(Persembahan Untuk Para Sahabat)
Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu...Ikhwan and akhwat...moga hati kita dipertautkan karena-Nya
Terimakasih Telah Menjadi Sahabat Dalam Hidup kami

rss

Senin, 01 Oktober 2007

MIMBAR Cengkeraman Kapitalisme Global Irfan Habibie Mahasiswa Teknik Kimia ITB dan aktivis unit kajian ideologi HATI-ITB


KAPITALISME sebenarnya merupakan sistem yang sangat rapuh. Sistem ini bahkan tidak bisa menopang dirinya sendiri. Namun bagaimana ia bisa tetap hidup dan malah diterapkan di negara-negara maju, seperti AS misalnya?
Jawabannya, ia hidup dengan menghisap darah negara-negara dunia ketiga. Caranya dengan menerapkan sistem ini di negara-negara berkembang. Lalu secara tidak sadar jadilah negara-negara tersebut budak bagi kapitalisme global. Menurut laporan PBB, sekira tahun 90-an terjadi sebuah fenomena yang dinamakan negatif tansfer atau revising financial flows. Fenomena ini menggambarkan bahwa sebenarnya bukan negara industri maju yang mengalirkan dana ke negara berkembang, melainkan sebaliknya. Dengan kata lain, bukan negara maju yang membantu negara berkembang, tetapi negara berkembanglah yang membantu negara maju. Jumlah negatif transfer pada tahun 1984-1990 diperkirakan mencapai 180 miliar dolar AS.
Banyak hal yang terjadi tahun 2005 yang lalu yang disebabkan kapitalisme global yang malah direspons positif oleh pemerintahan Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan pemerintahan kita terikat dengan lembaga/organisasi dunia seperti WTO, IMF dan World Bank. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali menyengsarakan rakyat seperti penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi sektor perdagangan, dan privatisasi BUMN pada dasarnya adalah amanat dari lembaga-lembaga dunia tersebut. Jejak-jejak kapitalisme global tersebut beserta dampaknya bisa kita lihat dari beberapa hal.
Pertama, liberalisasi migas. Pemerintah mulai serius berusaha menyesuaikan harga BBM dengan harga internasional sejak diundangkan UU No. 22/2001 tentang Minyak Bumi dan Gas yang di antaranya mencantumkan pembatasan kewenangan Pertamina sebagai pemain utama di sektor ini, sekaligus pemberian hak/kewenangan kepada perusahaan minyak lain --baik perusahaan domestik maupun asing-- untuk terlibat di sektor ini.
Bahkan pada pemerintahan SBY sepanjang tahun 2005 kemarin harga BBM dinaikkan sebanyak 2 kali yaitu di bulan Maret dan bulan November dengan kenaikan rata-rata 11 %. Pada tahun tersebut muncullah investor di bidang SPBU dan sekarang sudah ada sebanyak 8 investor. Investor-investor ini akan merugi bila harga BBM tidak disesuaikan dengan harga minyak dunia. Dari sana kita bisa melihat kebijakan pengurangan subsidi BBM dilakukan dalam rangka memenuhi kebijakan liberalisasi migas dan tekanan investor. Jadi kenaikan harga BBM tidak ada hubungannya dengan defisit anggaran ataupun kenaikan harga minyak dunia. Terbukti pada APBN-Perubahan 2005 kemarin terdapat penambahan penerimaan sebesar Rp 90 triliun. ("PR", 31/12).
Akibat kenaikan harga BBM ini dipastikan angka pengangguran dan kemiskinan makin meningkat lagi yang tentunya akan menambah lagi penderitaan rakyat. Sebab harga-harga kebutuhan rakyat yang lain akan turut membengkak.
Kedua, liberalisasi pertanian. Sejak Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kebijakan-kebijakan di sektor pertanian di Indonesia harus disesuaikan dengan perjanjian tarif komoditi pertanian yang mencapai 1.341 komoditas. Dampak dari perjanjian ini misalnya kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah akhir tahun lalu. Juga keharusan pemerintah untuk mencabut subsidi terhadap sektor pertanian di antaranya subsidi terhadap pupuk yang akan menyebabkan harga pupuk naik. Padahal hampir semua negara maju termasuk AS yang mengusung liberalisasi masih memberikan subsidi kepada sektor pertanian ini.
Ketiga, liberalisasi sumber daya air (SDA). Bulan Agustus 2005 yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan hak uji materil dan formil yang diajukan Walhi dan lima LSM terhadap UU No. 7/2004 tentang SDA. Dengan berlakunya undang-undang tersebut semakin mengokohkan upaya pengelohan air oleh pihak swasta.
Salah satu dampak liberalisasi air ini adalah hilangnya ketahanan pangan. Hal ini terjadi karena liberalisasi mengakibatkan daerah aliran sungai (DAS) dikuasai oleh korporasi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Watsal. Watsal adalah bantuan dari World Bank yang mengucur dengan syarat, penerima utang mereformasi kebijakan nasional, kerangka regulasi, institusi, serta pengelolaan daerah aliran sungai dan irigasi. Akibatnya petani kecil akan kesulitan mendapatkan air untuk pertaniannya. Sebab aliran air ke sawah mereka dipegang penuh oleh korporasi penguasa DAS.
Dari sana kita mengetahui bahwa Indonesia tahun 2005 ada dalam genggaman kapitalisme global. Jelas pula bahwa sistem ekonomi kapitalis dan kebijakan yang dihasilkannya tidak berkah dan membuat rakyat sengsara. ***

Sumber : http://www.pikiran-rakyat.co.id

0 komentar:

 
Terimakasih Atas kunjungan Anda, Semoga Semuanya Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua