(Persembahan Untuk Para Sahabat)
Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu...Ikhwan and akhwat...moga hati kita dipertautkan karena-Nya
Terimakasih Telah Menjadi Sahabat Dalam Hidup kami

rss

Minggu, 16 Maret 2008

Makna Sholat

Dalam kelompok diskusi yang pesertanya terdiri dari mahasiswa berbagai fakultas, jurusan, dan universitas, muncul satu pertanyaan, kenapa gerakan shalat sedemikian rupa? Pertanyaan berlanjut lagi, jika memang Allah menurunkan Al-Qur’an untuk orang-orang yang berpikir, (Dalam beberapa surat, sejumlah ayat menegaskan, Al-Qur’an ini (kitab ini) tidak meragukan. Lalu muncul pertanyaan Allah, kenapa kamu tidak pikirkan. Lihat juga, misalnya, surat Ar Rahman yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan yang menjelaskan kehidupan)

penjelasan logis dan rasional yang bagaimana dan seperti apa yang dapat kita peroleh dengan gerakan shalat yang khusus itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, nara sumber merujuk beberapa buku tentang shalat. Tetapi, tetap sukar diterima, kenapa pernyataan Allahu Akbar diikuti dengan gerakan mengangkat tangan seperti menyerah? (Jika Allah swt bukan sosok yang merupakan obyek pikiran, dan karena itu menjadi abstrak maka sikap menyerahnya pun pada yang abstrak pula. Lalu, bagaimana menarik hubungan antara sesuatu yang nyata dalam hidup dengan sikap menyerah pada yang abstrak? Jawabnya, tergantung bagaimana manusia menentukan tujuan hidupnya, dan dengan proses yang bagaimana ia merumuskan tujuan itu. Karena itu, konsumsi manusia bukan hanya pada makan, minum, dan udara. Tetapi, sesuatu yang dikonsumsi otak manusia, akan menentukan perjalanan hidupnya) Karena tidak cukup hanya menunjukkan bahwa dengan gerakan itu sesungguhnya merupakan cerminan sikap dan pandangan yang menyerah, lalu, apa artinya bagi tubuh? Kemudian, setelah tangan bersedekap dengan posisi di antara dada dan perut, kenapa gerakan rukuknya seperti membungkuk sehingga tubuh membentuk huruf L terbalik? Dan seterusnya sehingga duduk pada tahyat akhir.

Mundur lagi selangkah, kenapa wudhu diikuti dengan gerak mencuci bagian tubuh tertentu, dan kenapa tidak mandi saja? Kalau memang wudhu adalah proses penyucian tubuh dari kotoran, kenapa tubuh yang sudah bersih dari kotoran pun karena mandi tetap diwajibkan wudhu? Berlanjut lagi pertanyaan, apa maksud dan tujuan tayamum jika hendak berwudhu tapi air tidak ada? Apakah debu, atau permukaan tanah dapat menyucikan kotoran? Apa yang sebenarnya disucikan oleh wudhu atau tayamum itu?

Beberapa pertanyaan di atas dapat terjawab dengan fikih, sekumpulan pendapat dari kalangan ahli hukum (Fuqaha). Tetapi pendapat-pendapat itu tetap saja mengundang pertanyaan lanjutan. Kebanyakan umat Islam kemudian lebih suka mematuhi (atho'na) pendapat itu tanpa hasrat bertanya atau mengkaji lebih dalam lagi. Bahkan, dalam gerakan shalat sejak takbiratul ihram sampai salam penutup dengan gerakan menengok ke kanan dan ke kiri, kita mencoba cari jawabnya dengan menghubungkan antara makna bacaan dengan gerakannya. Kita nyaris mengabaikan, adakah gerakan shalat itu merupakan gerakan olah tubuh? Kenapa gerakan shalat itu serempak dengan proses kognisi dan afeksi melalui bacaan yang dilantunkan dengan volume yang cukup terdengar telinga sendiri pada shalat zhuhur dan ashar, pada raka'at ketiga pada shalat maghrib, atau rakaat ketiga dan keempat shalat isya?

Belum lagi jawaban tuntas diperoleh, daftar pertanyaan bertambah lagi. Kenapa shalat disebut sebagai pilar sikap dan pandangan hidup, dapat mencegah perilaku keji dan munkar? Pada shalat ashar misalnya, kenapa kita dilarang keras meninggalkannya? Kenapa ciri orang munafik terlihat pada seringnya yang bersangkutan meninggalkan shalat isya dan subuh? Juga, kenapa damai dan harmonisnya umat Islam bisa dilihat dari kualitas dan kuantitas shalat subuh berjamaah?

Pengetahuan dan pengalaman di atas membawa saya pada satu kesimpulan, hidup itu bergerak. (Tetapi hidup juga berarti berbagi, peduli, dan memaafkan disertai dengan sikap rasa cukup) Dan, yang disebut dengan bergerak bukan saja mencakup benda padat atau cair, melainkan juga benda gas. Dengan demikian, kehidupan ditandai dengan bergeraknya tubuh dan bekerjanya
pemikiran. Gerak tubuh tentu saja dilandasi oleh kemauan, terstruktur dalam pikiran, lalu perintah disalurkan ke anggota tubuh, kemudian tubuh bergerak. Sebaliknya, anggota tubuh menginformasikan kepada otak tentang sesuatu yang dirasakan atau dilihatnya. Otak dengan didukung jaringan saraf menerjemahkan, menyimpulkan, atau memutuskan apakah perlu atau tidak perlu melakukan sesuatu? Dengan demikian, dalam tubuh manusia yang sehat tidak ada persaingan kemauan. (Jika dalam tubuh manusia dengan segala organnya tidak terjadi persaingan, kenapa kehidupan manusia dalam perekonomian berbasis pasar mengandalkan persaingan sebagai kata kuncinya? Pada sistem regenerasi sel, persaingan antar sel memang terjadi. Dengan demikian, pada bagian sel yang rusak telah terjadi pemulihan sendiri (self recovery), dan tubuh punya daya tahan. Tetapi, pada bagian tubuh yang lain, yang terjadi adalah kerja sehingga tidak saling berbenturan) Kalaupun ada perbedaan atau bahkan pertentangan antara pikiran dan perasaan, lalu sesekali seseorang tampil mengikuti rasanya, dan dalam kesempatan lain tampil sesuai dengan pikirannya, itulah yang disebut dengan kepribadian ganda. Kerjasama antara pikiran, perasaan, susunan saraf, dengan anggota tubuh menghasilkan manusia yang bergerak, manusia yang berpikir, dan atau manusia yang berkehendak.

Ternyata, persoalan bagaimana gerak tubuh dan bekerjanya otak yang sesuai dengan kehendak, atau sekadar mengikuti gerak alam sudah menjadi perdebatan sepanjang peradaban. Dalam Islam, misalnya, ketika berbicara tentang iman, maka hal ini merupakan satu kesatuan ketetapan qalbu dengan apa yang dinyatakan lalu terwujud dalam tindakan, sebagaimana Hadist Imam Bukhari tentang pengertian iman. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa iman adalah sikap dan pandangan kita. Ketika berhubungan dengan amantu billah, hasilnya menjadi sikap dan pandangan hidup menurut ajaran Allah. (Lihat Al-Baqarah ayat 165, waladzina aamanu asyaddu hubban lillah.) Karena ajaran Allah itu berpola pada Rasulullah Muhammad saw sebagai rasul-Nya, maka sikap dan pandangan itu mengambil pola dan bercermin pada sikap Muhammad dalam diam, ucapan, dan tindakannya.

Salah satu yang dipolakan Nabi Muhammad saw adalah shalat yang instruksinya disampaikan langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad. (Dalam konteks ini, saat instruksi itu diterima dan disampaikan Nabi Muhammad saw kepada umatnya, maka yang dikehendaki adalah agar manusia melakukan revolusi sikap dan pemikiran atas kebiasaan sebelumnya.) Karena misi kehidupan Islam adalah membangun kedamaian di antara sesama umat manusia, maka strateginya adalah sistem pembinaan kehidupan dengan lima pilar. (Al Hadist, Buniyal Islam 'ala Khomsin) Karena rujukannya fikih, hal itu dikenal dengan rukun Islam. Pilar pertama syahadat, kedua shalat, dan seterusnya sampai yang kelima, melaksanakan haji jika mampu. Kenapa setelah syahadat segera melaksanakan shalat? Tepatnya, kenapa susunan pilar itu sedemikian rupa? Bagaimana jika susunan pilar itu acak lagi? Kenapa setelah shalat tidak kemudian pilarnya zakat, padahal, dalam Al-Qur’an setelah kata shalat hampir selalu melekat kata zakat?

Sesuai dengan pengertian iman sebagai sikap dan pandangan hidup, maka syahadat adalah kesediaan secara ikhlas -dalam hal ini pemikiran- untuk bersikap dan berpandangan hidup menurut ajaran Allah sebagaimana Muhammad rasul-Nya telah memolakan atau memberi contoh. Sebagai janji atau komitmen pribadi, hal itu tidak cukup sekadar ditetapkan dalam qalbu dan diucapkan. Tindakan sesegera mungkin setelah janji itu adalah shalat. Dengan demikian, shalat itu merupakan konsekuensi lebih lanjut dari ketetapan qalbu dan ucapan. Jika tidak shalat, disebutnya omdo (omong doang), atau Islam KTP. Dalam perkembangan lebih lanjut, bukan sekadar tidak shalat, kebanyakan umat Islam pun dibuat asing dengan Al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah kalangan mahasiswa dari universitas Islam di Jakarta atau di pulau Jawa lainnya. Jika diskusi kemudian merujuk ayat-ayat atau hadist, mereka dengan bahasa sindiran nyeletuk Allahu Akbar bukan sebagai sahutan simpati. Tetapi lebih sebagai ejekan karena diskusi itu bukan pengajian, kata mereka. (Kebanyakan mahasiswa sekarang kurang menyukai pembelajaran filsafat. Apalagi mencoba memahami dari aspek semantik yang unsurnya terdiri dari filsafat, bahasa, dan psikologi. Bangsa ini bahkan pemerintahan tidak terlampau menghargai lulusan bahasa dan filsafat.)

Nah, dalam situasi sosial yang demikian, umat Islam di Indonesia memang akhirnya mengidap banyak penyakit. Bayangkan, sebagai bangsa yang jumlah penduduknya mayoritas beragama Islam, yang tegas-tegas mengajarkan kejujuran dan akhlakul karimah, negeri persada ini masuk dalam posisi ke empat terkorup di dunia, terlepas apakah penilaian itu bermaksud politik atau tidak. Bahkan, sebagai bangsa yang strategis dari segi posisi dan kaya dari aspek sumber daya alam, kemiskinan merebak ke mana-mana. Padahal, ajarannya menyatakan, umat Islam harus peduli dengan fakir miskin. Bahkan, konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara menyatakan, fakir miskin dipelihara negara. Tetapi, pekerja seks komersial (Berarti ada pekerja seks non komersial) —sebagai penghalusan kata yang menyesatkan— pengemis, serta pengamen, juga anak-anak yang terserak di berbagai lampu merah pada hakikatnya menunjukkan, ada kesenjangan atau mungkin keterasingan antara ajaran yang dianut dan cita-cita hidup berbangsa yang dicanangkan dengan tindakan sehari-hari dari pejabat publik, politisi, pebisnis, sampai dengan masyarakat umum lainnya.

Dari kondisi ini jelas, syahadat sekadar terucap dan shalat ternyata belum membawa manfaat. Bahwa shalat seharusnya menimbulkan manfaat, yakni sehat jasmani dan rohani. Senam yang diperagakan lewat gerakan shalat —bagaikan senam ergonomic— pada intinya mengantarkan kita mendapat kesehatan jasmani. Dan ucapan yang dibaca dan ditanamkan dalam pikiran
dan perasaan mengarahkan sikap dan pandangan hidup agar sesuai dengan pola ajaran Islam, Muhammad saw.

Beberapa persoalan yang dibahas oleh penulis, mungkin memerlukan pembelajaran lebih dulu baru kemudian memperoleh pemahaman. Misalnya tentang pengertian surga sebagai taman dengan sungai jernih yang mengalir dipahami sebagai lancarnya aliran darah yang baik dan taman-taman itu adalah simpul-simpul darah. Sementara susunan saraf disebut sebagai aliran kabel yang sumber energinya didapat dari sumsum sebagai stator dan darah sebagai rotor lalu energinya tersalur melalui susunan saraf itu. Penjelasan ini sesungguhnya masuk akal, karena setiap lubang pori-pori pada hakikatnya mengandung 0,05 mV. Persoalannya, apakah manusia itu mau mengaktifkannya, atau membiarkan mati getar listriknya?

Untuk itu semua, wudhu atau tayamun kemudian shalat pada hakikatnya sudah memberikan modal besar kepada manusia untuk hidup sehat. Tetapi, modal sehat seperti ini tidak cukup untuk diri sendiri. Dalam shalat sudah ditetapkan bahwa kita harus membangun kepedulian, sikap memberi kepada sesama. Karena itu, segera diwajibkan puasa Ramadhan. Kalau pada shalat sistem perencanaan dan evaluasi kehidupan berjalan dalam siklus waktu per hari yang sudah ditentukan sesuai waktu shalat, sedangkan pada shaum Ramadhan, evaluasi dan perencanaan kehidupan dilakukan untuk jangka waktu setahun sekali.

Dari aspek ini, sesungguhnya, terlihat bahwa Islam mengajar suatu sistem kehidupan yang sangat konsepsional terkelola. Pagi hari, saat subuh, kita diminta mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang akan berjalan sampai dengan ashar. Padahal, sebelum subuh kita dianjurkan melakukan pembelajaran Al-Qur’an, dalam pengertian, belajar ilmu pengetahuan dalam bidang yang kita minati, minimal tiga jam atau empat jam tiga puluh menit, atau bahkan enam jam. (Lihat Quran surat Al Muzammil) Setelah pembelajaran itu, kita shalat tahajud.

Beberapa saat setelah matahari terbit, dianjurkan lagi shalat dhuha. Tujuannya, pernyataan sikap dan pandangan hidup bahwa kita siap menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaranNya. Lalu, kita mengevaluasi dan mempersiapkannya kembali dalam shalat dhuhur. Kemudian, satu hari penuh tadi kita evaluasi dalam shalat ashar. Kenapa waktu shalat ashar diidentifikasi dalam bayang-bayang badan dari sorot matahari sepanjang tubuh? Jawabnya, ashar adalah waktu pergantian Malaikat yang mencatat. Dalam pergantian itu terjadi serah terima pencatatan. Agar pencatatan baik, evaluasinya juga harus dilakukan oleh sosok yang diamati. (Lihat hubungan antara surat Asy Syamsi dan Al Ashr)

Kalau kehidupan itu telah dijalani dengan sebaiknya, kita kembali masuk ke dalam gelap. Transisi waktu siang ke malam adalah maghrib, dan potensi ancaman mulai meningkat. Allah mengajarkan, perkuat diri dengan shalat maghrib agar potensi ancaman itu berubah menjadi suatu kekuatan. Lalu, shalat isya dengan maksud mengevaluasi kehidupan yang menghasilkan bahwa apa dan bagaimana yang telah kita laksanakan sejak pagi hingga ashar tadi sesuai dengan ajaranNya.

Dari model perencanaan kehidupan dan evaluasi harian yang demikian, terjadi pula siklus mingguan, yakni pada shalat Jumat. (Shalat Jumat sesungguhnya forum bagi ummat Islam untuk mengevaluasi situasi dan kondisi kehidupan suatu komunitas. Rujukan evaluasi itu tentu saja Al Quran dan Hadist.) Siklus tahunannya, sebagaimana kita sebut di atas, terjadi pada shaum Ramadhan dan Idul Fitri. (Shalat Idul Fitri dengan khutbahnya merupakan forum evaluasi suatu bangsa setelah neraca pembukuan perilaku selama satu bulan telah dijalankan. Forum ini membuahkan rencana kehidupan satu tahun ke depan. Rencana bangsa ini kemudian akan disampaikan secara internasional di musim haji sebagai kongres Islam internasional.) Semua itu menggambarkan shalat dengan gerakan berpola tertentu dan bacaan teruji merupakan sistem pembinaan kehidupan berlandaskan sikap dan pandangan hidup menurut ajaran Allah.

Jika hal itu tidak dilakukan, yang terjadi adalah tubuh tetap tunduk pada ajaranNya, (Tubuh tetap tunduk pada ketentuanNya karena tak seorang manusia pun yang mampu menahan perputaran waktu, sekalipun menahan sedetik.) dan pemikiran pemilik tubuh itu mengabaikan atau mungkin menentangnya. (Sami'na, sebagai proses pembelajaran untuk mengetahui. Tindak lanjutnya, melaksanakan yakni atho'na, atau menolaknya, asoyna.) Tubuh adalah mikrokosmos dunia, karena itu disebut sebagai Al-Qur’an kecil yang siap dibaca dan dipahami, kalau mau. Alam semesta beserta isinya adalah Al-Qur'an besar yang juga siap dibaca dan dipahami. Lalu, kalau dua pilar (Sesugguhnya Allah menghendaki empat pilar terlaksana sebagaimana mestinya. Misalnya pada kata-kata aqimusholah wa atuzzakah. Ini menunjukkan, komitmen yang dipegang manusia dari bernafasnya yang gratis seharusnya membuahkan kehidupan perekonomian yang menyejahterakan di antara sesama, karena zakat adalah sistem perekonomi berbasis penolakan atas keserakahan. Misal, makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang. Lalu, tunaikan zakat sebagai sistem perekonomian. Di dalamnya terdapat penolakan atas pemusatan kepemilikan sumber daya, produksi, distribusi, dan konsumsi.) saja sulit ditegakkan dalam kehidupan, bagaimana mungkin penegakan pilar yang lainnya sungguh-sungguh akan membuahkan kehidupan damai sejahtera?

Dengan sudut pandang ini, tulisan ini bermaksud membuktikan, ikuti ajaranNya dan dengan ganjaran sehat atau sakit karena mengabaikan atau menentangnya. Inilah yang dimaksud dengan surga atau neraka di dunia Entah sakit secara fisik atau sakit secara psikologis. Pilihan pada kita, dan itulah ikhtiar. Insya Allah kita dijadikan hambaNYA sebagai sosok yang pandai bersyukur dan pandai menjaga diri dari berbagai tantangan dan cobaan.(Dahlia Putri)


0 komentar:

 
Terimakasih Atas kunjungan Anda, Semoga Semuanya Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua