Sabtu, 01 Desember 2007
MENGENAL ALLAH
Setelah melakukan pencarian terhadap eksistensi Allah, marilah kita mulai mengenal Dzat yang Maha Agung dan Maha Suci itu. Tapi, bisakah kita mengenalNya? Dan, Bagaimana pula cara mengenalNya? Bukankah Dia Dzat yang tidak tergambarkan oleh akal manusia?
Sejarah manusia telah menunjukkan bahwa manusia memiliki naluri untuk berusaha mencari dan mengenal Dzat Ketuhanan. Namun kenyataan selalu menunjukkan, upaya itu seringkali tersesat. Bukan ketemu Tuhan Allah, melainkan ketemu dengan Tuhan-Tuhanan.
Kenapa bisa demikian? Sebab, Dzat Tuhan yang Sesungguhnya itu memang jauh di luar perkiraan akal kita. Meskipun, bukan berarti tidak bisa 'didekati' dengan akal manusia.
Karena kenyataan itulah, Allah lantas memperkenalkan DiriNya kepada manusia. Ya, Dia sengaja memperkenalkan Diri, agar manusia mengenalNya. Bukan kenal lewat 'sekadar dugaan-dugaan' saja. Karena dugaan alias persangkaan memang tidak bakal mengantarkan kita kepada kebenaran yang hakiki. Hal ini berulangkali Dia firmankan dalam Al Qur’an al Karim.
QS. Yunus (10) : 66
Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.
QS. Fushshilat (41) : 23
Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
QS. Hujuraat (49) : 12
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Jadi, kunci pengenalan Dzat Allah itu harus berdasar pada informasi yang akurat dan bisa dipercaya. Bukan sekadar dugaan. Lantas, dimanakah informasi akurat itu berada? Tentu saja ada di dalam firman-firmanNya.
Apakah kita tidak bisa menemukan Tuhan Allah lewat pendekatan akal dan sains? Sebenarnya bisa, tapi butuh waktu sangat panjang. Dan tidak semua orang bisa memahamiNya dengan baik. Seringkali, usia manusia bahkan sepanjang peradabannya tidak cukup untuk menemukan Allah. Yang ketemu adalah Tuhan-Tuhanan dzat yang spesifikasinya jauh lebih rendah dari Tuhan Yang Sesungguhnya.
Maka, kita harus membalik model pencarian itu. Bukan dari sains ke Al Qur’an, melainkan dari Al Qur’an ke Sains. Pendekatan Sains tetap diperlukan untuk menguraikan simpul-simpul informasi yang ada di dalam Al Qur’an. Tanpa Sains kita hanya akan memperoleh pokok-pokok informasi tanpa memperoleh kedalaman maknanya. Sekadar pendekatan bahasa, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan penafsir. Pendekatan Sains akan lebih memperkaya makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.
Tapi, tentu saja pemahaman bahasa merupakan kunci utama dalam memahami informasi. Dalam era modern ini metode pemahaman bahasa telah berkembang demikian pesatnya. Sehingga sangat memudahkan kita dalam memahami Al Qur’an.
Dan saya kira, ini memang fasilitas yang diberikan Allah kepada umat manusia di muka Bumi, yang tidak semuanya berbahasa Arab. Allah menjamin, bahwa Al Qur’an ini didesain secara khusus dan mudah untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk orang Arab. Hal itu berulang kali ditegaskan Allah dalam QS. Al Qamar : 17, 22, 32, 40.
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?
Saya selalu menggunakan metode itu untuk memahami dan mengenal Allah. Mengambil informasi dari ayat-ayat Qur'an dan menafsirinya lewat pendekatan Sains dan logika modern.
Apakah memang Allah memberikan banyak informasi tentang diriNya di dalam Al Qur’an? Ya, begitulah. Kata-kata yang paling banyak diulang di dalam Al Qur’an adalah kata ‘Allah’. Tidak kurang dari 3.326 kali. Itu artinya, Dia memang sedang memperkenalkan Diri kepada kita, seluas-luasnya.
Sehingga, kalau kita mau mencermati dan memahami ayat-ayat itu, sebenarnya kita sedang dibimbing olehNya untuk kenal dengan Dzat yang Maha Agung itu. Tapi, sekali lagi, harus diuraikan dengan menggunakan akal dan sains. Sebab bukti-bukti keberadaanNya bukan hanya berada di dalam Al Qur’an melainkan lebih banyak berada di alam sekitar kita.
Al Qur’an bersifat menggiring perhatian kita dengan informasi-informasi pokok, sedangkan penjabarannya ada dalam realitas kehidupan kita. Karena itu, jika kita ingin kenal Allah kita harus banyak-banyak merefleksikan ayat-ayat Qur'an itu dalam kehidupan. Jika tidak, maka yang kita dapatkan hanyalah teorinya saja. Bukan makna yang sesungguhnya.
QS. Yusuf (12) : 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.
Coba perhatikan, ayat di atas dengan sangat jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa tanda-tanda kebesaran Allah itu sebenarnya tersebar di langit dan di Bumi dalam keseharian kita. Sayangnya, kebanyakan kita melewatinya begitu saja. Sehingga, kita tidak menggenal Allah sebagai Tuhan yang sesungguhnya.
Seringkali, kita mengenal Allah hanya sebatas teori. Bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Besar. Tapi, sebenarnya kita tidak merasakan apa-apa tentang Kebesaran Allah itu. Kita juga tahu secara teori, bahwa Allah Maha Mengasihi dan Menyayangi. Namun toh, kita tidak bisa merasakan seberapa besar Kasih Sayang Allah kepada kita.
Sehingga jangan heran kalau Allah mengatakan bahwa kita ini sebenarnya tidak begitu mengenal Allah, bahwa Allah adalah Dzat yang benar-benar Maha Kuat dan Maha Perkasa. Pengenalan kita terhadap Allah hanya di kulit saja. Cuma teori belaka. Tanpa merasakan prakteknya. Atau, kalaupun merasakan, sangatlah sedikit.
QS. Al Hajj (22) : 74
Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benamya. Sesungguh-nya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
QS. Az Zumar (39) : 67
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.
Ayat yang terakhir itu memberikan gambaran betapa kita tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Persepsi kita perlu dibenahi dan dibangun kembali dengan wawasan yang lebih baik. Di antaranya, kita diperintahkan untuk membandingkan dengan sains dan penemuan-penemuan mutakhir tentang realitas di sekitar kita.
Untuk memperoleh perbandingan yang ekstrim, Allah seringkali menyebut-nyebut langit dan Bumi sebagai bukti-bukti kebesaranNya. Kenapa? Karena dengan memahami langit dan bumi kita menjadi tahu betapa besarnya alam semesta ini. Apalagi Yang Menciptakannya!!
Begitulah. Dengan berusaha memahami ayat-ayat Qur'an dan menyesuaikan pemahamannya dengan realitas di sekitar, maka diharapkan kita akan mengenal Allah dengan lebih baik. Mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya! Semua itu bisa terjadi, karena DIA memang memperkenalkan DiriNya kepada kita...
PERSONIFIKASI SIFAT-SIFAT ALLAH
Begitu besarnya Dzat Allah, sehingga tidak terwadahi oleh pikiran kita! Demikian pula, saking besarnya Dzat Allah, sehingga eksistensiNya tidak bisa dijelaskan oleh bahasa. Tidak ada bahasa yang bisa mewadahi dan menjelaskan tentang keadaan dan sifat-sifat DzatNya.
Karena itu, meskipun Allah sudah mengenalkan DiriNya lewat Al Qur’an, itu belum mentransfer seluruh makna yang terkandung dalam KehendakNya. Makna yang lebih tinggi baru bisa kita rasakan ketika mempraktekkan dan mengonfirmasikannya dalam kehidupan sehari-hari, berupa amalan.
Membaca Al Qur’an adalah menyerap kepahaman dengan menggunakan ungkapan bahasa, lewat pikiran, mata dan telinga. Sedangkan mengamalkan dalam kehidupan adalah menyerap makna dengan menggunakan seluruh potensi kemanusiaan secara utuh. Karena itu, sesungguhnya kita baru akan mengenal Allah dengan lebih baik jika menyerap lewat amalan. Bukan sekadar bahasa dan teori belaka.
Namun demikian, mau tidak mau informasi itu harus dikomunikasikan lewat bahasa. Dan kemudian, Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa untuk memperkenalkan Diri. Tapi, sebenarnya makna yang tersimpan di dalamnya tidak hanya bisa diakses dengan menggunakan bahasa Arab saja. Bahasa apa pun yang dimiliki peradaban manusia bisa digunakan untuk memahami makna itu. Terjemahan adalah salah satu metode untuk menyerap makna yang terkandung di dalam bahasa Al Qur’an.
Makna adalah makna. Bahasa sekadar media untuk menyampaikan makna. Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya tidaklah bersifat mutlak. Juga tidak bisa mewadahi makna yang sesungguhnya.
Termasuk ketika Allah memperkenalkan DiriNya dengan bahasa manusia, sebenarnya ungkapan-ungkapan itu tidak pernah bisa mewakili substansi. Dan inilah yang sering menjebak pemahaman kita.
Sebagai contoh, ketika Allah mengatakan bahwa Allah 'melihat' seluruh makhlukNya. Kita seringkali terjebak pada persepsi bahwa Allah memiliki mata, sebagaimana manusia memiliki mata.
Demikian pula ketika Dia mengatakan bahwa Dia 'Maha Mendengar' segala ucapan. Kita pun lantas menyimpulkan seakan-akan Allah memiliki telinga.
Bahkan, ketika Allah mengatakan bahwa Dia menggulung langit dengan tangan kananNya, kita pun membayangkan betapa Allah memiliki tangan. Malahan sepasang, kanan dan kiri. Padahal, pasti bukan demikianlah keadaanNya.
Bahasa memunculkan persepsi. Sedangkan persepsi terbentuk dari pengalaman dan wawasan. Maka jika pengalaman dan wawasan kita sempit, persepsi itu pun ikut sempit. Jika kita ingin memperluas dan menyempurnakan persepsi, kita harus memperluas wawasan dan pengalaman, lewat aktivitas konkret sebanyak-banyaknya.
Begitulah sebenarnya konsep dasar dan mekanisme beragama. Allah memerintahkan banyak-banyak beramal kebajikan, karena dengan beramal itu kita akan mengenal DzatNya yang Maha Sempurna dan Maha Agung. Bukan hanya lewat teori sekadar membaca Al Qur’an. Karena sesungguhnya, inti semua peribadatan kita adalah upaya untuk mengenal dan mendekatkan diri kepadaNya belaka. Dan akhirnya, memuncak dengan berserah diri sepenuhnya KepadaNya.
Nah, bahasa Arab yang dipilih sebagai bahasa Al Qur’an mengkomunikasikan Sifat-Sifat Allah seluas-luasnya. Dengan harapan, kita bisa mempersepsinya secara baik. Mau tidak mau, semua itu menggunakan ungkapan-ungkapan yang sangat manusiawi. Dan karena itu sangat terbatas.
Maka, jangan heran jika Allah memperkenalkan diri secara personifikasi. Punya mata, telinga, tangan, kursi dan singgasana. Tapi kita jangan memahaminya hanya berdasarkan satu dua ayat saja itu bisa menjebak pemahaman kita.
Pemahaman yang lebih baik adalah dengan mengambil sebanyak-banyaknya ayat-ayat tentang Allah. Barulah kemudian kita boleh menafsirinya secara komplementer, saling melengkapi. Berarti kita harus membaca dan memahami minimal 3.326 ayat tersebut? Ya, begitulah!
Dalam memahami makna Al Qur’an, saya memilih metode menyusun puzzle. Anda pernah bermain puzzle? Itu adalah permainan menyusun kembali gambar yang terpotong-potong menjadi banyak bagian. Suatu misal, ada gambar Beruang dengan pemandangan hutan di belakangnya. Gambar itu dipotong-potong menjadi 20 bagian lebih kecil.
Potongan-potongan gambar itu diburai, kemudian Anda diminta untuk menyusun kembali seperti yang seharusnya. Tentu saja, Anda harus mengambil dan menyusun semua potongan itu agar membentuk gambar yang sempurna. Jika tertinggal satu potongan saja, maka gambar Beruang dan pemandangan di belakangnya bakal tidak sempurna.
Nah, bagi saya, begitulah cara yang baik dalam memahami Al Qur’an. Kenapa demikian? Karena Al Qur'an adalah informasi yang saling melengkapi dan saling menjelaskan antar ayat-ayatnya. Tidak ada ada pertentangan di dalamnya. Hal ini dikemukakan sendiri oleh Allah.
QS An Nisaa' (4) : 82
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.
QS. Yusuf (12) : 111
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
QS. Al Baqarah (2) : 185
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Ayat-ayat tersebut memberikan guidance kepada kita bahwa pemahaman atas Al Qur’an harus didasarkan pada konsep: tidak ada pertentangan antar masing-masing ayat; semua ayat itu sudah bisa menjelaskan segala sesuatu; dan pemahaman yang diperoleh adalah berupa petunjuk lebih lanjut untuk dijalankan dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Maka, ketika kita berbicara tentang Allah dari dalam Al Qur’an, kita juga menyikapinya dengan cara yang sama.
1. Semua informasi itu harus kita pakai untuk saling melengkapi maknanya. Kita tidak boleh mengambil sejumlah ayat, dan mengabaikan makna ayat lainnya. Apalagi saling mempertentang-kannya kalah mengalahkan antar ayat.
2. Dengan ayat-ayat itu sudah cukup untuk memperoleh kepahaman dan guidance, dalam rangka merekonstruksi lebih jauh lewat kegiatan-kegiatan empirik dalam kehidupan kita.
3. Dan lewat kegiatan empirik itulah kita lantas memperoleh kepahaman yang lebih dalam. Karena, ternyata ayat-ayat Qur'an itu memperoleh komplemen alias pasanganya di ayat-ayat 'Kauniyah' yang terhampar di sekitar kita. Teori (ayat-ayat Qauliyah) dan 'praktek' (ayat Kauniyah) akan menghasilkan kepahaman yang mengarah pada kesempurnaan. Itulah saat-saat seorang hamba bisa mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya...
Dengan demikian, Allah telah memperkenalkan DiriNya dengan mekanisme yang sempurna. Tinggal, apakah kita mau dan mampu menyambut perkenalan itu dengan tangan dan hati yang terbuka.
QS. Yusuf (12) : 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.
Personifikasi yang tergambar dalam ayat-ayat Qur'an itu justru akan menemukan 'bentuk' yang lebih abstrak, ketika kita padukan dengan ayat-ayatNya di alam semesta.
Kebesaran Allah, misalnya. Persepsi kita tentang Allah Maha Besar, ketika membaca ayat Qur'an dengan ketika 'membaca' ayat Kauniyah di Langit dan Bumi, sungguh sangatlah berbeda.
Ketika membaca Al Qur’an, yang kita peroleh tidak lebih dari makna bahasa, bahwa Allahu Akbar adalah bermakna Allah Maha Besar. Tapi, ketika kita membaca ayat-ayat Kauniyah tentang Langit dan Bumi, Makna Allahu Akbar itu menjadi demikian 'Besar Tak Terperikan'. Membuat hati kita tercekat mengagumi KebesaranNya...
Demikian pula ketika kita memahami makna Subhanallah dari ayat-ayat Qur'an, yang kita peroleh adalah sekadar arti 'Maha Suci'. Tapi, ketika kita membacaNya dari ayat-ayat Kauniyah, kita memperoleh kepahaman bahwa yang disebut Maha Suci itu bukan berarti Allah 'meninggalkan' benda-benda dan tempat-tempat yang kita anggap kotor. Melainkan, justru memperoleh gambaran betapa Allah adalah Dzat yang mengatur dan mengendalikan semua kekotoran dan kebersihan dalam tatanan seimbang untuk membangun kehidupan yang harmonis.
Bahkan lebih jauh, makna kata Subhanallah itu memberikan gambaran betapa Allah adalah Dzat yang tidak tersentuh oleh sifat-sifat keterbatasan seperti makhlukNya. Jadi, bagi Dia, kotor dan bersih itu tidak ada bedanya. Karena semua itu bersumber dari DzatNya.
Baik dan buruk, demikian pula adanya; sebab Dialah yang menciptakan malaikat dan setan sebagai 'aparat' kebaikan dan keburukan. Surga dan neaka sebagai balasan atas keduanya.
Ya, seluruh ruang, waktu, materi, energi dan etika (sistem nilai) juga tidak ada pengaruh bagiNya. Ia adalah Dzat Yang Maha Suci dari segala keterbatasan kepahaman kita.
Maka, jangan heran, meskipun Allah telah memperkenalkan DiriNya kepada kita, Dia masih menambahkan bahwa DzatNya jauh lebih Dahsyat daripada yang telah kita pahami.
QS. Asy Syuura (42) : 11
(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
Ketika Allah menginformasikan, bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, maka sesungguhnya Dia telah mengatakan bahwa segala kepahaman kita tentang DzatNya tidak ada yang sempurna.
Kita menganggap bahwa Allah melihat dengan mata, misalnya. Sebenarnya adalah salah. Sebab Allah tidak serupa dengan yang kita bayangkan.
Ketika Allah mengatakan bahwa Dia Maha Mendengar, dan kemudian kita mempersepsiNya sebagai Dzat yang memiliki telinga, maka kita pun sedang tidak benar dalam mempersepsi Allah. Karena Ia tidak serupa dengan pemahaman itu.
Atau ketika kita menganggap Dia memiliki tangan karena menggulung langit dengan tangan kananNya, sebenarnya, lagi-lagi kita telah keliru mempersepsi DzatNya. Karena Ia memang bukan seperti yang tergambar dalam benak kita.
Dan masih banyak lagi informasi dalam Al Qur’an yang kita persepsi secara keliru, karena terjebak oleh ungkapan-ungkapan yang bersifat personifikasi. Di antaranya adalah Allah memiliki kursi 'Singgasana', bersemayam di atas Arsy, memiliki Kerajaan, Allah Berbicara kepada hambaNya, dan sebagainya, dan seterusnya.
Semua itu adalah sekadar ungkapan manusiawi yang sangat terbatas atas Sifat-Sifat Ketuhanan yang Tiada terbatas. Allah 'terpaksa' menggunakan bahasa yang dikuasai oleh manusia untuk memperkenalkan diriNya. Maka, DzatNya lantas menjadi terpersonifikasikan secara terbatas pula, seiring dengan persepsi kita.
Tapi, bukan berarti kita lantas tidak bisa dan tidak boleh mempersepsi Allah. Jangan lantas mengatakan: 'kalau begitu nggak usah memahami Allah saja, toh kepahaman kita itu selalu keliru.'
Bukan begitu! Maksud ayat itu adalah untuk menyadarkan kita bahwa Allah yang kita persepsi itu sebenarnya 'belum' Dzat Allah yang sesungguhnya. Masih kurang Besar. Masih Kurang Suci, Masih kurang Perkasa. Masih Kurang Agung. Dan masih kurang Dahsyat dengan segala kemutlakanNya...
Ya, Allah adalah Dzat yang Kualitas Keagungan dan Kesuciannya tiada terhingga. Kita diajari untuk terus membangun kepahaman menuju kepahaman tiada berhingga itu. Bukan berpuas diri pada kepahaman sementara yang berkualitas rendah.
Disinilah memang kuncinya. Allah sedang menggiring kita menjadi manusia berkualitas tinggi lewat proses pemahaman itu. Manusia adalah makhluk tertinggi yang pernah diciptakan Allah. Karena itu kita harus menuju kualitas tertinggi itu.
Bagaimana caranya? Dengan 'memompa' setinggi-tingginya kualitas kemanusiaan kita. Meningkatkan substansinya lewat fungsi akal dan jiwa, berdasarkan pencerahan ilmu pengetahuan. Inilah yang sebagiannya telah kita bahas dalam diskusi sebelumnya :'Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh'.
Karena itu, Allah sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan lebih dari yang lain. Ilmu pengetahuan memberikan pencerahan pada jiwa. Dan pada gilirannya memberikan kemampuan mengenal Dzat Allah dengan lebih baik.
QS. Al Ankabuut (29) : 43
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
QS. Ali Imran (3) : 18
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
QS. Al Mujaadilah (58) : 11
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi i1mu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Begitu tinggi Allah menghargai orang-orang yang berilmu. Bahkan sebagaimana malaikat, mereka adalah orang-orang yang paham tentang eksistensi Ketuhanan. Belum sempurna, memang. Tapi terus menuju pada kesempurnaan. Kepahaman yang sesungguhnya akan terjadi ketika kita 'bertemu' denganNya kelak, di hari Akhir..
QS. Ar Ra'd (13) : 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
QS. Huud (11) : 29
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".
MANUSIA MENGIKUTI FITRAH ALLAH
Ada yang berpendapat bahwa manusia adalah 'fotokopi' dari Dzat ketuhanan. Salah satu dasarnya adalah ayat yang mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah dengan mengikuti fitrahNya. Seperti apa Fitrah Allah, maka seperti itu pulalah fitrah manusia.
QS. Ar Ruum (30) : 30
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Tapi, saya kira kita tidak boleh berlebihan dalam mempersepsi hal ini. Jangan sampai, misalnya, karena kita adalah fotokopi dariNya, maka kita menganggap Dzat Ketuhanan itu berbentuk seperti manusia, dalam ukuran yang sangat besar!
Pemahaman seperti ini akan bertabrakan dengan berbagai ayat yang ada di dalam Al Qur’an, yang sama-sama menceritakan tentang eksistensiNya. Banyak ayat yang menceritakan Sifat-Sifat Ketuhanan yang harus kita rumuskan secara holistik. Di antaranya, bahwa Dia adalah Dzat Tunggal yang tidak tersusun dari bagian-bagian. Dia adalah Dzat yang Maha Besar, yang besarnya tidak ada yang menyamai atau pun menandingi. Dia juga Dzat yang Maha Tinggi, Maha Luas, sekaligus Maha Halus, meliputi yang kecil-kecil dalam skala mikro.
Dia adalah Dzat yang Perkasa, Maha Berkuasa, sekaligus Maha Berkehendak, yang kehendakNya tidak ada yang membatasi. Dia Dzat yang Maha Pintar, Maha Berilmu, serta Maha Mengetahui, yang pengetahuanNya meliputi seluruh penjuru alam semesta atau lebih luas lagi. Dia adalah Dzat yang Maha Kaya, Pemberi Rezeki, Sangat Pemurah, sangat suka mengurusi kebutuhan makhluk Nya. Dan Seterusnya, dan seterusnya.
Namun demikian, jangan lupa, bahwa Dia juga mengatakan laisa kamitslihisyai-un. Dia adalah Dzat yang tidak seperti apa pun yang bisa kita bayangkan. Tidak ada yang serupa denganNya. Meskipun hanya selintas angan-angan di dalam pikiran!
Kenapa demikian? Karena untuk merumuskan perpaduan atas seluruh Sifat-SifatNya itu sangatlah kompleks luar biasa! Pikiran kita begitu terbatasnya untuk bisa memahami meleburnya sifat Maha Besar, tapi juga Maha Halus. Antara Maha Awal dan Maha Akhir. Antara Maha Penyayang, tapi juga Maha Keras SiksaNya. Atau, Dzat yang berada di Timur dan Barat dalam waktu yang bersamaan. Atau Dzat yang memiliki sifat Maha Zhahir dan Maha Bathin. Dan, seluruh Sifat Sifat kontradiksi yang pernah kita kenal, atau bahkan yang belum pernah kita ketahui...
Persepsi yang terbentuk dalam benak kita terhadap DzatNya sangat bergantung kepada kemampuan kita dalam memahami perpaduan seluruh sifat kontradiksi itu sebagai suatu Dzat Tunggal. Itulah Dzat Allah Azza waialla, Dzat Maha Dahsyat yang Tiada Terbatas!
Proses pemahamannya bakal berlangsung dalam skala yang tidak terhingga. Karena memang Allah adalah Dzat yang Tiada Berhingga. Bayangkan, untuk memahamiNya, kita harus mengumpulkan dan merumuskan secara Tunggal, semua variabel Sifat-Sifat yang pernah kita kenal dan yang tidak kita kenal, dalam skala tidak berhingga.
Pasti, problem kita akan sangat kompleks. Problem pertama, kita bakal kesulitan mengumpulkan semua variabel yang jumlahnya tidak berhingga tersebut. Yang kedua, kita akan kesulitan karena juga harus mengumpulkan Sifat-Sifat yang tidak kita kenal. Dan yang ketiga, pada saat merumuskanNya kita bakal kesulitan 'merangkum' skala tak berhingga itu dalam kefahaman praktisnya. Apalagi untuk 'mengukur' rumusan itu.
Ya, kalau semua yang kita kenal ternyata berada di dalam Kebesaran Allah, bagaimanakah kita bisa mengukur kebesaran Allah! Kita kan berada di dalamNya, kok mau mengukur besarnya dari dalam.
Mestinya, agar ukurannya bisa benar, kita harus mengukurnya dari luar. Tapi sayang, kita tidak bisa keluar dari DzatNya, karena Dia begitu besarnya. Tidak ada yang lebih Besar dari pada Nya.
Begitu pula, kalau seluruh dimensi waktu berada di dalam Kebesaran DzatNya, bagaimana pula kita bisa menggunakan 'waktu' untuk mengukur KeberadaanNya? Lha wong, waktu itu sendiri cuma merupakan 'secuil' EksistensiNya! Hanya berlaku pada 'sebagian kecil KeberadaanNya'.
Saking Besarnya Dia, maka ada bagian yang tidak berhingga, yang, waktu sudah tidak bermakna lagi ketika digunakan untuk mengukurnya.
Demikian pula, kalau seluruh ukuran energi dan materi berada di dalam Kebesaran DzatNya, bagaimana pula kita bisa mengukur Kuantitas dan Kualitas Nya? Bukankah segala ukuran benda dan energi hanya 'sak ndulit' dari Kebesaran Dzat yang tak ada tepiNya.
Dan, kalau seluruh 'sistem nilai' yang berlaku di alam semesta ini semuanya bersumber dari Kebesaran dan Keagungan Sifat-SifatNya, bagaimana pula kita bisa mengukur Allah itu dengan ukuran Baik dan Buruk? Adil atau Sewenang-wenang, Pemurka ataukah Bijaksana, Pemurah atau Pelit, Penuh Perhatian ataukah Cuek!
Allah menjadi sumber dari seluruh sifat-sifat itu.Baik dan Buruk melebur dalam kemutlakan SifatNya. Adil dan Sewenang-wenang juga melebur dalam Kemutlakan SifatNya. Pemberi Rezeki dan Penahan Rezeki juga menyatu dalam kemutlakan DzatNya. 'Penyantun' dan Penyombong juga lebur di dalam DiriNya. Pokoknya, seluruh kontradiksi dari kutub-kutub ekstrim Sifat-Sifat, telah lebur dari menyumber dari DzatNya yang Maha Agung...
Dia tidak terikat oleh seluruh sistem nilai, malah sebaliknya, menjadi sumber dari sistem nilai. Bagaimana mungkin, kita bisa mengenakan sistem nilai untuk mengukur dan menilai Dia?
Sungguh, kita tidak akan pernah mampu untuk merumuskan Dzat yang Luar Biasa Dahsyatnya itu? Segala 'ukuran' lenyap tertelan oleh Kebesaran dan Keagungan DzatNya. Itulah yang dimaksudkan Allah dengan kalimat: laisa kamitslihi syai-un tidak ada rumusan apa pun yang menyerupaiNya. Meski hanya selintas dalam pikiran... !
Nah, itulah Fitrah Allah. Fitrah Dzat Ketuhanan yang tidak bisa kita ukur EksistensiNya. Tidak seperti apa pun yang bisa kita bayangkan.
Lantas, Allah menginformasikan bahwa Dzat itu telah menciptakan manusia mengikuti FitrahNya yang begitu dahsyat. Ooh, beranikah kita membayangkan bahwa eksistensi kita adalah seperti Eksistensi Ketuhanan itu? Adakah realitas yang menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas kita sederajat denganNya?
Benarkah kita memiliki kekuasaan yang tiada terhingga? Benar jugakah kita memiliki sifat-sifat pemurah yang tak pilih kasih? Apa benar kita memiliki sifat-sifat Ketuhanan dalam skala begitu besarnya? Kalau kita mau jujur, jawabnya pasti cuma satu: tidak!
Kita memang memiliki dzat berupa badan wadag ini. Tapi, tubuh dan badan wadag yang terbatas. Kita memiliki ‘daya Hidup’, tapi juga kehidupan yang terbatas. Kita memiliki kehendak, namun kehendak yang terbatas. Kita pun memiliki kekuasaan, tapi juga kekuasaan yang terbatas. Kita punya seluruh sifat-sifat Allah : pemurah, pengasih, penyombong, pemarah, pemaaf, penyiksa, bijaksana, keadilan, kejujuran dan seluruh sifat-sifat Allah lainnya, tetapi dalam skala yang sangat terbatas!
Inilah yang dalam diskusi sebelumnya : Menyelam ke samudera Jiwa dan Ruh, telah kita bahas beberapa. Bahwa Allah telah meniupkan 'sebagian' RuhNya kepada manusia, sehingga manusia 'ketularan' Sifat-Sifat Ketuhanan. Tapi dalam skala makhluk. Tentu saja sangat berbeda dibandingkan dengan skala Ketuhanan. Dalam kualitasnya maupun kuantitasnya.
Ya, fitrah manusia adalah ‘sebagian’ kecil dari Fitrah ketuhanan. Atau dalam bahasa yang lain, manusia adalah derivative alias 'turunan' dari Dzat Ketuhanan. Karena itu, manusialah yang dipilih sebagai khalifah di muka bumi. Manusia menyandang sifat-sifat ketuhanan dalam skala terbatas. Teristimewa ia memiliki 'kehendak bebas' untuk menentukan dirinya. Sifat ini diturunkan dari Sifat Allah Al Iradat Yang Maha Berkehendak.
Berbeda dengan malaikat dan iblis yang keduanya tidak memiliki 'kehendak bebas'. yang karena itu tidak ditunjuk sebagai khalifah. Mereka hanya ditunjuk sebagai 'aparat' saja. Tidak punya pilihan. Yang satu sebagai aparat kebaikan, dan lainnya sebagai aparat keburukan.
Ketinggian derajat manusia ditumpukan kepada 'kebebasan kehendaknya'. Dan karena kebebasannya itu ia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Ia dipersilakan memilih sifat-sifat malakiyah ataukah sifat-sifat setaniyah, dengan segala konsekuensinya.
Memilih sifat-sifat setaniyah berarti menuju pada api bernyala-nyala yang sangat panas, menjanjikan penderitaan. Sedangkan memilih sifat-sifat malakiyah berarti menuju pada cahaya yang terang benderang yang menjanjikan kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan...(Dahlia Putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar