Selasa, 27 November 2007
BAGAIKAN ORGANISASI
Rumah tangga adalah salah satu lembaga dimana laki-laki dan perempuan bertemu, untuk melakukan aktivitas bersama. Lembaga ini adalah perwujudan hak dan kewajiban seseorang.
Artinya, kita berhak untuk berumah tangga, karena di sanalah kita akan memperoleh kebahagiaan kita. Tapi, kita juga berkewajiban untuk berumah tangga, karena di dalamnya terdapat visi dan misi mulia yang diberikan Allah kepada kita untuk melestarikan kehidupan manusia di muka Bumi
Siapa saja yang bisa menyelami makna berumah tangga ini dengan pas, mereka bakal menemukan kebahagiaan yang luar biasa di dalamnya. Sehingga Rasulullah saw pernah mengatakan: baiti jannati - rumahku adalah surgaku. Sayangnya, banyak di antara kita justru merasakan: baiti naari - rumahku adalah nerakaku.
Bagaimanakah yang seharusnya kita lakukan dalam berumah tangga, sehingga kita bisa memperoleh surga di dalamnya? Kuncinya adalah: pahami fitrah kita, pahami misi rumah tangga, dan jalani sesuai petunjuk Allah dan rasulNya.
Dari segi fitrah, kita sudah membahasnya, bahwa lelaki dan perempuan memiliki fitrah yang berbeda. Karena itu kita harus berperilaku dan memperlakukan secara berbeda. Berperilaku dan memperlakukan mereka secara sama, hanya akan memunculkan masalah. Bukan kebahagiaan.
Saya mengatakan bahwa rumah tangga bagaikan sebuah organisasi. Ya, ketika ada lebih dari satu orang berkumpul dan beraktivitas bersama, maka kelompok ini harus diorganisir. Jika tidak, maka orang-orang yang berada di dalamnya bakal mengalami tabrakan kepentingan. Sebab, pada dasarnya setiap orang berbeda. Dan karenanya, memiliki kepentingan yang juga berbeda. Segala perbedaan itu harus dimanajemeni untuk mencapai tujuan yang sama. Yang memberi kebahagiaan pada semua.
Karena rumah tangga adalah organisasi, maka ia harus memiliki hirarki di antara anggotanya. Sekaligus aturan main dalam berorganisasi. Dan begitulah Islam memberikan petunjuknya.
Ini sangat berbeda dengan rumah tangga non muslim. Katakanlah yang diadopsi dari budaya barat, yang individual dan liberal. Mereka tidak memperlakukan rumah tangga sebagai organisasi secara tegas. Tidak sedetil Islam dalam mengaturnya. Mereka lebih menganggap rumah tangga sebagai ‘tempat bertemunya dua individu’ yang merdeka, sambil tetap mempertahankan kebebasan masing-masing.
Tak ada kepala rumah tangga. Tak ada ibu rumah tangga. Keduanya sederajat. Diatur dalam kesepakatan, sesuai dengan kebutuhan. Hak maupun kewajibannya. Dalam mengasuh anak, dalam menafkahi keluarga, dalam interaksi biologisnya, dan segala aktivitasnya. Penekanannya lebih pada 'hak individu'. Kebebasan dan hak azasi setiap anggota.
Sedangkan pada rumah tangga Islam, lebih ditekankan pada ‘kebersamaan’ antar anggota-anggotanya. Hirarki dan kewenangan yang jelas antar anggota-anggota. Hak dan kewajiban yang seimbang, sesuai dengan norma-norma agama dan kepatutan budaya. Hal ini dijelaskan Allah dalam berbagai ayat Al-Qur’an secara simultan dan komprehensif.
QS. An Nisaa' (4): 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
QS. Al Baqarah (2): 228
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dua ayat di atas memberikan guidance kepada laki-laki dan perempuan dalam mengelola rumah tangga mereka. Diantaranya adalah mengenai posisi, hak, serta kewajiban suami istri.
Seorang lelaki ditetapkan sebagai pemimpin di dalam rumah tangga. Karena, secara fisik mereka memiliki syarat untuk melindungi anggota keluarganya. Dalam waktu yang sama, lelaki diwajibkan untuk mencari nafkah dan menafkahi keluarganya. Dan karena itu, ia menjadi layak sebagai pemimpin rumah tangga.
Ya, kuncinya adalah memberikan perlindungan dan nafkah pada keluarga. Memberikan jaminan agar organisasi rumah tangga itu bisa berjalan dengan aman, tentram, sejahtera dan bahagia. Agar sang ibu memiliki kesempatan untuk mengelola rumah tangga serta mendidik anak-anak sebaik-baiknya.
Menurut saya, rumah tangga harus diatur seperti sebuah organisasi. Dalam sebuah organisasi, hirarki dan kewenangannya harus jelas. Jika tidak, organisasi itu bakal kacau dalam mekanismenya.
Dalam sebuah organisasi, tak mungkin ada dua ketua umum. Jika ada, maka organisasi itu pasti bakal kacau. Yang baik adalah diatur dalam hirarki dengan kewenangan tertentu. Ketua, dibantu oleh sekretaris dan bendahara. Boleh saja masing-masing diberi wakil, agar kalau berhalangan ada penggantinya.
Maka dalam rumah tangga pun idealnya harus diatur dan disepakati, siapa yang menjadi ketua, menjadi sekretaris, dan menjadi bendahara. Saya katakan, lelaki sangat ideal untuk menjadi ketua, sedangkan sang istri menjadi sekretaris sekaligus bendahara. Alasannya, sudah kita bahas di depan, bahwa lelaki memiliki fitrah untuk melindungi dan menafkahi.
Tidak ada pelanggaran HAM di sini. Ini hanya soal kesepakatan saja. Agar roda organisasi bisa berjalan dengan baik. Coba bayangkan, bukankah rumah tangga ini adalah hak dan kewajiban bersama. Tapi, kalau yang mencari nafkah istri, yang mengandung istri, yang melahirkan istri, yang menyusui juga istri, dan mendidik anak dengan dekapan penuh kasih sayang juga membutuhkan sang istri. Lantas, suaminya ‘ngapain aja’ kerjaannya...?!
Apa rumah tangga seperti ini yang dianggap adil dalam HAM? Adil dalam hak dan kewajiban? Emansipasi? Hei, apakah kita sedang ‘sadar’? Atau lagi pingsan? Bagi saya, ini malah runyam. Apa yang sebenarnya kita cari dalam berumah tangga?
Menang-menangan? Gagah-gagahan? Ataukah bekerjasama untuk menuju kebahagiaan bersama? Jika butuh kebahagiaan bersama, maka kita harus memiliki kesepakatan untuk berbagi kewenangan dalam sebuah proses manajemen.
Di sinilah alasan Islam memberikan aturan main kepada sebuah rumah tangga muslim. Kalau mau mencapai kebahagiaan bersama, maka jalankanlah rumah tangga itu dengan manajemen yang sesuai dengan fitrah laki-laki dan perempuan. Jangan memaksakan emansipasi yang tidak jelas jluntrungannya.
Bukan berarti wanita tidak boleh berkarya di luar rumah. Akan tetapi harus tetap berada di dalam koridor manajemen rumah tangga itu. Harus disepakati oleh ‘ketua umum’. Dan dengan catatan, tugas istri sebagai ‘sekretaris & bendahara’ rumah tangga telah ditunaikan dengan baik.
Apalagi jika suami istri itu telah dikaruniai anak-anak. Fungsi istri sebagai ibu rumah tangga menjadi demikian sentral posisinya. Sang ayah dan sang ibu yang baik pasti menginginkan anak-anaknya menjadi orang yang berhasil di masa depannya.
Siapakah yang paling bertanggungjawab? Tentu saja kedua orang tuanya. Bagaimana cara memanajemeninya? Terserah pada kesepakatan orang tuanya. Asal tidak keluar dari tujuan berumah tangga dan fitrah masing-masing anggotanya. Yang jelas, tidak mungkin anak-anak bisa bertumbuh dan berkembang sendiri. Mereka butuh orang yang selalu mendampingi mereka agar terbentuk akhlak yang baik, kecerdasan, dan ketrampilan yang terarah.
Tidak mungkin pula kedua orang tuanya mendampingi berdua, terus menerus. Kecuali mereka keluarga kaya raya yang sudah tidak butuh mencari nafkah. Sang ayah dan sang ibu mesti berbagi: siapa mencari nafkah, dan siapa yang menjaga serta mendidik buah hati. Begitulah idealnya.
Kalau keduanya sibuk mencari nafkah, maka sungguh malang nasib sang buah hati. Dibesarkan dalam suasana jauh dari kasih sayang orang tua. Maka, jangan heran mereka bakal menjadi anak yang bermasalah, kelak di kemudian hari.(Firliana Putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar