(Persembahan Untuk Para Sahabat)
Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu...Ikhwan and akhwat...moga hati kita dipertautkan karena-Nya
Terimakasih Telah Menjadi Sahabat Dalam Hidup kami

rss

Rabu, 31 Oktober 2007

SEMANGATNYA PENGHARGAAN & PERLINDUNGAN



Berpoligami dalam Islam memang diperbolehkan, akan tetapi dengan tujuan yang benar-benar mulia. Bukan karena syahwat. Janganlah berpoligami dengan mengajukan alasan, bahwa kita sudah tidak mampu menahan dorongan seksual kita. Jangan pula berpoligami dengan alasan agar tidak terjadi perselingkuhan. Apalagi sambil memberikan ‘ancaman’ kepada sang istri, lewat sindiran maupun terang-terangan.

Seperti telah kita bahas di depan bahwa pembolehan poligami sama sekali bukan dikarenakan alasan syahwat. Tidak ada satu pun ayat yang membolehkan poligami karena alasan syahwat atau dorongan nafsu seks yang tak terkendali.

Islam telah memerintahkan umatnya untuk menikah, salah satu maksudnya adalah untuk menyalurkan hasrat seks. Beberapa ayatnya telah kita bahas. Tetapi coba cermati lagi tidak ada yang menyuruh berpoligami karenanya. Secara umum ayat-ayat tersebut hanya mengatakan agar kita menyalurkan dorongan nafsu itu secara legal kepada istri yang telah kita miliki atau menundukkan pandangan, memelihara kemaluan dan menjaga kesucian. Bukan menambah jumlah istri!

Sedangkan dalam hal poligami Allah menceritakannya di dalam Surat An Nisaa, yang selama ini dipersepsi secara sepenggal dan 'ditekuk' mengikuti kepentingan orang-orang yang ingin berpoligami karena alasan syahwat.
Kalau tidak hati-hati dalam memahaminya, ayat ini memang seakan-akan ‘memerintahkan’ berpoligami. Bukan cuma membolehkan. Karena kalimat yang dipakai adalah: kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...

Inilah ayat yang dipegang oleh para penganut poligami. Bahkan karena 'diperintahkan' itu, maka ada yang mengatakan bahwa poligami itu hukumnya ‘wajib’ meskipun bersyarat. Kalau ‘terbukti’ tidak mampu menjalaninya, barulah ‘boleh’ kawin satu saja.

Sebenarnya ini adalah sebuah 'kecerobohan' dalam memahami ayat tersebut. Atau mungkin ‘kecerobohan yang disengaja’ karena ditunggangi oleh kepentingan di belakangnya. Untuk memahami maknanya secara utuh kita harus mengetahui suasana di sekitar ayat itu. Yaitu ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Tidak boleh diambil satu ayat saja. Apalagi cuma diambil sepotong kalimat.

Ada cerita lucu yang dialami oleh kawan saya yang berpoligami. Seusai diskusi ada jamaah yang mendekati saya. Ternyata ia ingin bertanya soal poligami yang dilakukannya.

Ia mengatakan begini: menurut saya poligami itu diperintahkan oleh Al-Qur’an, karena kalimatnya menggunakan kata perintah : ‘kawinilah...’ dst. Tapi, setelah saya melakukan kenapa yang datang bukan sakinah mawadah warahmah seperti tujuan perkawinan itu, melainkan ‘bencana’. Saya kini pusing tujuh keliling mengatasi masalah rumah tangga saya yang demikian rumit. Tiap hari bertengkar dengan istri dan anak-anak. Nggak bisa konsentrasi bekerja. Dan kini berat badan saya turun beberapa kilo. Apa yang salah dengan saya...?!

Saya tersenyum, lantas tertawa. Waktu saya katakan kepadanya agar ia membaca dan memahami lagi ayat yang dijadikan sebagai dasar praktek poligaminya. Jangan-jangan ia salah memahami. Karena, tidak mungkin perintah Allah berbuah 'bencana' seperti itu. Harusnya berbuah rahmat dan kebahagiaan, seperti yang diceritakan dalam berbagai ayat tentang perkawinan.

QS. Ar Ruum (30): 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Yang lebih menarik adalah cerita berikutnya, sekian bulan kemudian, ketika saya berjumpa dengannya untuk ke dua kalinya. Ia mengatakan bahwa ternyata ia tak kuat menjalani poligami. Sehingga, la memutuskan untuk bercerai dengan istri mudanya. “Akhirnya terbukti bahwa saya tidak mampu berpoligami, dan memilih untuk beristri satu saja.” Wah, tambah runyam...! pikir saya.

Maka, bagaimanakah seharusnya memahami ayat tersebut. Yang jelas, kita tidak boleh keluar dari semangat utama diperintahkannya perkawinan. Bahwa salah satu tujuan perkawinan itu adalah membentuk ketentraman dan kebahagiaan. Kalau itu tidak tercapai, berarti ada yang salah dengan yang kita lakukan.

Berikut ini marilah kita baca dengan pikiran jernih ayat-ayat poligami yang sangat terkenal itu. Benarkah Allah memerintahkan poligami atau sebenarnya sedang ‘menyindir’ kita.

QS. An Nisaa' (4): 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Kalimat yang saya tebaikan itulah yang menjadi pegangan penganut poligami. Dan seringkali hanya diambil sepotong. Padahal kalimat itu tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari potongan kalimat sebelumnya yang berkait dengan perintah untuk berlaku adil kepada wanita-wanita yatim, karena dimulai dengan kata ‘maka kawinilah...’ berarti ada sesuatu penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya.

Dan, harus dicermati lagi, ternyata kalimat tentang wanita yatim itu pun merupakan bagian atau kelanjutan dari kalimat sebelumnya, yang termuat di ayat sebelumnya. Karena, awalnya dimulai dengan kata ‘Dan jika...’

Karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh kita harus memeriksa ayat-ayat sebelum potongan kalimat itu. Dan bahkan juga sesudahnya, karena masih terus terkait. Inilah suasana ayat-ayat tersebut secara utuh.

QS. An Nisaa' (4): 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta (tolong) satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Rangkaian ayat-ayat tersebut ternyata dimulai dengan cerita persaudaraan dan silaturahim. Bahwa semua kita ini bersaudara, berasal dari nenek moyang yang sama. Makanya, Allah memerintahkan kita untuk saling tolong menolong dan menjaga silaturahim di antara sesama manusia. Laki-laki maupun perempuan. Semuanya karena dorongan takwa kepada Allah - lillahi ta'ala.

Dan kemudian ayat itu dilanjutkan dengan ayat berikutnya.

QS. An Nisaa' (4): 2
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kalian memakan harta mereka bersama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa yang besar.
Ayat ke dua ini melanjutkan tema tolong menolong & silaturahim - di ayat sebelumnya - dengan tema perlindungan kepada anak-anak yatim. Allah memerintahkan agar kita membantu mengelola harta benda mereka. Dan kemudian kita serahkan ketika mereka sudah beranjak dewasa.

Setelah itu, temanya lebih mengerucut lagi kepada anak-anak yatim yang wanita. Allah membolehkan kita mengawini anak-anak yatim wanita yang tadinya berada di dalam perlindungan kita itu, ketika mereka sudah akil baligh. Sudah dewasa. Asalkan kita bisa berbuat adil terhadapnya. Tidak memakan harta benda milik mereka, atau hak-hak lainnya.

Akan tetapi jika kita khawatir tidak bisa berlaku adil kepadanya, maka kita 'diperintahkan' untuk mengawini wanita lain saja: boleh dua, tiga atau empat - terserah. Maka berikut inilah ayatnya.

QS. An Nisaa' (4): 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain saja) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Namun, ayat itu tidak berhenti pada potongan kalimat tersebut, tapi dilanjutkan lagi: ‘Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya’.

Kalimat ini sangat menarik, karena bersifat ‘mementahkan’ kembali ‘perintah’ berpoligami tersebut. Jika tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja. Kenapa dimentahkan lagi oleh Allah? Diberi alasannya: karena kawin satu itu lebih dekat kepada ‘tidak berbuat aniaya’.
Artinya - dengan kata lain - kawin dua, tiga atau empat itu lebih dekat kepada menganiaya. Istri tuanya teraniaya, anak-anaknya juga teraniaya, orang tua dan sahabat-sahabatnya pun teraniaya. Bahkan mungkin saja istri mudanya pun teraniaya. Misalnya ketika terjadi peceraian akibat tidak mampu mengelola konflik dalam perkawinan poligami, seperti yang terjadi pada kawan saya itu.

Padahal Allah tidak suka kepada orang-orang yang menganiaya. Baik menganiaya diri sendiri, maupun, apalagi menganiaya orang lain.

QS. Ali Imran (3): 57
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat aniaya (zalim).

Untuk memperoleh penegasan makna ayat ini, marilah kita ikuti terus tema yang diangkat dalam ayat-ayat tersebut.

QS. An Nisaa' (4): 4-6
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (yang kamu kelola itu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan (mereka). Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasilnya saja) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (bisa mengelola harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakan) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Cobalah lihat dan cermati. Ternyata ayat yang sering dijadikan dasar untuk melakukan poligami itu adalah ayat-ayat perlindungan kepada anak-anak yatim. Dan juga ‘sindiran’, agar kita mengangkat martabat budak-budak wanita yang teraniaya, sebagai istri. (QS.4:3)
Bahkan sampai di ayat 6, kita melihat sendiri Allah masih fokus berbicara tentang perlindungan kepada anak-anak yatim itu. Terutama yang terkait dengan harta dan nafkah mereka. Di antaranya berbentuk pemberian suami berupa mahar alias mas kawin. Dan selebihnya adalah harta peninggalan orang tua mereka. Kita tidak boleh mengambilnya secara batil.

Jadi, kita tidak habis pikir, kenapa ayat-ayat yang bernuansa perlindungan ini lantas berubah menjadi ayat-ayat syahwat. Meskipun, diembel-embeli dengan syarat bisa berlaku adil. "Boleh berpoligami asal bisa berlaku adil," begitu alasan yang sering kita dengar.

Padahal, coba baca ayat berikut ini, Allah dengan tegas mengatakan bahwa kita tidak akan bisa berlaku adil kepada istri-istri kita, meskipun kita sangat ingin melakukannya. Sekali lagi -di ayat ini- Allah mementahkan ‘perintah’ poligami itu.

QS. An Nisaa' (4): 129
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin melakukannya, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada salah satu di antaranya), sehingga kamu biarkan lainnya terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari ketidak-adilan itu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka, marilah kita menempatkan masalah poligami ini secara lebih proporsional. Bahwa poligami bukanlah perintah, meskipun kalimatnya kalimat perintah, karena ia harus dipahami secara holistik terkait dengan kondisi yang mengiringinya.

Sebagai contoh adalah masalah perceraian. Di dalam Al-Qur’an Allah juga menggunakan kalimat perintah untuk kasus talak dan cerai, seperti yang digambarkan dalam QS. 2: 231. Akan tetapi, bukan berarti Allah memerintahkan kita untuk bercerai. Karena kalimat perintah itu terkait dengan kondisi yang mengikutinya. Jadi, sekali lagi, tidak lantas karena kalimatnya kalimat perintah maka kita diwajibkan untuk bercerai begitu saja. Rasulullah pun menegaskan bahwa perbuatan yang diperbolehkan, tetapi dibenci Allah adalah perceraian...!

Poligami di dalam Islam adalah kasus khusus yang terkait erat dengan alasan-alasan perlindungan terhadap hak-hak wanita. Sekaligus untuk memberikan penghargaan dan mengangkat martabat wanita. Terutama di jaman yang para wanita memperoleh perlakuan tidak senonoh dan merendahkannya.

Tidak selalu itu terjadi di jaman dulu. Kini, di era modern pun banyak wanita yang diperlakukan secara memprihatinkan. Dilecehkan, dipermainkan, dihina, dan sekadar dijadikan sebagai pemuas nafsu belaka. Baik secara legal di dalam lembaga perkawinan, maupun di luar perkawinan dalam bentuk pelacuran atau bisnis porno lainnya.

Sebagaimana telah kita bahas di depan, Allah pun melarang mengawini wanita secara paksa, atau mengawini hanya dengan alasan untuk pemuas nafsu belaka. Karena sebenarnyalah lembaga perkawinan adalah sebuah lembaga sakral dimana kita beribadah untuk meneruskan keturunan dan menyiapkan generasi islami yang tangguh di masa depan.
Sebagai balasannya, Allah bakal memberikan rasa tentram alias sakinah, rasa cinta alias mawaddah, dan rasa kasih sayang penuh keikhlasan alias ar rahmah di dalam rumah tangga kita.

Begitulah mestinya rumah tangga Islam dibangun. Sebagaimana Rasulullah menjalaninya bersama Siti Khadijah sampai wafatnya sang istri tercinta. Satu-satunya istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah, sehingga sampai membuat cemburu siti Aisyah ketika beliau bercerita tentangnya.

Memang, Rasulullah melakukan poligami setelah itu, akan tetapi dengan tujuan dan alasan yang berbeda. Untuk memenuhi tugas kerasulan beliau. Untuk meneladankan dan mencontohkan sikap perlindungan kepada umat Islam atas harkat dan martabat wanita. Untuk memperbaiki peradaban dan menegakkan syariat Islam. Untuk memberikan pembatasan kepada perilaku poligami yang kebablasan. Serta berbagai alasan mulia yang memang ditugaskan kepada beliau. Karena itu Allah menegaskan, bahwa semua itu hanya dikhususkan buat Rasulullah. Bukan untuk umat Islam pada umumnya. QS. 33:50

Sayangnya, kebanyakan kita tidak memahami hal itu dengan cermat. Sehingga kita keliru dalam menerapkan makna poligami yang mulia, menjadi hanya karena alasan syahwat belaka. Dan kemudian dengan begitu gampangnya kita mengeluarkan ajakan: "Poligami yuuk..!!"



(Firliana Putri)

wallahu a'lam bishshawab

0 komentar:

 
Terimakasih Atas kunjungan Anda, Semoga Semuanya Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua