(Persembahan Untuk Para Sahabat)
Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu...Ikhwan and akhwat...moga hati kita dipertautkan karena-Nya
Terimakasih Telah Menjadi Sahabat Dalam Hidup kami

rss

Senin, 01 Oktober 2007

Uangku diterima oleh bapakku


Perbatasan kota pati. Letak desa yang masih strategis dan tidak jauh dari keramaian kota. Ada juga anggapan orang bahwa Tanjang adalah sebuah kota. Dinamakan Tanjang karena orang dahulu jika berjalan nunjang-nunjang disaat musim penghujan. Di sepanjang jalan tidak ada batu maupun kerikil,seperti sawah yang akan ditanami padi, gembur dan lembek, sedalam lutut. Bilamana hujan mengguyur tiada henti akan menampung air, bak samudera Hindia. Konon cerita orang terdahulu, lebih baik rumah yang terkena banjir dari pada tidak bisa makan.
Suasana itu membuat masyarakat tergugah untuk mewujudkan desa yang nyaman, jalan yang beraspal, kaki dapat dilangkahkan dengan ringan, tangan dengan mudah untuk memegang, serta membentuk keluarga terdidik. Lambat laun keadaan itu berubah ibarat meniti dua bambu sebagai jembatan dari tepi ke tepian sungai. Otak diasah untuk belajar dan bekerja keras tanpa lelah dan malu. Sebagai orang tua menginginkan anak-anaknya pandai, sehingga dapat mengurangi beban orang tua kelak. Oleh karena itu mereka disekolahkan sampai tingkat tinggi walau dengan menjual bambu, ternak dan panen. Sindiran dan ocehan silih berganti dengan meragukan kemampuan ekonomi. Olok mengolok mudah terlontar dari mereka. Saat inilah orang merindukan akhlak yang baik, mau merasakan susah senangnya tetangga, toleransi dan balas budi.
Mata pencaharian masyarakat beraneka ragam dari bertani, berdagang, swasta, dan pegawai pemerintah. Sekitar 16 % penduduknya bekerja di instansi pemerintah dan mayoritas bercocok tanam. Masih termasuk desa tertinggal namun kesadaran untuk mencerdaskan anak-anak sangat diutamakan. Suasana hati terasa mantap dan percaya diri dengan keberadaan ilmu yang semakin tinggi. Berbeda dengan desa lain, walau perekonomian tinggi namun pendidikan kurang diutamakan.
Diantara sekian banyak rumah yang cukup baik, diantara sekian banyak orang kaya dan orang miskin, dan ditengah kesibukan dan kemegahan rumah-rumah desa, hiduplah suatu keluarga kakek Kartono dan nenek Suwarni.
Kakek Kartono dan nenek Suwarni hidup bersama, satu anak dan dua cucunya mendiami rumah yang cukup sederhana. Anaknya dibangku SMA, sedangkan kedua cucunya dibangku TK dan kelas empat. Sawah satu petak menjadi handalan mereka, selain itu mereka juga memelihara ternak.
Pagi-pagi buta Nur sudah berada di dapur, memask nasi dan membuat lauk. Kadang pula neneknya yang membuat, jika tidak bekerja pada orang lain. Berat beban yang dipikul pada anak seusianya. Bagaikan kewajiban sholat yang tiada pernah ditinggalkan. Terlihat pintu kamar sebelah masih tertutup rapat. Setengah jam kemudian diikuti Ji’ah yang sedang menyapu lantai, membersihkan kaca. Suara tangis mulai terdengar manja. Suasana dingin menambah malas bangun Tio, yang berusia lima tahun.
Usai sarapan mereka berangkat kesekolah. Wajah Nur nampak berseri-seri hingga kedua bibir bergerak terlihat lesung pipit di pipi. Suasana riang hatinya saat bertemu teman-teman sekolah.
“Hai Ayik! Tumben pagi-pagi sudah sampai sini. Ingat betul hari ini ada PR.”
“Ah kamu Nur, tahu saja aku jika ada PR. Aku lupa mengerjakan.” sambil mengeluarkan buku.
“Sulit atau lupa Yik?” dengan memberi pilihan. Nampak wajah merah padam tersenyum.
“Ya Nur, aku tidak bisa ngerjakan, habis soalnya sulit!”
Tampak dari luar kelas ada suara memanggil Nur. “Nur…..Nur….!”Nur berusaha mencari arah suara memnggil dan terlihat sosok yang telah dikenalnya di kelas. Diantara duduk dikerumunan teman-teman. Nur menyapa
“Hai…!” Ada apa Yik…?”
“Aku tidak bisa mengerjakan nomer lima, sepertinya sulit, kamu bisa Nur?”
“Itu dia! Aku juga tidak bisa, sepertinya belum diajarkan ya oleh pak Marno!”
Bel masuk telah berdering. Anak-anak bergegas menempatkan diri didepan kelas masing-masing untuk diperiksa kuku dan rambut. Untunglah yang sudah bersih sehingga bisa masuk.
PR matematika dicocokkan silang. Satu persatu anak-anak ditunjuk untuk mengerjakan di papan tulis. Sebelum dikerjakan Nur menanyakan soal yang sulit.
“Tanya pak! Soal nomer lima, ini caranya bagaimana, saya tidak bisa Pak!”
“Ya Pak! Nomer lima.” dukung teman-teman yang ternyata kesulitan juga.
“Kalian ingat, rumus phytagoras? Ini adalah pengembangan phytagoras! Dalam mengerjakan soal memang diharapkan kejelian dan kecermatan yang cair.” tegas pak Marno. “Baiklah nanti kalian akan saya bantu mengerjakan, mungkin kalian ada yang sudah mencobanya?” pancing pak Marno.Tanpa rasa takut Nur menanyakan kembali. “Pak! Nanti kalau caranya salah?”
“Bagus Nak, kamu bisa mengikuti yang Bapak maksud! Inilah anak pemberani dan kritis. Jangan takut salah, matematika memiliki banyak cara baik yang praktis maupun cara panjang.” semangati Nur.
Nur seorang pemberani. Pelajaran yang belum dipahami berusaha ditanyakan, untuk apa sekolah kalau tidak paham. Baik bertanya kepada teman, kakak kelas, bapak atau ibu guru dan tak segan kepada kakek atau nenek terutama bahasa Jawa. Pelajaran yang diulang-ulang sudah hafal di luar kepala. Tanpa beban jika mengerjakan ujian. Apalagi pelajaran bahasa Indonesia belajar berbicara, menulis dan berekspresi. Waktu luang di rumah tidak disia-siakan. Biasanya diisi dengan membaca buku-buku pelajaran yang disenangi. Pelajaran Agama, IPA, dan buku cerita. Sayangnya, di perpustakaan boleh dipinjam mulai kelas lima. Nur memiliki tipe tidak suka menganggur. Bila banyak menganggur akan terasa capek.
Tak banyak tidur. Usai pulang sekolah segera mengambil air wudlu .untuk mengerjakan sholat Dzuhur. Kewajiban lima waktu berusaha ia lengkapi. Nyaman dan tenang sesudah menunaikan.
Di ruang tengah terlihat meja dapur terdapat penutup makan, berarti nenek sudah masak. Di sebelah barat meja dapur terdapat kursi kuno panjang dan besar, sehingga cukup untuk empat atau lima orang. Kakek duduk bersila sedang menikmati makan siang bersama nenek.
“Nur! Sini makan dulu!” panggil nenek selesai Nur salat.”
“Ya Nek, sebentar lagi!” sambil menggantungkan mukena di tembok.Nur segera menuju meja makan mengambil piring dan sendok lalu nasi dan lauk.
“Nenek, Kakek kok pulang cepat?” setelah makan satu sendok.
“Alhamdulillah, rumputnya tinggal sedikit Nur. Nur, besok ibumu nelpon pagi-pagi?” beri tahu kakek.
“Asyik… ibu pasti mau kirim. Tadi siapa yang ke sini Kek?”
“Pak Parno. Besok dengan Kakek ke sana ya.”
“Berarti dua kali ini ya Kek ibu kirim. Bapak kok tidak pernah kirim ya Nek?” Tanya Nur tiba-tiba.
“Nur, bapakmu khan di Palembang sama kakakmu, hasil kebun untuk makan berdua. Beda ibumu di Malaysia, di sana nilai uang tinggi. Kalau ditukar dengan mata uang Indonesia jadi banyak.”
“Ooo…begitu ya Nek, baru tahu aku. Nek aku dulu lahir di mana?”
“Nur dulu lahir di Palembang, kakakmu Listiyanto juga lahir di sana. Ingat tidak kamu dulu jatuh, masuk sumur. Ingat tidak Nur saat di kebun?” tanya Kakek.
“Haah…aku masuk sumur Kek! Kapan itu Kek, kok aku tidak tahu? Nur mempertajam ingatanya namun tak terbersit kejadian itu, kemudian Kakek mulai bercerita. “walaupun kamu masih kecil Nur suka membantu ibu, bapakmu dan sekarang kepada Nenek dan Kakekmu. Bagus Nur! Tanamkan sikap membantu sampai kamu dewasa dan kepada siapa saja. Sikap membantu membutuhkan keikhlasan hati karena Allah Taala. Tidak semua anak mau membantu. Ia cenderung untuk kepentingan pribadi. Sedangkan kita tidak bisa hidup sendiri.” puji Nenek. “Waktu itu bapak, ibumu pagi-pagi benar sudah berada di kebun, memanen sawi kemudian diikat kecil-kecil. Setiap bangun tidur Nur menyusul ke kebun tanpa disuruh ibumu. Kamu mengangkati sawi walau hanya satu ikat saja, sampai selesai. Setelah itu kamu main dekat dengan sumur gua. Sawi telah diangkut truk, kemudian bapakmu akan menyirami tanaman sawi dan selang air telah disiapkan. Ditariklah selang yang merambat dekat sumur gua, kamu terseret masuk sumur gua. Dari jauh terdengar seperti orang tercebur BYURRRR… “
“Tahunya kalau aku tercebur bagaimana Kek?” ingin tahu cerita selanjutnya.
“Saat itu bertanya-tanya suara apa itu?” spontan ibu ingat kamu duduk di sekitar sumur yang tidak jauh dari posisi bapak. Ibu memberi tahu bahwa Nur yang tercebur. Bapak, ibumu lari menuju sumur gua. Untung saja sumur gua itu airnya sedikit karena musim kemarau. Kamu diambil bapakmu dari atas badanmu, rambutmu kotor. Ibumu panik, segera kamu dibawa pulang, dimandikan dan melarang kamu main di sekitar sumur gua.”
Nur terhanyut cerita kakek, pikirannya menerawang jauh di kebun. Peristiwa yang tiada disangka itu dialaminya pada usia 3 tahun. Ibu Tiyan seorang wanita yang cekatan baik dalam bekerja maupun dalam bertindak. Selama darah segar masih mengalir pada tubuh, kasih sayang seorang yang merantau di negeri orang demi menutupi kebutuhan keluarga. Rela meninggalkan anak, sedangkan bapak Jarman di rumah.
Selintas Nur teringat mbak Jiah setelah melihat hari semakin sore. Saat itu pula kakek memberi tahu, kalau Jiah ada les tambahan. Jadi pulangnya agak sore, karena menjelang mid semester. Sedangkan Tio belajar di TPQ. Selang kemudian Nur menyusul Tio ke TPQ, mengikuti pembagian waktu. Sebagai seorang anak, Nur memerlukan pendidikan Agama, agar kelak menjadi orang yang berbakti kepada orang tua, mentaati guru, cinta rosulnya, dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu Nur tidak pernah absen ke TPQ, kecuali sakit. Berkat ketekunan dan kesungguhan Nur, wajar saja jilidnya cepat naik.
Setiap ada waktu luang, tidak terbuang sia-sia. Nur mudah bergaul dengan orang dewasa, untuk memperoleh jawaban yang ditanyakannya. Bersahabat dengan adik-adik, bermain ke tetangga sebelah. Ramah dan baik merupakan tabiat orang sekitarnya. Berbeda di tempat kelahiran bapaknya Blambangan, galak, mudah marah, dan menakutkan. Pernah suatu ketika Nur menyapa orang dewasa, namun hanya diam tak dipedulikan. Seketika itu Nur jadi takut untuk menyapa lagi. Pada waktu kelas 3 Nur diajak bapak Jarman ke Blambangan. Sebenarnya desa Blambangan merupakan daerah pegunungan. Suasananya tetap sejuk walau sore hari. Udara terasa segar pada pori-pori kulit. Menambah hati tenang. Banyak pohon rindang disepanjang jalan. Di sebelah barat terdapat ribuan pohon hijau yang beraneka ragam menjulang tinggi. Sayangnya, Nur belum pernah melihat nenek dan kakek, hanya melihat dari foto. Di rumah ditempati bulek sekeluarga. Suasana yang seperti ini yang membuat Nur tidak tahan. Seandainya bapak atau buleknya menyuruh Nur tinggal di Blambangan, Nur tidak akan mau dan tetap memilih di Tanjang. Rasa kekeluargaan minim, tidak menghargai anak kecil, kurang berempati serta jauh dari pendidikan.
Selama di rumah bulek, Sinia berusaha menenangkan dan membuat hati senang Nur, mengajak Nur menikmati pemandangan desa Blambangan.
Sejak berumur 3 tahun Nur dibesarkan di Tanjang bersama nenek dan kakek. Nenek Warni berusia 50-an dan kakek Kartono berusia 60-an seorang pekerja keras. Apapun pekerjaan yang bisa dikerjakan maka dikerjakanya. Sebagai tukang becak, kusir, mengail ikan, peternak dan bercocok tanam. Bercocok tanam adalah pekerjaan yang ditekuni. Semua itu dilakukan demi menghidupi anak dan kedua cucunya. Biaya sekolah Nur dan Tio digantungkan oleh bapak dan ibunya. Nenek dan kakek tidak berharap penuh.
“Nur, ibumu besok nelpon pagi-pagi!” kata kakek.
“Ya Kek, jam berapa?”
“Jam 07.00, besok sama kakek ya!”
“Wah aku khan sekolah Kek! Kakek saja yang menerimanya, salam buat ibu ya Kek! Nur sehat-sehat saja.” pesan Nur.
Akhirnya kakek sendiri yang menerima telpon. Ibu Tiyan telah mengirimi uang sebesar Rp.500.000,00. Pada hari Senin uang itu diambil dari bank. Hati Nur sangat gembira karena akan dibelikan rok dan SPP akan dibayar lebih awal.
Sesampainya di rumah ternyata ada tamu yang menunggu kakek. Tak lain adalah pak Parno yang dititipi telepon, memberitahukan bahwa pak Jarman akan menelpon sekitar jam 14.00. Sejam kemudian kakek menerima telpon di rumah pak Parno.
“Halo, ini Jarman!”
“Ya Pak, maaf Pak, begini saya saat ini sangat butuh uang. Kalau ada sekitar Rp.500.000,00“
“Buat apa Man?” tanya Kakek dengan tercengang.
“Keperluan penting Pak, sangat mendesak.”
“Baru saja, Bapak mengambil kiriman Tiyan untuk sekolah Nur.” Berhenti sejenak dengan bingung menentukan akan memberikan atau tidak.
“Ya sudah, nanti akan saya kirim lewat Narjo.”
“Baiklah, terima kasih ya Pak.”
Tidak ada pilihan lain. Uang yang baru diambil berpindahtangan ke menantunya, bapak Jarman, ibarat air mengalir di sungai. Hati kakek sedih akan uang yang sangat dibutuhkan namun tidak mengetahui secara pasti. Sepanjang perjalanan kakek menduga akan kekecewaan Nur.
“Kek, bapak tadi memberi kabar apa?” tanya Nur ingin segera tahu.
Kakek mencari tempat duduk yang terdekat. Di sebelah barat dekat pintu sejak tadi menunggu kakek pulang, kemudian Nur duduk di depan kakek. Secara pelan-pelan kakek Kartono berkata: “Begini lho Nur, bapakmu menelpon karena butuh uang sekitar lima ratus ribu rupiah, sedangkan ibumu sudah kirim sejumlah itu. Jadi uang kiriman ibumu sementara saya berikan. Kata bapakmu ada keperluan penting yang sangat mendesak.”
“Keperluan penting apa Kek?” kecewa dengan bapak.
“Kata bapakmu, keperluan yang sangat mendesak, entah keperluan apa. Ya sudah, nanti Kakek yang akan membayar SPPmu. Nur tidak usah beli rok dulu ya. Itu mungkin bukan rizkimu, Nur harus belajar lapang dada dan mau menerima.” Sambil melepas rasa lelah seharian mondar-mandir. Wajah kakek merah merona diterpa terik matahari siang. Keringat mengalir membasahi kening, leher kakek. Walau begitu kakek tetap berkhusnudzon dan berlapang dada.
“Mengapa tidak diberikan setengahnya saja?” sambung nenek.
“Sempat juga aku berpikir akan memberikan setengahnya, namun ketika memberi tahu bahwa Tiyan kirim untuk Nur namun Jarman tak perduli.”
Pasrah kepada Allah terhadap segala sesuatu yang telah menimpa. Kakek Kartono memiliki sikap yang tidak mudah mengeluh. Semestinya orang tualah yang menjadi tumpuan hidup anak-anaknya, karena sudah menjadi kewajiban. Kakek kartono telah menganggap Nur, Tio seperti anak sendiri, yang harus dirawat, dididik, dibesarkan, dan dibiayai seluruh penghidupannya. Sejak pertama dititipkan sampai dengan kelas 4, Nur hanya menerima dua kali kiriman. Selebihnya dibiayai oleh kakek Kartono. Hidup bersama kakek dan nenek menjadikan Nur tidak manja, patuh dan dapat menghormati siapa saja. Sikap inilah yang menambah kasih sayang kakek dan neneknya. Cinta kasih mereka tak luntur meski terhimpit perekonomian.
Ujian kenaikan kelas semakin dekat. Anak-anak sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian yang menentukan naik tidaknya ke kelas lima. Waktu yang tersisa harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Administrasi lunas sebelum ujian. Untunglah pak Parno mengabari tepat waktu. Ibu Tiyan sore itu akan menelpon. Pucuk dicinta ulampun tiba,sore harinya Nur dan kakek menerima telpon.
“Halo ini Tiyan. Bagaimana kabarmu?” sambung kakek
“Alhamdulillah baik-baik saja Pak. Saya kirim Rp.500.000,00 Pak, besok Senin bisa dicek. Nur ikut tidak Pak?”
“Ikut mau bicara?” sambil meyodorkan gagang telpon.
“Assalammualaikum Bu?”
“Waalaikum salam, Nur keadaanmu bagaimana sekarang?”
“Alhamdulillah Nur sehat, ibu sehat khan?” sambung Nur
“Ya ibu sehat-sehat saja.”
“Bu, kiriman kemarin jadinya diberikan bapak semua, sedangkan untuk membayar SPP Nur tidak ada. Kakek yang membayari aku.” Adu Nur kepada Ibu Tiyan.
“Katanya untuk apa Nur?”
“Keperluan penting.”
“Nur, ibu mau bicara dengan kakekmu!”
“Bapak, keperluan penting apa Pak?”
“Suamimu bilang, keperluan penting dan sangat mendesak, butuhnya Rp. 500.000,00 uang yang baru aku ambil sorenya aku berikan Narjo. Bapak tidak tahu pasti uang itu dipakai untuk apa oleh suamimu.”
“Lho, Lis sudah saya kirimin sama dengan Nur, Pak!”
“Berarti suamimu tahu kalau kamu kirim sama Nur!” tebak Kakek.
“Ya tahu, Pak. Oh ya Pak, nanti saya kirim Rp.500.000,00 besok Kamis dicek ya Pak!”
“Ya, besok tak cek.” Diberikanya telpon kepada Nur.
“Terimakasih ya Bu, hati-hati ya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Kakek Kartono dan Nur dapat menyimpulkan bahwa Pak Jarman mengetahui kiriman Nur. Makanya meminta uang dalam jumlah yang sama dan dalam dalam waktu yang sama. Rasa kesal dan kecewa tak terbendung lagi di hati Nur. Seorang bapak yang serakah, tak peduli milik anaknya sendiri dimakan pula.
Waktu yang ditunggu telah tiba, hari kamis kakek Kartono telah mengecek namun belum ada. Kakek segera memberi tahu ibu Tiyan, kemudian disarankan hari Senin dicek kembali. Saran anaknya diikuti, tetapi hari itu juga kiriman belum datang, padahal ujian semesteran sudah dekat. Datanglah surat dari Palembang yang isinya meminta bantuan secepatnya. Begitu juga Lis mendesak agar segera diberikan. Berarti akan diminta lagi. Selesai membaca surat kakek menarik nafas panjang, menahan kepedihan dan emosi, sedangkan hasil panen gagal. Kakek memberi tahu keadaan yang sebenarnya kepada Nur. Tak ada yang dapat diperbuat Nur, kecuali mengandalkan uluran kakek nenak. Bingung terhadap sikap bapak selama ini yang tidak mengerti keperluan Nur, tidak memiliki perasaan. Begitu juga kak Lis, kemungkinan Nur tidak boleh sekolah. Seorang bapak yang selalu membebani mertuanya dan tidak bertanggungjawab kepada anaknya. Air mata tak dapat terbendung lagi, bercucuran membasahi pipi yang montok dan mungil.
“Kek, mengapa bapak meminta lagi uang kiriman Nur, padahal khan buat bayar sekolahku.”
“Nur, kakek juga tak mengerti sikap bapakmu dan kakakmu Lis sambil membelai rambut Nur yang sejak tadi berdiri di samping kakek Kartono. “Kakek jadi penasaran, uang itu digunakan untuk apa ya Nur kira-kira?” apa untuk makan, atau untuk melunasi hutang, atau mungkin membeli sesuatu?” Nur tidak menjawab, Nur terus mencurahkan isi hatinya. “Nur khan belum membayar SPP sekolah, TPQ, dan buku Kek!” hati Nur gelisah tak menentu. “InsyaAllah ada Nur, nanti kakek akan mengusahakan. Tidak usah dipikirkan lagi, mungkin ini bukan rizqi Nur. Didoakan saja semoga uang itu digunakan dengan sebaik-baiknya.
Uang yang diambil dari bank kemudian dipindah tangankan lagi kepengantar bus Palembang untuk diberikan bapak Jarman, bak pengantar surat.
Bapak Jarman adalah sosok laki-laki yang kurang cekatan dalam bekerja, mudah ditipu, pernah ditawari bekerja di luar Indonesia, setelah membayar ditinggal kabur. Lebih tragis lagi adalah sudah membayar, kemudian berangkat, baru nyampai Batam ditinggal kabur. Memang nasib akan datang kepada siapa saja, tak peduli keadaan. Saat ini biaya sekolah, dan makan Nur ditangguhkan kepada ibu Tiyan. Oleh karena itu bapak Jarman tak pernah kirim. Selang dua minggu ibu Tiyan nelpon menanyakan kakek, setelah menerima surat dari pak Jarman. Isi surat memberitahukan bahwa kiriman Nur terpaksa diminta karena kelakuan Lis untuk membeli sepeda motor. Lis akan pergi dari rumah dan tidak akan kembali, biula bapak Jarman tidak memenuhi. Listiyanto, anak yang nekad. Apapun dilakuakan, untuk memperoleh keinginannya, tidak peduli berakibat baik atau buruk bagi dirinya. Putus sekokah juga dilakukan waktu SMP kelas 2 hanya karena tidak diberi uang. “Astagfirullahal adzim, mengapa Lis berbuat senekad itu!” Kamu tega menyakiti kedua orang tuamu dan adikmu sendiri.” Kepiluan kakek kepada Tiyan.
“Tiyan, sabar saja ya, jangan dipikirkan biaya sekolah Nur, insya Allah Bapak masih bisa membiayai sekolah Nur.” hibur bapak.
Ibu Tiyan meminta maaf kepada Nur dan kakek Kartono atas perbuatan Lis, dan berterima kasih atas pengorbanan materi dan moril yang diberikan kepada Nur.
“Bu, kalau mau kirim nanti jangan bilang sama bapak atau kak Lis ya biar tidak diminta lagi, kasihan kakek dan nenek harus membiayaiku terus!” pinta Nur kepada ibunya.
“Nur belajar yang rajin, jangan menambah susah kakek dan nenek ya, bantu mereka ya Nur.”
“Oh ya Bu, Alhamdulillah Nur mendapat rangking dua dan mendapat hadiah uang dan alat tulis dari bapak guru.”
“Ibu bangga sama kamu Nur, pertahankan prestasimu biar tidak sia-sia ibu menyekolahkanmu. Jangan seperti kakakmu ya, susah dinasehati.
“Insya Allah Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Hidup manusia bagaikan langit, terkadang mendung, namun bisa nampak cerah. Sikap keras kepala, mudah putus asa, ingin menang sendiri, dan tidak taat kepada orang tua ibarat langit mendung. Berarti segala sesuatu yang seharusnya ditaati tidak dipenuhi, sehingga mengakibatkan keburukan, kejahatan dan keserakahan, yang tidak terkendali. Sedangkan langit cerah sama halnya pendidikan misalnya sikap lapang dada, ikhlas, tidak mudah mengeluh, berikhtiar dan pasrah kepada Allah akan menjadikan pribadi yang takwa, tak kenal lelah untuk berbuat kebajikan. Ini semua bagian dari pendidikan.
Beruntunglah Nur dididik dan dibesarkan di tempat kelahiran ibu Tiyan sejak usia 3 tahun. Bagaimana nasib Nur jika masih dalam perantauan, mungkinkah sama dengan kakak Listiyanto? Bisa saja. Di dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Pengaruh lingkungan, pergaulan mudah mempengaruhi gaya hidup seseorang. Oleh karena itu, kakek mengambil tindakan segera mengirim surat kepada Listiyanto yang terlontar nasihat bermakna agar pulang ke Tanjang. Apa hendak dikata Listiyanto bersikukuh bersama bapak Jarman di Palembang.
Kehidupan manusia tidak lepas dari rintangan dan kebahagiaan. Hal ini membutuhkan perjuangan atau pengorbanan baik harta jiwa. Perasaan tenaga maupun pikiran. Harapan ibu Tiyan dan bapak Jarman kepada Nur, adalah agar Nur memperoleh pendidikan yang lebih baik. Kedekatan, pengertian seorang ibu lebih dibutuhkan anak. Bila ditimpa kesedihan ingin diperhatikan dan bila mendapat kesenangan ingin membagi kesenangannya dalam bentuk apapun. Walaupun keberadaan ibu Tiyan jauh namun berusaha memberikan perhatian kepada Nur. Beberapa hari yang lalu, ibu Tiyan menelpon akan mengirim hadiah buat Nur. Tanpa sepengetahuan Nur, kakek Kartono mengambil paketan di kantor pos. Saat anggota keluarga berkumpul, nenek memberikan hadiah kepada Nur. Nur terkejut, sebentar kemudian tersenyum hingga kelihatan gigi graham dan penasaran ingin cepat membuka. Kotak berisi dua setel pakaian yang berbeda warna, baju seragam sekolah, sepatu dan secarik kertas. Kejutan tidak hanya diberikan pada Nur, namun juga pada nenek dan kakek mendapatkan baju, sarung dan busana muslim.

0 komentar:

 
Terimakasih Atas kunjungan Anda, Semoga Semuanya Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua