Selasa, 11 Desember 2007
Islam Tuntunan Bukan Tontonan
Gara-gara salah memahami syiar, gara-gara salah memahami Islam sepenggal-sepenggal, gara-gara memahami Islam sebatas kulit belaka, gara-gara berambisi menjadikan Islam sebagai kekuatan profan, gara-gara kemunafikan memanfaatkan lambang dan simbol Islam, gara-gara terlalu bangga pada diri sendiri, ibadahnya sendiri, amalnya sendiri, gara-gara suka apriori kepada pluralisme internal ummat, gara-gara ingin cepat jadi ustadz, ingin cepat jadi ulama, ingin cepat jadi kyai…..
Maka Islam hanya jadi bulan-bulanan tontonan, Islam hanya jadi ajang bisnis, Islam jadi alat menyerang kelompok yang tak sepaham, Islam jadi alat legitimasi politik, Islam jadi sasaran empuk dan bahan baku industri kapitalisme, Islam jadi bahan lawakan, Islam jadi tontonan yang menyakitkan. Bahkan Islam dijadikan alat untuk membela kebatilannya, kemunafikannya, keriya’annya, kebusukannya, kebanggaan harga dirinya, prestasi sosial dan jabatannya.
Seorang ulama sepuh hanya bisa prihatin, lalu bermunajat kepada Allah swt. “Tuhan, kini Islam yang kami lihat di media massa , bukan lagi Islam Tuntunan, tetapi Islam tontonan…”
Itulah munajat kyai sepuh dan tokoh ulama yang barangkali mewakili ribuan suara ulama dan kyai di Indonesia, prof KH Alie Yafie, ketika memperingati kemerdekaan RI menurut kalender Hijriyah, bertepatan di bulan suci Ramadhan lalu.
Selama bulan suci Ramadhan lalu, ada fenomena unik yang sangat menjemukan dan memuakkan. Pada sepertiga malam terakhir, biasanya umat Islam sangat khusyu’ beribadah, memohon ampunan, bertasbih, berdzikir dalam Qiyamullail serta tadarrus. Tetapi lepas tengah malam, jutaan umat Islam bangun, bukan untuk menghadap Tuhan, tetapi untuk menghadap TV dengan berbagai pilihan channel acara Ramadhan. TV telah menjadi berhala baru bagi mereka, karena sesungguhnya bukan mereka mendalami agama atau mendengarkan ceramah ustadznya, namun hanya ingin menonton entertainmet dalam jubah agama. Bahkan acara paling bermutu dari kajian tafsir Al-Qur’an prof Quraish Shihab, rating penontonnya paling rendah, padahal acara tersebut paling bermutu dari segi kualitasnya dibanding acara-acara lainnya.
Apakah Islam di negeri ini sudah banyak digiring dan ditentukan oleh para produser TV dan media massa ? Bukan ditentukan alurnya oleh para ulama? Apakah Islam harus mengikuti jalannya industri kapitalisme media, kemudian membangun image bahwa life style Islam adalah sebagaimana sosok-sosok di media itu? Politik media macam apakah yang telah merangsek ajaran Islam dan cakrawala Islam di negeri ini? Siapakah yang menjadi Imam ummat? Ulama? Artis? Mubaligh Panggungan? Ustadz teaterikal? Selebritis?
Merinding bulu kuduk kita, ketika mendengar dan melihat fakta tontonan agama di media massa . Tetapi memang, agama paling empuk, paling ramai di pasar dunia, paling mudah untuk dimanipulasi, paling gampang untuk dagangan, paling kuat untuk dijadikan legitimasi apapun, hingga cap halal haram untuk sebuah produk. Ini semua salah siapa? Apakah ummat mengalami kebosanan, kejenuhan, kehilangan simpati kepada para ulamanya, para ustadnya? Lalu beralih pada “Islam hiburan, Islam tontonan, Islam tangisan, Islamlawakan, Islam horor, Islam ruqyahan, Islam kuburan, Islam blatungan, Islam….” Entah apalagi namanya, yang mengeksploitir emosi penonton, untuk sebuah industri ketakutan dan kegembiraan.
Ataukah para kapitalis media sangat gemes dengan potensi empuk agama untuk dijadikan mesin uang? Barangkali saling kerjasama antar ustadznya untuk saling menguntungkan melalui bisnis agama ini? Inilah yang disinggung sejak lama oleh Al-Ghozali, ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan zaman semacam ini pernah diprediksi Kanjeng Nabi saw. “Nafsu dibalik kemaksiatan itu sudah jelas. Tetapi nafsu dibalik ketaatan (ibadah) itu tersembunyi. Terapinya sangat sulit, karena bedanya sangat tipis”
Inilah yang pernah diperingatkan secara keras oleh Abul Hasan asy-Syadzily, seorang sulthan Auliya’ di zamannya, ketika menafsiri ayat, “Rasul tidak pernah berkata dengan dorongan nafsu, melainkan karena wahyu yang diwahyukan…” maka, siapapun jangan merasa senang manakala kata dan ucapannya di “iya” kan oleh pendengar, tetapi senanglah kalian kalau Allah meng “iya” kan hatimu.
Jika seorang penceramah, seorang ustadz bicara di depan publik, dan publik menyambut dengan rasa simpati atas apa yang dikatakan ustadz, lalu sang ustadz gembira karena pandangannya mendapat dukungan, berarti sang ustadz itu telah berbicara karena dorongan hawa nafsunya. Sang ustadz bukan gembira, karena Allah membenarkan kata-katanya, tetapi gembira karena pendengar membenarkan ucapannya.
Seluruh gerakan “Islam tontonan” hanya mengeksploitasi penonton, pembenaran pemirsa, kesenangan pembaca, kenikmatan penyimak. Nafsu penonton, penyimak dan pemirsa adalah ladang bagi industrikomunikasi, apalagi agama, yang dianut oleh semua orang.
Kita tidak usah terlalu menyudutkan media, karena memang media itu industri yang ingin mengeruk keuntungan besar. Mari kita tengok para pelaku, para ustadz, para sosok yang mewakili Islam disitu. Apakah mereka tidak risih dijadikan tontonan ummat? Dijadikan bahan tawaan ummat? Dijadikan pelampiasan emosi semu dari kegersangan ummat? Apakah mereka tidak pernah mendengar jika ummat memunculkan sejumlah kata-kata, “Ayo kita nonton ustadz A….Ayo kita nonton ustadz Aa’ B, ayo kita lihat ustadz J,?” sama sekali tidak ada bau tuntunan dari kata yang terucap. Lalu sekian program diekploitasi. Misalnya ustadz A atau B atau J, bisa dijual segi kehidupan sehari-harinya, keluarganya, seni suaranya, deklamasinya, airmatanya, dan sebagainya.
Islam tontonan juga telah memenuhi judul-judul sinetron. Seperti Rahasia Illahi, Hidayah, Sakratul maut, Takdir Illahi, Taubat, Misteri dua dunia, yang hampir mengaduk-aduk dunia kuburan untuk industri sineas ini. Islam begitu memuakkan dimata anak-anak, begitu mengerikan dan horor dimata orang luar, demikian memuntahkan dimata ummat sendiri. Lalu bermunculan Nama-nama Allah untuk dijadikan industri sineas, seperti Subhanallah, Allahu Akbar, Astaghfirullah…dll
Lalu Ruqyah, okh…sangat memilukan. Apakah pemahaman ruqyah sebegitu dangkal seperti di media dan TV itu? Coba pemirsa lihat bagaimana anda menatap para peruqyah itu, apakah ada Cahaya Illahi yang muncul dari keikhlasan jiwanya? Apakah Islami seperti tontonan Ruqyah itu? Itu ruqyah atau Riya’ah?
Islam tontonan juga membangun imej, bahwa menjadi ustadz, Da’i, Mubaligh, adalah karir dan profesi, lalu muncullah perlombaan jadi da’i, pildacil, jangan-jangan ada lomba jadi Kyai…
Gara-gara Formalisme?
Menurut telaah, kenapa Islam tontonan ini muncul begitu kuat? Sejak kata-kata Islam phobia mulai menyingkir di negeri ini, muncullah Islamisasi diberbagai bidang dalam landskap dan mosaik keseharian, saling tarik menarik antara kepentingan politik, kepentingan semangat agama, dan kebodohan akan agama itu sendiri yang merajai manusia-manusia kota yang konon lebih senang disebut manusia terpelajar.
Semangat formalisme Islam, membuat ummat Islam tergila-gila dengan lambang serba Islam, serba syari’at, jargon serba ummat, disatu sisi lebih merasa terpuaskan oleh rasa bangga, bila Islam ditonton oleh banyak orang, “Inilah Islam!”. Tetapi kita semua tahu, karena “inilah Islam!” terorisme ada dimana-mana, Islam garis keras memanfaatkan momentum maksiat untuk bisa eksis di media massa . Kebiadaban atas nama Islam macam mana lagi ini? Bukankah kita hanya memetik kemunafikan demi kemunafikan ketika meneriakkan Islam sementara hati kita kosong, hati kita kering, jiwa kita sendiri yang sangat menjijikkan untuk divisualkan?
Islam tontonan adalah salah satu dari sekian teater akhir zaman edan. Karena Islam tontonan adalah wujud lain dari Riya’ yang maniak, Riya’ yang didukung teknologi, Riya’ yang dibungkus nama-nama Tuhan, Riya’ yang menumpuk sampah kebanggaan, Riya’ yang membangun lapisan kebodohan, Riya’ yang menghancurkan agama dari pahalanya dari dalam.
Islam tontonan sesungguhnya adalah sampah, yang muncul dari limbah sejarah klarifikasi ad-Din al-Haq. Allah mengumpulkan limbah ini, agar mudah dibersihkan dari jiwa ummat.
Islam tontonan sebagaimana dalam Al-Qur’an, “adalah mereka yang tersesat perjalanan hidupnya di dunia dan menduga apa yang mereka lakukan itu adalah perilaku yang baik.” (Al-Kahfi).
Itulah tema paling mutakhir abad kita, Islam di tengah-tengah kelemahan para ulamanya, para ustadznya, para kyainya, bertemu dengan kebodohan dan ketololan para ummat yang mengikutinya, lalu dijadikan industri empuk tontonan para kapitalisnya, Entertainment nafsu agama. Masya Allah!
Ya Allah, akhir zaman model apalagi ini? Zaman akhir seperti apalagi setelah ini?
Semoga semua itu sebagai caraMu untuk mengubah ummat lebih dekat kepadaMu, yang terkadang Engkau menakdirkan mereka lebih dahulu bermaksiat kepadaMu.(Dahlia Putri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar