Kyai muda ini, sering nongol di TV. Penampilannya sejuk, bersih dan mengembangkan dzikrullah. Biasanya, jamaah dzikir yang dipimpinnya menangis tersedu‑sedu, ingat dosa, takut tidak diampuni. Yang lebih esensial, dalam dzikrullah merasa bertemu Allah.
Siapa dia? KH Arifin Ilham. Obsesinya ingin menjadi pribadi dzikir, menjadikan Allah sebagai tujuan hidup, Dunia adalah sorga, bumi menjadi masjidnya, Bicaranya dakwah, diamnya dzikir, nafasnya tasbih, matanya rahmat (kasih sayang), telinganya terjaga, pikirannya baik sangka. Selanjutnya, cita‑citanya menjadi syuhada', kesibukannya asyik memperbaiki diri, tidak tertarik mencari kekurangan apalagi aib diri orang lain, tidak tergoda hawa nafsu selama hidup, hatinya berdoa, tangannya sedekah, langkah kakinya jihad, kekuatannya silaturahmi, kerinduannya syafaat Allah Swt.
Diri ini kita giring menjadi pribadi unggul, atau pribadi paripurna. Sebab yang terjadi selama ini kita sering mempermainkan diri sendiri, Tujuan hidupnya tidak jelas, lisannya mengumpat dan mencaci, Pikirannya jelek pada orang lain, yang dicari kekurangan orang, lupa memperbaiki diri, Allah dikesampingkan, bacaan Qur'an asing di rumahnya, shalat berjamaah sejarang jari tangan saat direnggangkan, dan matanya penuh sindiran.
Pribadi negatif, hidupnya tidak tenang, Orang lain selalu curiga, Dia tidak bisa menebar kedamaian. Yang dikembangkan selalu konflik. Orang lain dianggap lawan, Jika ada persoalan dia senang. Terhadap orang yang mendapat rezeki merasa iri dan dia ingin agar nikmat di tangan orang lain pindah ke tangannya.
Tidak disadari, dia masuk neraka dunia, Yaitu, perasaan yang penuh rasa iri. Tidak rela kalau ada orang mendapat nikmat, la berupaya agar nikmat tadi jangan berlama‑lama di tangan orang lain. Dicarinya cara agar nikmat tadi hilang atau pindah tangan. Setelah itu, dia masuk neraka kedua, yaitu hasut, la selain tidak senang kalau ada orang lain mendapat nikmat, di hatinya senang kalau ada orang terkena musibah.
Baru meningkat ke neraka lain bernama dengki dan dendam. Dia ingin menjatuhkan orang lain sampai kapanpun. la lupa orang lain tidak bersalah, yang salah adalah dirinya. Tetapi, atas pertimbangan dia ingin merebut kenikmatan maka kebencian ditebar, dan kalau juga belum kena maka dia pun dendam. Hati seperti inilah yang disebut hati membatu, keras, bahkan mati.
Kehidupan ini, membutuhkan orang berhati lembut, tidak kasar. Kalau ada masalah, selalu didiskusikan secara baik dan benar, Tak ada emosi, apalagi perasaan dongkol. Prinsip dialog dalam Islam dipakai secara mendalam kepada siapapun. Yaitu, mau mendengar suara hati lawan bicara, diikuti pikirannya sampai tuntas, baru disampaikan alternatif pemikiran yang tidak memaksa.
Pribadi sholeh dibutuhkan dunia. Sebab dari mereka tercipta kedamaian. Masyarakat tidak onar, Tetangga merasa tenang. Dan, kalau dia datang semua senang, jika pergi merasa kehilangan. Pribadi sholeh selalu menganggap orang lain penting, lebih penting dari dirinya. Tidak ada perasaan dirinya lebih hebat dari orang lain. Sebaliknya, merasa dirinya tidak punya makna tanpa hidup dengan orang lain, Orang lain yang menyebabkan hidupnya menjadi berarti.
Kalau bertemu selalu berhias senyum manis, Bukan senyum menghayutnya birahi, tetapi senyum kemanusiaan. Senyum kaya makna, senyum yang tidak basa‑basi. Raut mukanya selalu ceria, karena luapan iman yang selalu bergelora di benaknya meluber ke luar memancar lewat pori kulit muka sehingga menjadikan cahaya di raut mukanya.
Dunia ini diciptakan bukan untuk dihuni oleh orang yang suka merusak, tukang hasut, penebar fitnah, apalagi adu domba dan pembunuh. Terlalu mahal nilai dunia jika diciptakan untuk mereka. Allah sama sekali tidak berkenan hambanya hidup dengan tampilan seperti itu. Tetapi karena sifat rahman dan rahimnya, Allah memberi toleransi kepada mereka. Tetapi jangan lupa Allah tidak pernah ingkar janji. Siapa yang melakukan dosa sekecil apapun akan mendapat ganjaran. Begitu juga bagi yang melakukan pahala sekecil apapun juga akan dibalasnya.
Dunia ini telah tercoreng oleh perilaku manusia yang sejak awal mengetahui kalau dirinya diciptakan Allah tetapi ternyata dia mengingkari dan mengkufurinya. Otaknya sudah keblinger. la tidak mau tahu sentuhan halus Tuhan pada dirinya. "Dalam dirimu banyak hal, apakah tidak kamu pikirkan?" kata Tuhan, Maksudnya, mbok ya pikir apa saja “fasilitas” yang Allah ciptakan, Misalnya, sempurnanya rangkaian seperangkat alat tubuh yang begitu rapi, dan bekerja secara teratur. Otak kita, isi syarafnya tidak kurang dari 10 miliar. Syaraf ini mampu merekam 11 juta huruf setiap harinya. Memori selama hidup diperkirakan bisa menampung 12,5 juta triliun huruf. Bisa dibayangkan bagaimana kalau syaraf tersebut mengalami konslet satu satu. Yang terjadi adalah mengalami kerusakan. Bisa jadi kita akhirnya stroke, atau kehilangan pandangan, pendengaran, tidak bisa mengunyah, kehilangan rasa di lidah, dan sebagainya. Semua itu harus dijaga dengan baik, dan hendaknya hati‑hati. Kita bisa membayangkan bagaimana Allah Yang Maha Kuasa mengatur segala hal yang pada diri kita. Dalam Buku Pintar Senior dituliskan, seorang berukuran normal melepaskan sekitar 600.000 partikel kulit setiap jamnya, bila dijumlah dalam setahun menjadi 700 gram. Pada usia 70 tahun ia kehilangan 50 kg kulit atau sekitar 2/3 berat tubuh, subhanallah.
Tanpa disadari orang kehilangan 45 helai rambutnya setiap hari, malah yang rontok sampai 60 helai per hari. Tetapi karena kulit kepala rata-rata mengandung 125.000 rambut, maka rambut rontok sejumlah tersebut tidak ada artinya, Maka dalam sepanjang usianya (jika usia 60 tahun) dia kehilangan 1,5 juta helai rambut, tetapi Allah juga menumbuhkan kembali. Allah akbar!
Belum puas melihat kekuasaan Allah? Lihat tenggorokan kita ini. Meski kalau dipegang terasa lembut, namun kerjanya sungguh luar biasa. Tenggorokan ibarat jalan, maka dia merupakan jalan yang paling sibuk dalam tubuh. Melalui mulut lalu turun ke tenggorokan sesorang selama hidup bisa menghabiskan 40 ton makanan dan menghirup sekitar 500.000 meter kubik udara. Dan masih banyak lagi kehebatan tangan Allah yang ada pada diri manusia.
Bisa dibayangkan, kalau saja Allah mudah marah melihat perilaku hambaNya dengan cara ngacak-ngacak peralatan tadi, maka akan terjadi kerusakan. Dan, pada akhirnya apa yang kita miliki dalam tubuh ini juga akan rusak sehingga pada akhirnya kita menjadi jasad yang tidak bermakna bagi orang lain. Apalagi kalau nafas telah berhembus abadi, maka kita akan 'dilempar' ke liang lahat, dan ditinggal sendiri di sana, Lalu apa?
Melihat tidak seriusnya kita dibalik fasilitas yang Allah pinjamkan kepada kita itu, maka tidak ada sikap lain yang layak dilakukan kecuali dengan merunduk serendah‑rendahnya. Kita ini memang sangat dholim, Tidak seberapa bersyukur kepada Allah yang begitu kasih sayang‑kepada kita. Menunggu kapan kita akan mensyukuri nikmat Allah tadi? Apakah setelah nanti tulang belulang mulai berbunyi karena telah aus. Atau, tetap saja begini dengan mengandalkan pikiran picik kita yang menganggap bahwa siksa Allah itu enteng saja.
Di kalangan ulama sufi berkembang kalimat demikian, "Silahkan anda melakukan perbuatan dosa sepuas‑puasnya, Tetapi ingat, resiko ditanggung sendiri, Besok tidak ada pelimpahan dosa kepada orang lain," Maka yang benar adalah kita melakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya agar kelak menjadi orang yang bisa menikmati balasan yang jauh lebih baik dari apa yang kita kerjakan di dunia,
Ajakan berikut mungkin tidak menarik. Mari kita berebut sorga dengan memanfaatkan fasilitas dalam tubuh kita. Misalnya, merebut sorga dengan mulut ini. Caranya, memperbanyak dzikir kepada Allah, Allah suka melihat hamba‑Nya lisannya selalu berdzikir, Ini salah satu dari iman yang menggelora di hatinya. Rebutlah sorga dengan kaki kita. Yaitu, dengan menggunakan kaki melangkah di jalan yang diridhoi Allah, Sebab ada kalanya hamba yang dijerumuskan ke neraka karena kakinya tidak dikendalikan, la melangkah ke jalan sesat dan penuh dosa. Gara‑gara kakinya, dia berlumuran dosa. Begitu juga dengan mata, telinga, dan alat lain dalam sekujur tubuh kita. Sorga bergantung bagaimana kita melakukan aktivitas di dunia. Kalau kita lengah, ceroboh apalagi menganggap enteng siksa akhirat, maka kita akan seenaknya melakukan sesuatu di dunia, Pertanyaannya sederhana, apakah kita sanggup menerima siksa Allah kelak sebagai balasan atas kelakuan kita di dunia? (Dahlia Putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar