Rentang waktu yang panjang dalam peradaban manusia, menempatkan lelaki sebagai penguasa yang dominan. Dalam berbagai catatan sejarah, lelaki selalu ditempatkan dalam posisi berkuasa. Sedangkan perempuan hanyalah sebagai pelengkap dominasi mereka. Kalau pun ada wanita yang kemudian bisa menguasai komunitas pria, jumlahnya tidak banyak. Di antaranya adalah Cleopatra. Atau dalam sejarah modern adalah ratu Inggris dan Belanda.
Selebihnya, catatan sejarah antara pria dan wanita lebih banyak didominasi oleh pria. Sehingga secara gender banyak suara miring yang menyebut wanita dijajah oleh pria selama ribuan tahun peradabannya.
Dominasi lelaki atas perempuan itu terjadi hampir di semua lini kehidupan. Baik dalam kehidupan rumah tangga, kegiatan sosial, apalagi dalam kancah politik. Secara umum lelakilah yang mengambil peran dalam berbagai aktivitas itu. Sedangkan wanita hanya menjadi ‘pelengkap penderita’. Di seluruh penjuru dunia.
Di Mesir, di Persia, di Romawi, negara-negara Eropa, Asia, Afrika, Timut Tengah, China, sampai Amerika, semuanya memperlakukan wanita secara semena-mena.
Para penguasa misalnya, mereka memiliki jumlah istri yang banyak. Selain permaisuri, mereka memiliki selir, harem, gundik atau bahkan budak. Bukan hanya di kalangan penguasa tertinggi sebuah negeri, melainkan juga pada penguasa-penguasa lokal. Ataupun, bangsawan dan hartawan. Mereka memandang wanita tak lebih dari boneka hidup yang bisa diperjual belikan, atau dipindah-tangankan sesuka hati.
Raja-raja China misalnya, terkenal dengan selir dan haremnya yang bisa mencapai puluhan orang. Raja-raja Mesir pun demikian. Penguasa-penguasa Persia, Romawi, Eropa, dan Asia pun tak ada bedanya. Bahkan, di Afrika dan Amerika terkenal dengan perbudakannya. Seluruh dunia memasuki peradaban yang hampir sama. Dominasi lelaki. Merendahkan derajat dan martabat wanita. Tentu saja tidak semua. Tapi, itulah mainstream yang terjadi. Lumrah.
Bukan berarti kita mempertentangkan antara posisi lelaki dan perempuan dalam dinamika peradaban. Akan tetapi, kita mencoba untuk melihat keduanya dalam perspsektif keadilan. Lelaki dan perempuan yang semestinya berinteraksi sebagai partnership alias kemitraan, telah bergeser menjadi perbudakan atau penjajahan hak-hak individu mereka.
Kenapa hubungan yang timpang ini bisa ‘terpelihara’ selama berabad-abad? Ini tidak terlepas dari perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Di satu sisi, di jaman-jaman lalu peradaban manusia sangat bergantung kepada fisik dan otot. Sehingga, sangat logis lelaki menduduki posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan wanita.
Lelaki menjadi pelindung dalam arti fisik bagi para wanita. Sebagai kepala suku, ketua kelompok, tokoh masyarakat dan tetua adat, sampai kepala pemerintahan. Sedangkan wanita berada di wilayah-wilayah pelayanan dan kerumahtanggaan.
Sebenarnya, sampai di sini nuansa kerjasama antara gender ini masih bisa diterima. Akan tetapi pada perkembangannya kemudian muncul keserakahan-keserakahan dari penguasa. Atau pihak yang merasa dirinya kuat. Maka, kerja bareng itu lantas bergeser menjadi bentuk-bentuk perbudakan dan penjajahan ‘oknum lelaki’ kepada sejumlah perempuan.
Masalahnya kemudian, perbuatan oknum lelaki itu ditiru oleh sejumlah oknum lelaki lain yang juga penguasa dan merasa dirinya kuat. Dan, biasanya kelompok penguasa ini memperoleh porsi publikasi yang besar di kalangan masyarakat. Sehingga, praktek itu seakan-akan menjadi mewakili kelompok lelaki terhadap perempuan.
Padahal, di kalangan masyarakat awam, konflik lelaki-perempuan itu tidak seperti yang terjadi di kalangan penguasa atau pun orang berpunya. Mereka lebih merasakan pola kemitraan antara lelaki dan perempuan. Saling membutuhkan. Meskipun, memang lelaki sebagai pelindung bagi wanita. Akan tetapi wanita juga memiliki peran penting yang tidak bisa dikerjakan pria.
Jadi, kalau kita cermati, ketimpangan hubungan lelaki dan perempuan itu bukan dikarenakan perbedaan gendernya, melainkan lebih dikarenakan keserakahan sang penguasa. Tidak peduli dia lelaki atau perempuan, maka sang penguasa itu akan menggunakan kekuasannya untuk mengeksploitasi orang-orang yang dikuasainya.
Pada penguasa yang laki-laki, keserakahan mereka biasanya berkisar pada kekuatan dan seksualitas. Bentuknya adalah wilayah jajahan dan wanita yang dijadikan istri, selir atau gundik. Sedangkan pada penguasa perempuan, selain wilayah jajahan, mereka tidak tertarik untuk memuaskan hasrat seksnya dengan mengumpulkan lelaki sebagai ‘gundiknya’, melainkan lebih kepada pemujaan dirinya sebagai sang ratu atau berpuas-puas dengan harta kekayaannya. Karena begitulah memang bawaannya.
Namun, kalau dibuat score, memang terkesan sejarah peradaban manusia didominasi oleh para lelaki. Inilah yang kemudian memunculkan gerakan emansipasi wanita. Menuntut keadilan dan persamaan hak antara lelaki dan wanita. Di semua bidang kehidupan. Di kegiatan-kegiatan sosial, aktivitas politik, bahkan sampai masuk ke wilayah rumah tangga. Perlindungan terhadap hak-hak perempuan menjadi demikian bergema. Terutama di abad-abad modern ini...(Firliana putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar