Beberapa jauh anda bisa 'melihat' hikmah yang ada di balik makanan yang sedang kita santap? Tahukah anda darimana nasi dan lauk pauk yang anda makan? Tentu saja, anda spontan akan menjawab : tahu!
Bahwa nasi yang kita makan itu, berasal dari padi yang ditanam petani. Bagaimana padi itu bisa jadi nasi? Anda dengan pasti menjawab: karena sudah diproses oleh mesin selep, yang merontokkan kulit bijinya.
Lantas bagaimana bisa sampai ke tempat anda? Tentu saja dibawa oleh pedagang untuk dijual ke perkotaan. Setelah itu dimasak, dan kemudian disajikan di piring makanan kita.
Lebih jauh, saya bertanya, berapa orang yang terlibat dalam proses menyediakan nasi putih di piring anda itu? Yah, saya nggak tahu. Yang jelas cukup banyak.
Ada sejumlah petani, yang menabur biji di sawah. Menyiangi tanaman liarnya. Menunggu dan merawatnya selama beberapa bulan dengan penuh harap dan kesetiaan. Lantas, setelah menguning dipanen untuk dijual ke pedagang.
Sang pedagang punya beberapa karyawan untuk mengurusi dan mengangkuti karung-karung padi. Kemudian di bawa ke pabrik selep, untuk mengelupas kulit bulirnya.
Setelah itu, diangkutlah dengan menggunakan truk-truk menuju daerah-daerah yang jauh dari lokasi pertanian itu. Sampai di kota dijual di toko-toko. Dan kemudian kita beli untuk makan sehari-hari.
Coba cermati berapa banyak orang yang terlibat di dalam proses bulir padi menjadi nasi yang siap kita makan. Bisa ratusan atau mungkin ribuan orang. Belum lagi, sayur mayur, lauk pauk, tempe , tahu, ikan laut, daging sapi dan ayam, telur, dan berbagai bumbu-bumbu masak yang terlibat di dalamnya.
Dari manakah itu semua? Kenapa bisa demikian mudah sampai di meja makan kita, dan kemudian kita santap bareng keluarga, dengan penuh nikmat. Jika anda tidak mencoba mencari hikmah di dalamnya, barangkali anda akan dengan santai mengatakan, bahwa semua itu berjalan dengan sendirinya karena semua orang yang terlibat di dalamnya butuh bekerja.
Tapi, coba renungkan, kenapa mereka tidak menjadi petani semua. Atau menjadi peternak semua. Atau menjadi nelayan semua. Atau, menjadi pegawai semua. Kenapa, ada yang ingin menanam padi, ingin menyalurkan dan mendistribusikan, ingin menjual di toko-toko, ingin membeli, ingin memasak, ingin memakannya, dan lain sebagainya.
Dan, ini melibatkan beribu-ribu orang secara harmonis membentuk suatu tatanan hidup yang saling membutuhkan. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada penguasa, ada rakyat jelata. Ada penjual, ada pembeli.
Bayangkan kalau manusia ini kaya semua. Tidak ada yang miskin. Siapa yang mau menjadi karyawan? Tidak ada. Semua ingin menjadi bos. Bayangkan kalau semua manusia adalah penguasa. Siapa yang mau jadi rakyat jelata? Tidak ada. Bayangkan kalau semua ingin menikmati makanan tanpa terlibat dalam proses penyediaannya. Kita semua malah tidak ada yang bisa makan. Siapakah yang menciptakan harmoni ini? Tidak ada lain. Dialah Allah Sang Maha Bijak dan Maha Pemurah.
Kembali kepada makanan yang sedang kita santap. Dialah, Allah yang menyediakan buat kita. Allah yang menyiapkan nasi putih tanpa kita harus menanam. Allah `memerintah' orang lain untuk menanam buat kita. Agar kita bisa makan dengan enak. Sebaliknya, Allah memerintahkan kepada kita untuk membeli nasi itu sehingga bisa menghidupi petani, pedagang, jalur distribusi, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Allah juga yang memerintah para peternak, nelayan, pembuat tempe dan tahu, juru masak, pembuat piring dan sendok, gelas, teh, kopi, dan segala macam rezeki yang ditebarkanNya di muka bumi.
Ribuan orang atau bahkan jutaan orang terlibat untuk menyiapkan makan pagi, makan siang dan makan malam kita. Selama bertahun-tahun. Selama peradaban manusia. Betapa mempesona dan indahnya...!
Masihkah kita berpikir sempit dan egois? Sementara Allah demikian bijak dan menyayangi kita semua. Ia Maha Pemurah, dengan segala caraNya yang luar biasa. Memudahkan dan memberikan kesenangan, kenikmatan tiada tara ...
QS. Al Baqarah (2) : 29
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Namun, yang demikian ini hanya bisa ‘dilihat’ oleh orang-orang yang mencari hikmah dalam hidupnya. Orang-orang yang dekat dengan Allah. Orang-orang yang selalu ingat bahwa segala sesuatu tidak ada yang kebetulan. Orang-orang yang hatinya selalu berdzikir dalam segala situasi dan kondisi.
Termasuk ketika dia sedang menyantap makanannya. Sebelum makan ia ucapkan dan sesudahnya ia bisikkan Alhamdulillah. Karena ia tahu bahwa ia sedang ‘makan bersama Allah'...(Firliana Putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar