai zat biokimiawi dikonsentrasikan untuk membentuk onggokan-onggokan biomassa sebanyak itu, dengan proses yang sangat terencana, dan terstruktur dengan sempurna. Tentu saja melibatkan bioenergi yang sangat besar untuk menciptakannya.

Dari segi bentuk fisik, manusia juga paling indah dan mempesona, dengan segala aksesoris penampilannya. Bahkan hingar bingar kehidupan manusia dewasa ini adalah budaya yang sangat menonjolkan pesona fisik manusia.
Tak ada makhluk seindah dan seluwes manusia dalam penampilan fisiknya. Beragam budaya di seluruh dunia membuktikan hal itu. Mulai dari seni berpakaian, sampai pada beragam seni budaya yang mempesona.

Dari fungsi otaknya, manusia bahkan menjadi makhluk yang tiada bandingnya di alam semesta. Peradaban manusia selama berabad-abad adalah produk fungsi 'organ berbentuk bubur' di dalam tempurung kepala manusia yang kita sebut otak. Justru di sinilah letak keunggulan spesies manusia dibandingkan spesies makhluk lainnya penghuni planet Bumi.

Kemajuan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya, adalah produk dari fungsi otak manusia yang memiliki kecanggihan jauh di atas makhluk lainya.

Manusia benar-benar menjadi aktor utama dalam kehidupan di muka Bumi. Pemimpin kolektif atas segala fasilitas kehidupan yang telah tersedia setara ajaib di planet istimewa ini.

Maka, tidak heran, kita seringkali bertanya-tanya: bagaimana kita bisa muncul di permukaan Bumi sebagai aktor utama? Kapan semua itu mulai terjadi? Darimana? Dimana? Dan sebagainya. Dan seterusnya...

Pertanyaan mendasar ini dijawab oleh berbagai agama keturunan nabi Ibrahim - Yahudi, Nasrani, dan Islam - dalam kitab-kitab sucinya. Diceritakan bahwa kita semua ini adalah anak keturunan sepasang manusia legendaris bernama Adam & Hawa. Sayangnya, penjelasan yang ada demikian singkat dan ringkas. Sehingga muncul berbagai tafsir tentang asal-usul keberadaan manusia pertama itu.
Cerita yang bertebaran sangat beragam. Mulai dari yang bersifat dongeng, legenda, dogma, tafsir bahasa, sampai pada penelusuran yang bersifat ilmiah. Semuanya belum memberikan gambaran yang jelas tentang informasi yang diinginkan. Sejarah manusia seperti terbentur pada suatu dinding tebal yang sulit ditembus. Seakan-akan Tuhan sengaja mengaburkan sejarah awal munculnya spesies manusia di planet Bumi ini.

Tetapi anehnya, dalam kitab Al Qur’an, Allah seperti memancing kita semua itu memahami lebih jauh tentang proses munculnya peradaban manusia di planet ini. Berulangkali Allah bercerita tentang makhluk yang namanya Adam itu. Puluhan kali. Apalagi tentang munculnya manusia keturunan Adam, jumlahnya ratusan kali.

Karena itu, tidak heran perdebatan tentang sejarah kemunculan manusia di muka Bumi ini menjadi cerita dan diskusi panjang yang tiada habisnya. Di satu sisi, kita memang ingin tahu bagaimana asal muasalnya. Sedangkan di sisi lain kitab-kitab suci agama kita tidak memberikan penjelasan secara terinci, kecuali hanya ‘sinyal-sinyal’ yang semakin membuat kita penasaran.

Maka, agaknya kita disuruh untuk merunut dan mencari sendiri informasi tentang asal-muasal penciptaan manusia. Dan yang menarik, perkembangan ilmu pengetahuan manusia semakin lama semakin mendekati ‘tirai pembatas’ kaburnya sejarah kita sendiri. Yang di balik itu kita bakal bertemu dengan sebuah surprise tentang sejarah ‘drama superkolosal’ di planet istimewa ini.

Allah, rupanya sedang ‘menunggu’ manusia di suatu ‘terminal ilmu’ yang kita sendiri bakal terbelalak menyaksikan kecanggihan kerja dan Keagungan Sang Pencipta. Dia bakal memamerkan kepada kita bagaimana rumit dan canggihnya proses penciptaan spesies istimewa bernama manusia, yang tak lain adalah kita sendiri...

Semoga Allah berkenan
membimbing kita untuk memahaminya. Bismillahi...



LEGENDA MANUSIA PERTAMA

Kisah Adam & Hawa sudah sedemikian melegenda. Sehingga hampir semua kita menerima begitu saja. Meskipun, banyak di antara cerita itu yang tidak masuk di akal. Ya, legenda memang tidak harus masuk akal. Cukup kita terima saja.

Di antaranya yang paling sering kita dengar adalah bahwa Adam diciptakan Tuhan dari tanah liat yang dibentuk seperti boneka. Kemudian ditiupkan kepadanya Ruh, sambil diucapkan Kun fayakun. Maka jadilah Adam manusia dewasa yang hidup seketika itu juga.

Selanjutnya, Adam ditempatkan di dalam surga. Ia hidup sendirian di dalam taman dan istana yang indah. Tapi ia merasa kesepian karena tidak ada kawannya. Maka, Tuhan pun menjadikan calon istrinya - Hawa. Caranya, Tuhan mengambil salah satu tulang rusuk Adam. Kepada tulang rusuk itu Tuhan mengucapkan kata yang sama - Kun - maka jadilah Hawa sebagai manusia dewasa yang hidup.

Hawa menemani Adam di dalam surga yang indah. Surga itu berada di langit. Atau, di alam yang entah berada dimana. Tak ada yang tahu. Bahkan, tak perlu tahu.

Di surga itu Adam dan Hawa hidup bahagia serba berkecukupan. Sampai suatu saat datang-lah iblis menggoda mereka. iblis masuk ke dalam surga menyamar sebagai ular. Dan membisiki Adam serta istrinya untuk memakan buah dari sebuah pohon terlarang.

Sebenarnya Tuhan telah melarang mereka untuk mendekatinya. Apalagi memakan buahnya. Maka, benarlah, ketika mereka berdua memakan buah itu, tiba-tiba secara ajaib pakaian yang mereka kenakan menghilang. Adam & Hawa berada dalam keadaan telanjang. Terlihat auratnya. Maka mereka berlarian ke balik semak-semak. Memetiki daun-daunnya untuk menutupi tubuh mereka. Adam dan Hawa pun mengenakan pakaian daun-daun surga.

Tuhan marah. Dan mengutuk mereka, kenapa melanggar larangan yang telah ditetapkan. Maka suami istri itu diusir Tuhan dari surga. Mereka diturunkan dari langit menuju ke Bumi secara terpisah. Adam diturunkan di sekitar India, sedangkan Hawa diturunkan di Timur Tengah. Sekian ratus tahun kemudian mereka bertemu di sebuah bukit tandus, di dekat Mekkah, di Jabal Rahmah.

Di dalam agama Nasrani, dosa-dosa Adam itu diturunkan kepada anak cucunya. Kita semua sebagai keturunannya ikut menanggung beban dosanya. Dan karena itu, harus ditebus selama hidup kita.

Sedangkan di kalangan Islam tidak dikenal dosa turunan. Namun tak sedikit yang meyakini bahwa kita sengsara hidup di dunia ini juga disebabkan oleh kesalahan Adam memakan buah larangan. Sehingga dikeluarkan dari surga yang penuh kenikmatan.

Dengan kata lain, seandainya Adam dan Hawa tidak termakan bujukan iblis memakan buah larangan, Adam & Hawa beserta kita semua tidak akan pernah hidup di Bumi. Kita semua bakal tetap hidup di dalam surga di langit sana.

Cerita legenda ini sudah saya dengar sejak kecil. Dan sekarang pun masih diceritakan seperti itu, dengan segala variasinya. Sumbernya beragam. Sebagian dari kitab-kitab suci. Sebagian lagi dari hadits. Sebagian yang lain dari mulut ke mulut, sehingga sulit dipertanggung-jawabkan.

Tidak sedikit yang ingin melakukan klarifikasi terhadap cerita-cerita itu. Akan tetapi selalu terbentur dinding yang sulit ditembus. Cerita legenda itu seperti tertutup kabut tebal yang sulit terkuak kebenarannya.

Selama ribuan tahun legenda tetap saja legenda. Tak ada yang berhasil menguak secara memuaskan. Sumber-sumber cerita yang selama ini dipakai, ya tetap dari itu ke itu. Kita berputar-putar tak pernah bisa keluar dari kegelapan misteri yang meliputinya.

Ada beberapa pertanyaan yang selama ini menjadi perdebatan atas legenda Adam & Hawa. Terutama di kalangan Islam.
Sebenarnya, dimanakah Adam dan Hawa diciptakan? Di surga ataukah di Bumi?
Kalau di surga, surga yang mana? Apa bedanya dengan surga akhirat kelak?
Ataukah surga yang dimaksudkan dengan surga nabi Adam itu adalah sebuah taman yang indah di muka Bumi? Sehingga, bahan dasar penciptaannya pun dari tanah Bumi
Lantas, bagaimanakah proses penciptaan Adam dari tanah itu? Benarkah dibentuk seperti boneka, ditiupkan ruh, kun fayakun, kemudian menjadi manusia dewasa?
Benar jugakah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam? Diucapkan kun lantas menjadi manusia dewasa seperti Adam?
Bagaimana pula setan atau iblis bisa masuk ke dalam surga untuk mengganggu Adam? Ya, bagaimana mungkin setan bisa masuk ke surga, bukankah surga mestinya tidak bisa dimasuki setan? Benarkah karena mereka menyamar sebagai ular, sehingga tidak ketahuan Tuhan?
Benarkah Adam & Hawa terusir dari surga karena perbuatan dosa memakan buah itu? Sehingga, seandainya mereka tidak memakan buah itu, kita semua - keturunan Adam - mestinya masih hidup di surga selamanya. Kalau begitu, apakah Tuhan tidak berniat untuk menjadikan Adam sebagai penduduk Bumi sejak awal? Hanya kebetulan?
Dan, benarkah Adam adalah manusia pertama yang menurunkan kita semua? Apakah sebelum Adam tak ada kehidupan manusia?

Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang memerlukan jawaban tuntas. Sayangnya, karena dianggap sudah melegenda, seringkali kita tidak merasa perlu untuk mencari jawaban lebih lanjut. Kita lantas menerimanya begitu saja.

Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya kekritisan umat dalam beragama, banyak yang kemudian merasa perlu untuk menanyakan kejelasan cerita seputar penciptaan Adam & Hawa itu. Apalagi, ternyata Allah sangat sering menyinggungnya di dalam Al Qur’an, kitab Suci yang menjadi sumber rujukan utama umat Islam.
Dan rasanya memang tidak berlebihan, serta cukup pantas bagi kita untuk mengetahui asal-usul sejarah kita sendiri...
(firliana Putri)
 
Terimakasih Atas kunjungan Anda, Semoga Semuanya Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua