(Persembahan Untuk Para Sahabat)
Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu...Ikhwan and akhwat...moga hati kita dipertautkan karena-Nya
Terimakasih Telah Menjadi Sahabat Dalam Hidup kami

rss

Jumat, 25 April 2008

Kenapa Ada Nasikh Mansukh?

Salahuddin al-Ayyub, Lc

Nasikh Mansukh salah satu obyek kajian yang sangat penting dalam ilmu-ilmu Al Quran, tidak boleh diabaikan bagi orang yang menekuni spesialisasi dalam bidang tafsir Al Quran. Begitu pula bagi pemerhati kajian-kanjian yurisprudensi islam, merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam memicu perbedaan ulama tafsir dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran.

Di kalangan mayoritas ulama-ulama islam di berbagai bidang, sudah menjadi sebuah opini umum yang mapan dan paten bahwa tidak ada kemustahilan atas konsekuensi adanya NASIKH MANSUKH, justru jika dicermati realitas kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Sedangkan islam dalam sisi idealitasnya -mewujudkan maslahat manusia- adalah sebagai sasaran pokok dalam perundang-undangannya menghendaki adanya Nasikh.

Nasikh adalah perbuatan Allah SWT Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti ia sewenang-wenang dan menganiyaya, tapi semua hukum dan perbuatannya penuh dengan Hikmah dan Pengetahuan. terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib, untuk menguji loyalitas hamba-Nya.

Selama mengaktualisasikan maslahat manusia di muka bumi ini, sebagai inti dasar dan proses pijakan rel perundang-undangan dalam islam, yang pada tabiatnya sebagaian maslahat itu sendiri nisbi atau berubah-ubah, maka pemberhentian masa berlaku sebagian hukum dalam islam sangat relevan dengan keuniversalanya sebagai agama Shalihun Li Kulli Zaman Wal Makaan. Adanya pemberhentian masa berlaku sebagian hukum, karena perubahan dan perkembangan zaman, merupakan satu indikasi yang sangat kuat terhadap ruh dan semangat berkembang dan pembaharuan yang ada dalam perundang-undangan islam dari satu segi, pada segi lain merupakan stimulasi (perangsang) bagi para da’i dan ulama agar mereka menjauhi kejumudan, stagnasi dan kekerasan yang bisa menghambat kemajuan umat islam dalam dunia peradaban dan pembaharuan.

Teks (lafadz-lafadz Al Quran) yang masih tertulis dan tetap tebaca sampai sekarang dalam mushaf, sementara kandungan hukumnya sudah tidak berlaku (mansukh) merupakan sebuah ajaran dan inspirasi dari Al Quran bagi para ulama untuk memakai metode pemberlakuan secara bertahap dan berangsur, ketika menawarkan solusi dan hukum islam, khususnya ketika mengaplikasikan dalam dunia nyata, agar kecantikan dan kelembutan islam tidak ternodai, sebagai salah satu ciri khas terpenting dalam perundang-undangan islam, “Pelan-pelan tetapi terplanning lebih baik dari pada cepat namun kacau”.

di sisi kehistorisan, nasikh mansukh dapat menyingkap tabir, proses perjalanan perundang-undangan islam dan menggali pesan serta hikmah yang tersembunyi dibalik tarbiyah Allah SWT kepada hamba-Nya sekaligus sebagai Hujjah yang kokoh atas keontetikan Al Quran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan bersumber dari diri Muhammad saw yang tidak tahu baca tulis (Ummy), pada sisi lain, mengingatkan orang mu’min terhadap nikmat dan rahmat Allah swt atas keintegralan agama islam.

Barangkali salah satu makna yang signifikan yang perlu direnungi dari eksisnya beberapa ayat yang masih tetap dibaca sekarang oleh umat muslim, tetapi hukumnya telah dimansukhkan adalah boleh jadi ayat ini diterapkan kembali pada kondisi tertentu, jika sejalan dengan dakwah dan perundang-undangan islam sebagai agama yang selalu memberi perhatian atas realitas dan idealitasnya.

Mengapa dingkari adanya Nasikh

Allah swt berfirman dalam Al Quran:”Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu”[al-Baqarah;106]. “Dan apabila kami letakkan seatu ayat di tempat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:sesungguhnya kami orang yang mengada-ada”, bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”[an-Nahl:10]. Kedua ayat ini turun dengan satu Illat. Mufassirin menyebutkan bahwa sesungguhnya kaum musyrik, mereka mengatakan apakah kamu sekalian melihat Muhammad, ia memerintahkan kepada sahabtnya satu perintah kemudian melarangnya kemudian memerintahkan mereka lagi berbeda dari perintah yang lalu, maka turunlah ayat pertama,[an-Nisabury, Asbabu Nuzul]. Diriwayatkan juga dari Ibn Abbas ra: …kaum Qurays berkata:Tiadalah Muhammad melainkan menyihir sahabat-sahabatnya. Ia memerintahakan hari ini satu perintah, besok melarangnya lagi. Tiadalah Muhammad melainkan orang yang mengada-ada, maka turunlah ayat kedua,[tafsir Ruhul ma’ani jld I:350].

kalau dengan alasan bahwa Nasikh itu mengindikasikan adanya aib dan kebatilan dalam Al Quran, sehingga diingkari eksistensinya, itu berarti adanya sebuah krisis dalam menginterpretasikan Al Quran baik makna dan lafadznya. Setelah dicermati secara ilmiah, ternyata tidak ada yang mengindikasikan -baik implisit maupun eksplisit- adanya aib atau kebatilan atas konsekuensi nasikh mansukh. kalaupun perbedaan itu hanya sebatas perbedaan lafadz, bukan esensi (jauhar), mengapa harus menolak diktum Al Quran setelah Al Quran mengekspresikan hal ini secara nyata, masih adakah seleksi setelah seleksi Allah swt? masih adakah prioritas setelah Al Quran?. Allah berfirman:”Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Maka barangsiapa yang mendurhakakan Allah dan rasul-Nya sungguhlah ia telah sesat yang nyata”[al-Ahzab:36].

Bagi penganut aib dan kebatilan akan diperhadapkan pada problema yang sangat komplit, ketika ia berinteraksi dengan beberapa ayat yang justru karena kekukuhannya dalam mengingkari adanya nasikh, menjebaknya masuk ke dalam kebatilan yang lebih hebat.

Berbeda dengan Abu Muslim al-Asfahani, yang mengingkari nasikh secara dalil naqli. Abu Mutaa’ al-jabiri, keingkarannya bukan saja naqli, secara aqli pun ia mengingkarinya (lih. la Naskha fil Quran, oleh Abdul Muta’al al-Jabiri :15). namun secara umum, bantahan Al-jabiri terhadap jumhur, nampak ekspresi kefanatikannya lebih aktif, ketimbang unsur mutu argumen yang dikembangkannya, sehingga mengurangi nilai keilmiahannya, mana lagi kedhaifan dalilnya. Seperti ia menyebutkan jumlah ayat yang di nasikh dengan berlebih-lebihan untuk mendistorsi opini umum di kalangan jumhur, dan nampak juga kekurangan metodologisnya ketika ia menuduh kedhaifan dalil jumhur, sementara ia mendatangkan dalil yang lebih dhaif lagi. terkadang juga terlalu memaksa teks Al Quran menerima makna yang tidam punya indikasi, salah satu contohnya, ia menginterpretasikan ayat kedua tersbut di atas “Wa idzaa baddalna..”, “kami tidak mengganti sesuatu pun dalam Al Quran karena kalau kami menggantinya maka orang-orang kafir menjadikan alasan bahwa engkau (Muhammad) mengada-ada, maka kami tidak menggantinya saddan liszari-ah”. Bahkan terjadi kontradiksi antara dirinya sendiri ketika ia mengatakan dalam bukunya:”nasikh fii Syariatil islam kamaa af-hammuuhu”, bahwa mengingkari nasikh bukan berarti mengingkari tabdil ahkam. Padahal lafadz tabdil itu sendiri berarti nasikh. jadi tulisan al-jabiri penuh dengan penukar-balikan ditambah dengan argumen-argumen yang tak menarik dan tidak memuaskan, yang tidak bisa dijadikan sandaran untuk menandingi pendapat jumhur.[an-Nasikh bainal itsbat wa nafyi, Dr.Muhammad mahmud fargali I:121-123].

Nasikh bukan berarti menimbulkan kontradiksi yang ada dalam Al Quran, bahkan semua pemberitaan Al Quran sesuai dengan realita hukum-hukumnya, serasi dengan hikmah yang tidak bisa kurang atau lebih, sebagaimana firman Allah:”Dan kami turunkan Al Quran dengan sebenar-benarnya dan ia telah turun dengan membawa kebenaran” [al-Israa:105].

Dengan Interpretasi seperti ini -ketika mengklarifikasikan ayat batil dan ayat ikhtilaf- lebih dapat diterima adanya nasikh ketimbang mengingkarinya. karena kondisi dan situasi orang-orang yang didakwai pada permulaan islam bukan lagi pada akhir-akhir hayat Rasulullah saw. Andaikan hukum itu (yang pertama) terus berlangsung hingga akhir, tidak ada yng dimansukh, tentu akan mengidentifikasikan adanya suatu yang bertolak belakang dengan hikmah, dengan demikian menisbahkan sesuatu yang batil pada Al Quran.

0 komentar:

 
Terimakasih Atas kunjungan Anda, Semoga Semuanya Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua