(Persembahan Untuk Para Sahabat)
Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu...Ikhwan and akhwat...moga hati kita dipertautkan karena-Nya
Terimakasih Telah Menjadi Sahabat Dalam Hidup kami

rss

Jumat, 25 April 2008

Hidup Ala Sufi

Syahdan, seorang syaikh yang hidup sederhana dan sebagai nelayan untuk bertahan hidup. Pagi-pagi ia pergi memancing ikan setelah mendapatkan ikan banyak, dia membelah ikan-ikannya menjadi dua, batang tubuh ikan-ikan tersebut ia bagikan kepada para tetangganya, sedangkan kepala ikan-ikan itu ia kumpulkan untuk dimasak sendiri, karena itu ia dipanggil syaikh kepala ikan.

Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, daerah Spanyol dan kebetulan Syaikh Kepala Ikan ini mempunyai seorang guru sufi di sana (Syaikh Al Akbar). “Tolong kau mampir ke rumah guruku di Mursia dan mintakan nasehat untukku” pesan Sayikh kepada muridnya.

Si muridpun pergi untuk berdagang, setibanya di Mursia, si murid mencari-cari rumah Syaikh Al Akbar itu, dia membayangkan bertemu dengan seorang tua, sederhana dan miskin, tetapi yang ia dapati seorang sufi besar tinggal di sebuah bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan dan sajian buah-buahan yang lezat. Dia terheran-heran,”Guruku hidup dengan begitu sederhana, sedangkan orang ini hidup dengan sangat mewahnya. Bukankah ia gurunya guru saya?”. dia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya, menyampaikan salam gurunya dan meminta nasehat untuknya. Syaikh Al Akbar pun berkata, “ bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia”. Si murid bertambah heran, dan sedikit marah,”Syaikh ini hidup sedemikian kaya, dimintai nasehat oleh orang miskin malah menyuruh jangan memikirkan dunia”. Akhirnya dia pun pulang.

Saat gurunya mendengar nasehat yang diperoleh melalui muridnya, dia hanya tersenyum dan sedikit sedih. Si murid pun heran dan tidak paham, “apa maksud nasihat itu ?” Syaikh Kepala Ikan pun mejawab, “Syaikh Akbar itu benar. Menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah Swt. Bisa jadi orang miskin harta, tapi hatinya tetap memikirkan dunia. Saya sendiri saat makan kepala ikan, masih sering membayangkan bagaimana enaknya makan daging ikan yang sebenarnya”.

Kisah di atas menunjukan dua hal, menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufistik.

Syaikh Al Akbar yang disebut di atas adalah Muhyiddin Ibn Arabi, salah satu sufi besar dan cemerlang dalam perkembangan sejarah tasawuf.

Imam Al Ghazali bertanya,”Apakah uang membuatmu gelisah ?, Orang yang hatinya terganggu oleh uang belumlah menjadi sufi”. Jadi persoalannya bukan kita tidak boleh mempunyai uang, tapi bagaimanakah caranya kita mempunyai uang cukup, tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita memiliki.

Menurut Ibn Arabi, Dunia adalah jalan menuju kebahagian puncak dan karena itu baik, layak untuk dipuji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang buruk adalah jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsu dan ambisimu terhadap dunia.

Nabi Muhammad Saw. Suatu kali pernah ditanya, apa arti keduniawian itu, Rasulullah menjawab, “segala sesuatu yang menyebabkan kamu melupakan dan mengabaikan Tuhanmu”. Artinya, kegiatan-kegiatan duniawi tidaklah buruk, tapi keburukannya terletak pada apa yang membuat lupa kepada Allah Swt.

Disamping Ibn Arabi, banyak sufi yang hidup makmur, seperti Fariduddin Al Atthar yang terkenal mengarang Al Manthiq Al Thair (Musyawarah Burung-Burung), ia digelari Al Atthar karena berdagang minyak wangi;, Junaid Al Bagdadi dikenal sebagai al Qawariri, penjual barang pecah belah;, Al Hallaj al Khazzaz, pemintal kapas, dia mencari nafkah dengan memintal kapas dan masih banyak lagi.

Seorang sufi sejati adalah mereka yang berkiprah di masyarakat. Makan dan tidur bersama mereka. membeli dan menjual di pasar. Mereka mempunyai peran sosial, tapi ingat kepada Allah Swt, setiap saat. Orang – orang sufi tidak mengabaikan dunia ini, tidak juga membunuh nafsu mereka. Mereka hanya mendisiplinkan nafsu mereka agar tidak terdorong pada perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dan akal sehat.

Mereka merawat tubuh mereka dan pada saat yang sama menjaga hatinya agar tetap bebas (dari tuntutan duniawi). Makan, tidur dan aktivitas sehari-harinya seorang sufi adalah mencapai ridha Allah Swt. (big2besar)

2 komentar:

Nurisah on 28 September 2008 pukul 16.08 mengatakan...

Tulisan ini sangat menyentuh saya.Ini mengingatkan saya untuk tidak terlalu cepat menyimpulkan.Ternyata, kekayaan dan kemiskinan sama-sama bisa mendekatkan kita pada Allah. Manis sekali. Thanks.

Anonim mengatakan...

ALLAH BERADA DI BUMI MENJELANG KIAMAT!!!!

Tenang-tenangkan diri...
Sila layari manatuhanallah.wordpress.com/

Setelah layari, sila buat rujukan ke jabatan agama tempatan untuk rujukan susulan ke jabatan agama islam Malaysia,sebelum membuat sebarang penilaian…

- Terima Kasih

Krulayar

 
Terimakasih Atas kunjungan Anda, Semoga Semuanya Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua