Jumat, 09 November 2007
AKAL DAN KESADARAN
Pemahaman berikutnya untuk menguak misteri Jiwa dan Ruh adalah berkaitan dengan Akal dan Kesadaran. Keberadaan Jiwa terkait sangat erat dengan akal. Dan kemudian juga terkait erat dengan kesadaran seseorang.
Hal itu bisa kita amati langsung dari sekitar kita. Orang yang Jiwanya terganggu, pasti juga mengalami gangguan pada akal dan kesadarannya, dalam berbagai skalanya. Bergantung pada jenis gangguan Jiwanya.
Ada yang ringan, sehingga gangguan pada akal dan kesadarannya ringan. Namun ada juga gangguan Jiwa yang berat, sehingga gangguan akal dan kesadarannya juga berat.
Orang yang stress dalam skala ringan, misalnya, pasti akan mengalami gangguan fungsi akal sehatnya, meskipun juga ringan. Biasanya, mereka uring-uringan, emosi gampang naik, sampai berkurangnya kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya.
Dalam skala yang lebih berat depresi kehilangan akal sehat itu bisa semakin memburuk. Orang tersebut bisa semakin sulit untuk diajak berpikir. Bahkan ada yang demikian cuek terhadap lingkungannya. Menyendiri. Ngomel-ngomel tak karuan jluntrungannya. Yang kemudian menjurus pada ‘hilang’ kesadaran, meskipun dia terjaga. Kontrol dirinya bisa tidak bekerja dengan baik lagi.
Barangkali, sebagian sifat-sifat kemanusiaanya juga mulai menurun. Misalnya, hilang rasa malunya, tidak memiliki rasa takut, menjadi sadistis, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, gangguan Jiwa menyebabkan berkurangnya akal sehat dan kesadaran kemanusiaannya. Bahkan, sampai hilang sama sekali.
Namun dia tetap 'hidup' dan 'terjaga' ' Di sini kita melihat betapa ada dua 'fungsi kehidupan' dalam diri manusia yang bisa bekerja secara terpisah. Jiwanya mengalami masalah, tapi Ruhnya tetap 'bekerja' untuk menjaga fungsi-fungsi dasar kehidupan yang melekat pada badannya.
AKAL
Agar terjadi pembahasan yang terfokus tentang akal dan kesadaran, maka saya kira kita perlu terlebih dahulu memberikan batasan alias definisi kepada yang disebut akal dan kesadaran.
Apakah sebenarnya yang disebut ‘Akal’? kalau kita 'rasakan' dan mencermati dalam diri kita masing-masing, saya kira kita akan bersepakat kalau mendefinisikan 'Akal' sebagai : 'seluruh pontensi kecerdasan' yang dimiliki oleh seseorang.
Tidak peduli, seseorang itu berusia berapa, latar belakang pendidikannya apa, laki-laki atau perempuan, cacat atau tidak, dan lain sebagainya. Bahwa 'akal' seseorang ditunjukkan oleh seluruh potensi kecerdasan yang dia miliki. Semakin cerdas dia, semakin tinggi potensi akalnya. Dan semakin tidak cerdas dia, maka semakin rendah potensi akalnya.
Kini, persepsi tentang kecerdasan seseorang bukan hanya terkait dengan kecerdasan intelektual. Melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Bagaimana cara seseorang menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, bisa menunjukkan seberapa kuat akalnya. Atau dengan kata lain, menunjukkan seberapa besar 'potensi kecerdasan' yang dia miliki.
Potensi kecerdasan meliputi : kemampuan memahami, kemampuan menganalisa, kemampuan membuat keputusan, sampai pada kemampuan untuk menjalankan (mengeksekusi). Dalam proses itu, yang terlibat bukan hanya kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan emosional dan spiritual.
Pada dua poin pertama kemampuan memahami dan menganalisa barangkali sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual. Seseorang bisa memahami sesuatu permasalahan dengan baik, hanya jika kecerdasan intelektualnya cukup baik. Jika tidak, dia akan mengalami penyimpangan pemahaman dari yang semestinya.
Karena itu, malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu Allah kepada para rasul, memiliki akal yang kuat dan kecerdasan sangat tinggi. Hal itu dikemukakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Jika tidak, maka apa yang diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada manusia bakal mengalami distorsi pemahaman.
QS. An Najm (53) : 6
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.
Begitulah potensi akal dan kecerdasan intelektual berperan pada pemahaman permasalahan. Sedangkan 'kecerdasan emosional' dan 'spiritual' akan sangat menentukan pada langkah berikutnya poin ketiga dan keempat yaitu pengambilan keputusan dan menjalankannya.
Sebuah keputusan yang baik bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, melainkan juga oleh kematangan emosional dan spiritual seseorang. Meskipun, pintar, kalau tidak matang secara emosional dan spiritual, maka keputusan yang dibuat akan berpotensi menyulut masalah.
Misalnya, keputusan yang diambil dalam kondisi marah. Atau keputusan yang diambil dalam kondisi sedang stress tinggi, tergesa-gesa, hanya beorientasi pada kepentingan diri sendiri, dan lain sebagainya.
Apalagi, untuk mengeksekusi keputusan itu, dan kemudian menjalankannya. Betul-betul tidak cukup hanya kecerdasan intelektual. Karena, biasanya kita lantas berhubungan dengan berbagai variabel di luar diri kita. Di situlah dibutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi. Jika tidak, maka interaksi yang terjadi bakal berpotensi menyulut persoalan yang berkelanjutan. Disebabkan oleh kurang bijaksana dalam menjalankan keputusan tersebut.
Maka, pada tahap ini saya kira kita mulai bisa menarik kesimpulan, bahwa yang disebut 'Akal' adalah seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Baik melibatkan kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritualnya.
Selain itu, kita menangkap kefahaman bahwa potensi kecerdasan bisa berubah-ubah kualitasnya semakin cerdas atau sebaliknya. Dan, saya kira kita juga sepakat bahwa potensi kecerdasan masing-masing orang berbeda-beda. Semua itu berjalan seiring dengan proses pembelajaran dan pengalaman hidup yang telah dijalaninya.
KESADARAN
Apakah yang dimaksud dengan kesadaran? Dalam konteks ini, kita membedakan antara 'sadar' dengan ‘terjaga’. Sadar terkait dengan 'menyadari' dan 'memahami' sesuatu yang terjadi pada dirinya atau lingkungan sekitarnya. Sedangkan terjaga adalah sekadar 'melek' alias tidak tertidur atau tidak pingsan.
Boleh jadi, seseorang yang terjaga tidak menyadari dan tidak memahami segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Atau lingkungan sekitarnya. Misalnya, pada orang yang sedang mabuk, orang yang sedang lupa, atau sedang melamun. Jadi, kita bisa memahami bahwa 'tersadar' dan ‘terjaga’ adalah kondisi berbeda.
Dalam dunia medis dikenal derajat kesadaran seseorang menurut skala Glasgow (Glasgow Coma Scale) yang mengukur kesadaran (conciousness) seseorang berdasarkan reflek pada mata, ucapan, dan motorik alias gerakan.
Seseorang dikatakan memiliki kesadaran penuh alias normal ketika reflek matanya memiliki nilai 4, respon verbal alias ucapannya memperoleh nilai 5, dan respon motoriknya bernilai 6. Sebaliknya, seseorang dikatakan telah koma (mati suri) jika semua nilainya 1. Baik pada respon mata, verbal, maupun motoriknya. Bagaimana cara menilai tingkat kesadaran tersebut? Bisa mengikuti pedoman dalam tabel berikut ini.
Glasgow Coma Scale
(Eye, Verbal, Motoric scale: 4, 5, 6)
Mata 4 : membuka mata tanpa stimulasi dalam kondisi terjaga penuh.
3 : bisa membuka mata jika distimulasi ditepuk tepuk badannya
2 : bisa membuka mata hanya jika disakiti
1 : tidak bisa membuka mata no respon
Verbal 5 : bisa menjawab sesuai yang ditanyakan
4 : bisa menjawab dengan kalimat, tapi tidak jelas.
3 : bisa menjawab dengan kata, tapi tidak jelas.
2 : hanya bisa menjawab dengan erangan
1 : no respond
Motorik6 : bisa bergerak sesuai yang diperintahkan
5 : bisa bergerak ketika distimulasi melokalisir menepis stimulasi yang menyakiti
4 : bisa bergerak ketika distimulasi sakit, tapi bersifat withdrawal menghindari sumber sakit.
3 : bisa bergerak ketika disakiti, tapi tidak mampu menghindar, cuma menekuk sendi
2 : bisa bergerak ketika disakiti, tapi cuma reflek gerak sederhana meluruskan sendi
1 : no respond
Glasgow mencoba mengkaitkan antara kesadaran seseorang dengan reflek fisik. Jika fisiknya tidak bisa merespon stimulasi dengan baik, maka secara bertahap kesadaran orang tersebut dianggap menurun, sampai pada suatu batas terendahnya yaitu koma alias mati suri.
Total nilai antara respon mata, verbal, dan motorik diberi angka 15. Jika seseorang memperoleh nilai akumulatif 15 berarti orang tersebut berada dalam kondisi 'sadar' alias 'terjaga' penuh. Jika di bawah angka 8, ia sudah dikategorikan sebagai koma.
Akan tetapi, orang yang memiliki angka tertinggi dalam skala Glasgow sebenarnya sekadar menggambarkan fungsi kesadaran dalam arti 'terjaga'. Dan itu, hanya sebagian saja dari fungsi kesadaran. Sebab, nilai tersebut belum menggambarkan nilai-nilai luhur dari 'Kesadaran' seseorang.
Misalnya, apakah orang yang 'terjaga' itu sedang bahagia, ataukah kecewa. Ia sedang tentram ataukah merasa gelisah. Apakah ia sedang penuh rasa cinta ataukah penuh dendam. Ia bisa membuat keputusan dengan sikap bijaksana ataukah marah dan putus asa. Dan lain sebagainya.
Apa yang diukur Glasgow adalah sekadar nilai kuantitatif 'Kesadaran'. Sedangkan fungsi luhur adalah bersifat kualitatif. Pengukuran fungsi luhur seseorang biasanya diukur dengan metode psikotest.
Kesadaran yang bersifat kualitatif ini sangat berkait dengan fungsi akal seseorang. Kualitas kesadaran yang baik, menunjukkan fungsi akal yang juga baik. Sedangkan kualitas kesadaran yang jelek, menggambarkan fungsi akal yang juga jelek.
Dengan kata lain, secara umum, fungsi kesadaran sangat berimpit dengan fungsi akal. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa keduanya adalah identik. Karena itu, kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas kualitas Jiwa seseorang.
Kualitas akal dan kesadaraan yang baik, menggambarkan fungsi jiwanya baik. Sebaliknya kualitas akal dan kesadaran yang jelek menggambarkan fungsi Jiwa yang jelek. Secara ekstrim dikatakan, jika akal dan kesadarannya rusak, maka Jiwanya pun rusak. Dan begitulah sebaliknya.
Maka, pada kesempatan ini kita memperoleh kesimpulan bahwa 'Akal' dan ‘Kesadaran’ adalah fungsi utama pada Jiwa seseorang. Seseorang dikatakan berJiwa sehat, jika akal dan kesadarannya berfungsi secara sehat. Dan Jiwa dikatakan tidak sehat jika akal dan kesadaran seseorang sedang tidak sehat.
Untuk memahaminya lebih jauh, kita akan membahasnya di bagian-bagian berikutnya. Ternyata kualitas akal, kesadaran dan Jiwa seseorang tidaklah statis, melainkan bertingkat-tingkat seiring dengan kualitas kesadarannya. Ada 4 tingkat kesadaran pada diri kita, yang memberikan gambaran tentang kualitas Jiwa. (Bahrul Ulum)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar