Jumat, 07 Desember 2007
WAKIL TUHAN DI MUKA BUMI
Bagaikan sebuah drama, kehidupan manusia memiliki peran-peran tertentu. Demikian pula dengan laki-laki dan perempuan. Salah satu peran mereka adalah untuk menjadi pasangan, dan kemudian menghasilkan keturunan.
Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan berperan menjadi wakil Tuhan di muka Bumi. Wakil sang pencipta. Untuk menciptakan generasi-generasi selanjutnya yang bakal meramaikan drama kehidupan di planet biru ini.
Adalah sangat menarik, Allah menciptakan manusia dengan menggunakan manusia sebagai perantaranya. Tidak langsung, seperti ‘tukang sihir’ atau ‘tukang sulap’, yang mengucapkan abrakadabra, kemudian menjadi manusia. Meskipun, kepahaman seperti itu sempat menghinggapi banyak orang di antara kita, terkait dengan kalimat kun fayakun.
Masalahnya bukanlah Allah tidak mampu menciptakan dengan cara seperti itu. Sangatlah mudah bagi Alah untuk melakukannya. Akan tetapi Allah memang sengaja tidak melakukannya dengan cara itu. Melainkan dengan sebuah proses yang ‘sangat rumit’ bagi kita, tetapi ‘sangat mudah’ buat Allah.
Supaya manusia tahu, bagaimanakah tingkat kesulitan penciptaan manusia ini. Sehingga kita menjadi bisa memahami betapa Agungnya dan betapa Hebatnya Allah Sang Pencipta, Yang Maha Sempurna.
QS. An Nahl (16): 40
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia.
QS. Al Mu'minuun (23): 12-14
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Begitulah Allah menjelaskan proses penciptaan manusia. Mulanya dikatakan hanya dengan kalimat kun fayakun - jadi, maka jadilah. Akan tetapi Allah mengikutinya dengan penjelasan di ayat lain, bahwa kun fayakun itu adalah sebuah proses: dari tanah, dibuat saripatinya, dijadikan sperma laki-laki dan ovum perempuan, dipertemukan dalam rahim seorang wanita, kemudian berkembang menjadi alaqah, mudghah, izhama, dan seterusnya sampai terlahir menjadi bayi.
Proses yang diceritakan Allah dalam rangkaian ayat di atas itu bukan main rumitnya. Bahkan kemudian dipelajari dalam disiplin-disiplin ilmu yang kini terus berkembang sangat menakjubkan. Mulai dari kedokteran umum, spesialis kandungan dan kebidanan, andrologi, embriologi, genetika, endokrinologi, dan seterusnya yang semakin menukik ke dunia biomolekuler dengan segala rekayasanya.
Ilmu ini tidak akan pernah habis dibahas oleh manusia sepintar apa pun. Dan, semaju apa pun perkembangan sains dan teknologi di masa depan. Allah sekadar menunjukkan sebagian kecil ilmuNya dalam bidang penciptaan manusia. Dan, manusia dilibatkan dalam proses penciptaan itu agar tahu siapa dan bagaimana hebatnya DIA sang Pencipta Yang Maha Agung itu.
Sehingga, saya pun terobsesi untuk menulis tentang detik-detik awal proses penciptaan manusia dan perkembangannya di dalam rahim. Karena, sesungguhnyalah proses itu berjalan dengan sangat menakjubkan. Insya Allah.
Jadi, manusia adalah wakil Allah alias aktor dalam penciptaan jenisnya sendiri. Skenario dan sutradaranya adalah Dia, sang Maha Kreatif. Sang Maha Berkehendak. Sang Maha Berkuasa.
Allah memberikan sebagian Kehendak dan KekuasaanNya kepada manusia. Sebagiannya kepada wanita, sebagian lainnya kepada lelaki. Keduanya lantas berkehendak untuk berpasangan, dan saling menginginkan lewat potensi syahwat dan cinta yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Allah melengkapi potensi itu dengan sagala sistem reproduksi yang ada pada mereka
Maka, ketika Allah mengucapkan kun fayakun mulailah proses penciptaan itu dengan segala kecanggihan dan keindahannya. Dengan segala kerumitan permasalahannya. Dengan segala ketakjuban dan keajaibannya. Dan dengan segala peristiwa yang bakal mengikutinya di masa depan.
Allah menggunakan ‘jasa’ orang tua kita untuk menciptakan kita. Maka, Allah pun memberikan perghargaan kepada setiap orang tua dengan penghargaan yang sangat tinggi di hadapan anak-anaknya. Di hadapan manusia seluruhnya.
QS. Luqman (31): 14
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
QS. Al Ahqaaf (46): 15
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Pada ayat yang kedua, kita bahkan menangkap pelajaran bahwa proses itu harus diwariskan kepada anak cucu kita. Turun temurun membentuk generasi-generasi yang tangguh, penuh amal kebajikan, dan semata-mata mengagungkan Allah.
Begitulah Allah mengajarkan salah satu fitrah manusia. Bahwa kita adalah wakil Allah di muka Bumi untuk ‘menciptakan’ hamba-hamba salih yang memakmurkan planet ini. Untuk menjadi khalifah sebagaimana fitrah penciptaan kita sejak Adam dan Hawa, puluhan ribu tahun yang lalu...
QS. Ash Shaaffaat (37): 77
Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.
QS. Al Furqaan (25): 54
Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (kekerabatan lewat perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.
Penurunan generasi ke generasi selanjutnya adalah salah satu bagian dari skenario besar kehidupan manusia di muka Bumi. Bahkan bukan cuma keturunan langsungnya, melainkan diperluas oleh Allah lewat kekerabatan perkawinan antar dua keluarga yang disebut sebagai mushaharah dalam ayat di atas.
QS. Ali lmran (3): 34
(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kelangsungan kehidupan manusia di muka Bumi ini, salah satunya adalah bergantung kepada kelangsungan hubungan antara lelaki dan perempuan. Bukan hanya pada jumlahnya, melainkan juga pada kualitasnya.
Sebagai contoh sederhana adalah usia perkawinan. Jika banyak lelaki dan perempuan yang menikah lebih awal di suatu wilayah, maka wilayah itu bakal memiliki perkembangan jumlah penduduk lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain yang angka perkawinan mudanya lebih rendah.
Di negara-negara maju, angka pertumbuhan penduduknya lebih rendah dan terkontrol, salah satunya dikarenakan usia perkawinan di negara maju adalah lebih tua dibandingkan dengan negara dunia ke tiga. Mereka banyak yang menikah di usia 20-an tahun atau lebih, sementara di negara ke tiga banyak yang menikah di usia belasan tahun.
Demikian pula dengan kualitasnya. Negara-negara yang kualitas pendidikannya lebih baik, dan usia perkawinannya lebih matang biasanya lebih bisa mengontrol kualitas anak-anak mereka. Meskipun, ini kemudian masih sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang diberikan kepada anak-anak tersebut.
Kualitas keturunan juga sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antara suami dan istri. Suami istri yang tidak bermasalah dalam interaksinya, biasanya memberikan kondisi yang baik terhadap kualitas anak-anaknya. Mereka tumbuh sehat secara kepribadian, hubungan sosial, dan kedewasaannya. Sedangkan suami istri yang bermasalah bakal memberikan suasana psikis yang tidak baik kepada anak-anaknya.
Maka, tugas atau peran pasangan ayah dan ibu adalah menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan anak-anaknya. Mereka menjadi wakil Tuhan di muka Bumi untuk menciptakan generasi-generasi yang berkualitas yang bakal mengelola Bumi dan segala isinya dengan baik.
Jika mereka tidak bisa bekerjasama dan mengikuti fitrahnya itu, maka tujuan penciptaan lelaki dan perempuan itu tidak mencapai fungsi yang seharusnya. Maka, muncullah masalah.
Memang, Allah memberikan keleluasaan kehendak kepada keduanya untuk memilih. Mau berpasangan atau tidak. Mau menikah atau tidak. Mau berumah tangga atau tidak.
Bisa saja mereka memilih untuk tidak. Akan tetapi, pilihan ini bakal memiliki konsekuensi yang panjang secara individu maupun kolektif. Proses penciptaan bakal terganggu. Mulai dari tidak terbentuknya keturunan, sampai pada munculnya keturunan dengan kualitas yang tidak baik. Dan kemudian menjadi masalah kita semua...
(Firliana Putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar