Rabu, 31 Oktober 2007
Sunyi dalam Ramai, Ramai dalam Sunyi
Jika perjalanan tafakur kita menembus batas-batas cakrawala, menapak langit-langit hingga Sidratul Muntaha, pastilah berakhir dengan keterjengahan hati kita, bahwa segalanya menuju, demi dan untuk Rabbul Izzah, Allah Ta’ala. Itulah awal perjalanan keikhlasan kita, disaat tafakur sunyi menapakai “Inna sholaati wa-Nusukii wa-Mahyaaya wa Mamaatii Lillahi Robbil ‘Alamin…” (Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah…).
Menuju Arsy kita bertemu dalam hamparan Liqo’ Allah, dalam sunyi paling sunyi, karena segala hal selain Allah sirna, dan yang ada hanyalah Wajah Allah. Tetapi dalam sunyi paling sunyi, ghuyubul ghuyub itu, betapa tiada terperi, berhamparan cahaya yang meramaikan, lebih ramai dari keramaian apapun juga, karena KemahaanNya Yang Rahman bersinggasana mengatur semesta. Seluruhnya berada dalam genggamanNya yang serba sunyi senyap dalam ghuyubul ghuyub, dan ketika dilepaskannya dalam hamparan keleluasaanNya, betapa ramainya dalam taburan tasbih kepadaNya, atas Kemahasucian asma-asmaNya.
Kita baru memahamiNya ketika kembali ke dunia nyata, dengan segala keramaian peradaban, kesemrwutan manusia, tumpukan- tumpukan problema yang silih berganti antara cahaya dan kegelapan, bahkan suara-suara, rupa warna tiada tara, toh berujung pada kesunyian hati dalam sudut paling lorong, ada denyut jantung terus bersamaNya.
Bagaimana tidak? Yang nyata dalam fenomena, yang tampak oleh mata kepala, yang terdengar oleh telinga, yang teraba oleh indera, telah membawa tarikan pesona yang mengalpakan kita di lembah Ghafalat, yang dibuai oleh tarian-tarian syahwat, telah melemparkan kita di batas Hijab: kita telah berada dalam jurang jinabat. Dan Rumah Allah melarang orang-orang junub untuk memasukinya, kecuali telah bersuci dari Jinabat Ghafalat (kealpaan pada Allah)-nya.
Bertanyalah kepada bukit biru menjulang gagah, siapakah anda? Bertanyalah pada gulungan-gulungan ombak di lautan, siapakah anda? Bertanyalah desau angin nan lembut dan badai yang menggelora, siapakah anda? Bertanyalah pada bunga tulip di pagi hari ketika mekar bersama gejora dan fajar hari, siapakah anda? Bertanyalah kepada api yang membakar dan seluruh energi semesta, siapakah anda? Ternyata semua menjawab serentak dalam “harmoni konser pesona”: “Sesungguhnya kami adalah fitnah, maka janganlah anda kufur!”. Jawaban yang meledakkan seluruh dirinya, merobek seluruh nafsu kita, mencekam seluruh ketakutan, dan sekaligus mendendam kerinduan cinta kita.
Anda mau lari dari kenyataan? Lari dari gigitan paling pedih dari kesunyian ruhani anda? Lari dari keterlemparan diri anda akibat dosa dan kegelapan? “keinginanmu untuk lari menuju Tuhan dan hanya ingin sendiri bersamaNya, hanya ingin ‘anda dan Dia’, sedangkan kenyataannya anda harus menghadapi dengan alam fikiran, logika sebab akibat, hasrat anda itu tadi hanyalah Nafsu tersembunyi dalam bilik ketololan, kemalasan, ketidak beranian, kepengecutan, dan kelelahan hati anda.”
Hadapilah! Karena Allah tak pernah hilang, tak pernah ghoib, tak pernah berjarak, tak pernah bergerak atau diam, tak pernah berpenjuru atau bernuansa, tak pernah berbentuk dan berupa, tak pernah berwaktu dan ber-ruang. Tak ada alasan apapun yang bisa menutup, menghijabi, menghalangi, menirai Allah dari dirimu, apalagi sekedar untuk “menyendiri bersamaNya” dalam hiruk pikuk dunia. Tanpa harus melepaskan tantangan zaman, perjuangan, kegairahan kehambaan, kita tak pernah terhalang sedetik pun untuk menggelayut di “PundakNya” apalagi bermesraan dalam pelukanNya.
Jika ruang sunyi di hatimu terganggu oleh buar dan suara-suara nafsu, masuklah ke dalam bilih ruhmu, karena dalam bilik ruhmu ada hamparan agung Sirrmu, dimana sunyimu menjadi sirnamu kepadaNya, bahkan tak kau sadari kau panggil-panggil namaNya, karena kau telah berdiri di depan GerbangNya. Kelak kita bisa kembali bersamaNya, untuk melihat dunia nyata yang tampak di mata kepala, “BersamaNya aku melihat mereka,” begitu sunyi ungkapan Abu Yazid Bisthami kita.
Inilah awal keberangkatan kita,
menuju tetapi dituju,
memandang tetapi dipandang,
melihat tetapi dilihat,
bergerak tetapi diam fana,
berkata tetapi bisu,
memanggil tetapi dipanggil,
bersyari’at tetapi hakikat,
berhakikat tetapi syari’at,
bertangis dalam senyuman
senyum tak menahan airmata
bersunyi-sunyi tetapi ramai
beramai-ramai tetapi sunyi
Lalu kita berbondong-bondong menempuh jalan Khalwat, menuju Gua Hira Agung tak terperi, Hira’ hamparan hati. Agar hati lebih luas dari Arasy Ilahi, berbondong-bondong melepaskan atribut- atribut manusiawi, dan apapun alasan dan alibi kewajaran kita, agar kita tak punya alasan lagi, untuk tidak durhaka kepadaNya, untuk tidak menghindariNya, untuk tidak berselingkuh dengan selain DiriNya, untuk tidak memproduksi bermilyar-milyar syetan setiap hari, untuk tidak menyembah ribuan berhala dalam hati.
Kita keluar dari khalwat menuju ‘Uzlah Jiwa lihatlah betapa sunyinya keramaian peradaban manusia, betapa senyapnya suara-suara yang berdesing atau bagaikan nyanyian tapi sunyi. Kecuali yang ramai di detak jantungmu, Allah Allah Allah, Subhanallah Walhamdulillah wa-Laailaaha Illallah Allahu Akbar, menyelimuti seluruh keramaian semesta. Sampai semesta sunyi dalam kefanaan, Allahu Akbar! Walillahil Hamd. Maha Puja Puji bagi AbadiNya.
Deru mobil lalu lalang. Teriakan orang-orang lapar di jalanan atau di pengasingan. Deru peluru menghantar peperangan. Kerut melipat kening orang-orang di bursa saham. Murka para penguasa meneguhkan kesombongan.
Para koruptor berancang-ancang. Hukum semrawut di jalanan. Semua atas nama kepentingan diri dan golongan. Dari Jakarta ke London, Jakarta ke New York, Washington ke tumpukan lembah debu di Palestina. Apakah ini Jakarta atau hutan liar penuh raksasa dari penjuru dunia? Oh, lihatlah bagaimana akibat orang-orang pendusta Tuhan. (firliana Putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar