Jumat, 28 September 2007
Melatih Kecerdasan Emosi Anak : melatih sikap Proaktif
Akhir tahun 80 an Stephen Covey, penulis Seven Habits of Highly Effective People, membuat istilah baru sebagai lawan dari sikap reaktif, yaitu sikap “proaktif”. Istilah ini kemudian menjadi sangat populer di seluruh dunia.
Sikap reaktif adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon dikala mendapatkan rangsangan (stimulus). Sederhananya adalah, bila seseorang selalu menjadi marah kalau dihina, maka orang tersebut dikatakan “reaktif” karena selalu memberikan tanggapan (respon) yang sama terhadap suatu rangsangan (stimulus). Binatang secara umum adalah makhluk yang reaktif. Bila Anda pukul, reaksinya hanya dua, takut atau marah. Suatu tanggapan yang mudah diduga sebelumnya.
Proaktif merupakan kebalikan reaktif. Bila reaktif tidak mampu memilih respon, maka proaktif adalah kemampuan seseorang untuk memilih respon. Sikap proaktif adalah sikap seseorang yang mampu membuat pilihan dikala mendapatkan rangsangan (stimulus). Menurut Covey, seseorang yang bersikap proaktif mampu memberi jeda antara datangnya stimulus dengan keputusan untuk memberi respon. Pada saat jeda tersebut seseorang yang proaktif dapat membuat pilihan dan mengambil respon yang dipandang terbaik bagi dirinya. Proaktif dia definisikan sebagai “kemampuan memilih respon”.
Bila dibandingkan dengan binatang yang senantiasa reaktif, manusia bisa bersikap proaktif. Misalnya saat dipukul binatang akan memberi reaksi dengan lari karena takut atau balas menyerang karena marah. Manusia berbeda, saat dipukul rekasinya bisa lebih beragam, misalnya justru tersenyum dan mengatakan, “Lagi doong…” (kata cowok kepada cewek pacarnya) atau bisa berlagak pura-pura tidak tahu (karena tidak ingin menimbulkan pertengkaran). Manusia punya kendali untuk memilih respon terhadap stimulus tertentu. Inilah yang disebut sikap proaktif.
Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam menghadapi rintangan maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi. Seseorang bisa bertahan saat menghadapi musibah, bisa menumbuhkan motivasi saat kondisi tidak menyenangkan, juga bisa memberikan respon positif yang disesuaikan dengan situasi, semua itu merupakan sikap proaktif yang menunjukkan pengelolaan emosi secara baik.
Anak kecil biasanya masih bersikap reaktif. Emosinya tida terkendali sehingga respon yang muncul adalah respon yang semacam, itu-itu saja. Untuk melatih sikap proaktif kita perlu menunjukkan pilihan yang lebih beragam kepadanya.
Suatu ketika anak saya, waktu itu umur sekitar 4 tahun, dipukul oleh saudara sepupunya. Reaksi yang muncul tentu saja menangis karena sedih. Jenis respon tidak berdaya. Karena saya pandang penting untuk membela harga diri, maka anak tersebut harus diajarkan menuntut balas. Ini masalah prinsip nilai, sesuatu kenakalan harus dibalas dengan pembalasan yang sepadan. Namun ada prinsip nilai lain yang juga perlu dipegang, yaitu balaslah dengan lebih baik. Artinya suatu kenakalan tidak harus dibalas dengan kenakalan yang sama. Dalam Islam berlaku mata dibalas mata, darah dibalas darah, namun memaafkan – tidak karena lemah- adalah lebih baik. Maka anak itu saya dorong menuntut balas (melalui saya).
Pertama sepupunya yang nakal ditegur. Setelah itu dituntut balas. Namun daripada membalas dengan pukulan yang sama, saya berikan alternatif lain. Mau pukul di pantat? Mau pukul di kaki (bagian-bagian yang tidak berbahaya)? Atau mau diminta saja roti miliknya sebagai balasan? Pilihan terakhir yang tidak terduga ini ternyata membuat keduanya tertawa. Dan akhirnya pilihan itulah yang diambil. Roti sepupunya diberikan sebagai ‘denda’ atas kenakalannya.
Kebanyakan orang tua mencegah anak untuk menuntut balas yang menyebabkan anak terbiasa dalam situasi kalah-menang (lose-win). Bukannya menyebabkan anak menjadi berjiwa besar, hal ini justru menyebabkan anak rendah diri dan kalah. Karen aitu penting melatih untuk menuntut balas dengan pilihan-pilihan yang lebih baik.
Seringkali anak juga malas untuk makan. Ketika disuruh makan oleh ibunya reaksi pertama adalah, “Tidak mau!” Sebagian orang tua dengan segera menggunakan pilihan memaksa anak untuk makan yang menyebabkan anak merasa kalah. Alternatif yang biasa saya lakukan adalah menanyakan pilihan apa selain makan yang diusulkan oleh anak itu. Mau makan 5 menit lagi? Makan pakai pisang? Sepuluh suap saja? Semua pilihan kita –dan dia- sodorkan asal bukan pilihan tidak makan. Hasilnya seringkali mau makan 5 menit lagi. Mungkin dia menolak karena sedang sibuk melakukan suatu kegiatan (kalau anak saya biasanya karena sedang asyik membaca).
Pengalaman yang paling sulit adalah ketika anak saya minta boneka barbie yang cukup ‘premium’ harganya. Karena menurut saya ada pilihan lain, maka permintaan itu ditolak yang berakibat dia menangis keras-keras di toko (bikin malu nih!). Pilihan yang umum adalah segera membawa anak itu pergi dari toko dengan paksa yang tentu bukan pilihan ideal. Akhirnya kami berikan kesempatan si anak untuk membuat pilihan alternatif dari keinginannya tersebut. Dia memilih membuat karya dari pasir warna. Yah, mungkin solusi ini tidak semua orang bisa melakukan karena akhirnya kami tetap juga mengeluarkan uang, walaupun jauh-jauh lebih hemat.
Intinya adalah senantiasa menunjukkan kepada anak bahwa dia mempunyai pilihan dan selalu yang memiliki kendali untuk memilih. Kalau dia dipukul, maka dia boleh memilih untuk menangis, boleh memilih untuk marah, boleh memilih untuk tersenyum, boleh memilih apapun saja, asal tetap ‘memilih’!
Itulah proaktif, sadar bahwa kita memiliki kebebasan dalam memilih respon (www.sepia.blogsome.com/2005/10/12/melatih-kecerdasan-emosi-anak-melatih-sikap-proaktif/)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar