1- katanya buah-buahan dan sayur mayur bisa untuk diet
tapi kenapa ya gajah tidak bisa memanfaatkanya!!!. Nyengir
2-kenapa lem yang sangat lengket tidak lengket di tempatnya!!!
3-katanya dunia ini panggung sendiwara,tapi penuntunya duduk di mana!!!
4-ada pelat di atas rumput tertulis"awas jangan injak rumput"
gimana letakan pelat itu sebelumnya!!!
5-kita selalu denggar tentang kecepatan sinar....
baik...kalu kecepatan gelap berapa????.
6-para pembikin makanan kucing, kenapa mereka tidak
bikin makanan kucing dengan aruma tikus
7-ada toko-toko yang mengatakn buka 24 jam sehari...
tapi kenapa ada pintunya dan kunci!!!
Abdalloh sang dudunger
MISTERI SANDAL JAPIT
Sandal japit selalu menjadi cerita primadona, ada apa...?
Sebagaian besar para jama'ah yang pulang dari haji, sering bercerita tentang sandal japit mereka. Hal ini sudah sejak puluhan tahun yang lalu. Apakah hal ini terpengaruh oleh cerita jama'ah haji sebelumnya, ataukah tidak. Tetapi yang jelas setiap kita mengunjungi jama'ah haji yang baru pulang dari ibadahnya, selalu ada cerita tentang sandal japit.
Pak Adi misalnya, ia sejak berangkat dari tanah air membawa sandal japit sebanyak lima pasang. Ketika seorang temannya bertanya mengapa membawa sebanyak itu, ia hanya tertawa saja, sambil ganti bertanya setengah mengolok temannya:
"Apa kamu tidak pernah tahu cerita orang-orang haji sebelumnya? Kalau kamu tahu pasti kamu akan membeli dan mempersiapkan sandal lebih banyak dari saya!" katanya. Sang teman pun hanya geleng kepala saja sambil pergi.
Ketika pak Adi pulang dari ibadah haji, Ia kembali bercerita tentang sandal japitnya. Ternyata benar ‘firasat’nya! Lima pasang sandal yang ia persiapkan dari rumah, di kota Mekah hanya bisa 'bertahan' lima hari saja. Setiap hari ia kehilangan sandal japitnya. Selalu lupa di mana menaruh sandalnya tersebut. Sehingga pada hari yang ke enam ia membeli lagi sandal di kota mekah untuk kesehariannya. Dan anehnya sandal yang ia beli tersebut bertahan sampai ia selesai melakukan ibadah di kota Mekah.
Pak Santo, adalah teman pak Adi. Mereka bekerja pada kantor yang sama. Tetapi karena pak Santo mengikuti rombongan yang berbeda, mereka tidak berada pada kloter yang sama. Meskipun mereka berbeda hotel dan berbeda kloter, ternyata pada hari yang ke enam, mereka bertemu di masjidil Haram. Betapa senangnya mereka. Maka sambil bercerita pengalamannya, mereka pulang ke hotel masing-masing sambil jalan bersama-bersama.
Pak Adi membuka pembicaraan :
"Wah, sandal yang kupersiapkan lima pasang dari rumah itu, ternyata sekarang sudah 'habis'. Setiap hari aku selalu lupa di mana aku menaruhnya. Padahal pintu mana ketika aku memasuki masjid sudah aku ingat-ingat. Tetapi tetap saja sandal yang aku letakkan di tempat yang cukup aman itu ternyata hilang."
" Oh, kalau masalah itu saya tahu betul. Pak Adi kan memang orang yang pelupa, iya toh?" Kata pak Santo.
" ...nggak heran saya, kalau sandal pak Adi selalu hilang. Kadang kunci mobil yang jelas-jelas baru ditaruh di atas meja kantor beberapa saat saja, pak Adi sudah lupa...!" sambung Pak Santo.
"...untung saja, saya ditakdirkan menjadi orang yang gampang ingat. Tidak pelupa...ha ha ha... Sejak saya datang di kota Mekah ini, sandal yang saya pakai, ya ini pak! lumayan-lah agak ngirit he he" kata Pak Santo.
"Baiklah pak, kita berpisah di sini ya. Kan hotel kita berbeda. Besok subuh kita ketemu di dekat sumur zam-zam ya..." kata pak Adi
"Ok. pak, assalamu'alaikum..." sahut pak Santo sambil menyeberang jalan menuju hotelnya.
Keesokan paginya, ketika mereka di dalam masjid, ternyata mereka berdua tidak bisa bertemu seperti maksud mereka sebelumnya, karena jama'ah begitu penuh. Maka pak Adi pun tidak berusaha mencari pak Santo lagi. Sekitar jam delapan pagi pak Adi pulang menuju hotelnya, bersama-sama dengan jama'ah rombongannya.
Ketika pak Adi berjalan, sudah sekitar lima puluh meter dari pintu masjid, ia melihat pak Santo berdiri di dekat salah satu pintu masjid. Ia berdiri saja di dekat pintu tersebut. Maka pak Adi pun mendekati pak Santo, yang saat itu kelihatan agak bingung.
"Ada apa pak?" Tanya pak Adi
"Ini pak, sandal saya tadi kan saya taruh di dekat pintu ini, saya ingat betul koq, tidak mungkin-lah saya lupa! Bahkan yang kiri saya pisahkan tempatnya dengan yang sebelah kanan. Supaya tidak terambil orang lain. Tapi dimana ya..? Saya sudah hampir lima belas menit berdiri disini, tapi belum ketemu juga....
Pak Adi hanya tersenyum saja menyaksikan kebingungan pak Santo. Katanya dalam hati: “....tahu rasa kamu sekarang...!”
Dan pak Adi-pun pergi meninggalkan pak Santo yang masih kebingungan di dekat pintu masjid. Ketika pak Adi sambil berjalan melayangkan pandangannya ke arah pak Santo, ia melihat pak Santo-pun meninggalkan pintu masjid berjalan pulang tanpa mengenakan alas kaki...
Lain lagi halnya dengan bu Toni. Ketika ia berjalan pulang dengan beberapa temannya, bu Toni bercerita bahwa ia merasa kasihan melihat bu Fajar, yang baru satu hari di Mekah bu Fajar sudah kehilangan sandalnya. Padahal sandal itu sudah diletakkan di tempat yang aman, di dekat tempat ia shalat katanya. Tapi tetap saja ketika shalat sudah selesai, bu Fajar tidak menemukan sandalnya.
Kata bu Toni: "..Ya maklumlah, karena pergeseran-pergeseran shaf ketika akan shalat, maka tempat berubah dari posisi semula. Sehingga tentu bu Fajar kesulitan mencari-nya kembali."
Tiba-tiba bu Sodiq yang berada di sebelah bu Toni berkomentar: "Kalau saya bu, sejak dari rumah sudah diberi tahu oleh kakak saya yang tahun kemarin berangkat haji. Pokoknya kalau ke masjid kita bawa aja tas kresek. Atau tas apa saja khusus untuk tempat sandal supaya tidak hilang. Sekarang pun saya membawa! Dan selalu siap sedia dengan tas tersebut, sehingga amanlah sandal saya...!"
Seperti biasanya, keesokan harinya sebelum waktu subuh, rombongan bu Toni sudah berangkat menuju masjid. Mereka masing-masing membawa sandalnya menuju tempat, dimana mereka berada. Sandal mereka letakkan di dekat tempat duduk mereka. Setelah shalat subuh dikumandangkan melalui iqamah bilal, mereka pun tenggelam dalam suasana shalat subuh yang menyejukkan.
Seusai shalat, mereka tetap beraktivitas di dalam masjid. Ada yang membaca Al-Qur'an ada yang thawaf, ada yang berdzikir, dan sebagainya. Bu Sodiq pun melihat-lihat keindahan arsitektur masjidil Haram. Ia berjalan kesana-kemari, bahkan beberapa kali ke tempat air zam-zam.
Setelah dirasa cukup dengan aktivitasnya masing-masing, rombongan bu Toni sepakat untuk pulang ke hotel. Para jama'ah bertebaran keluar dari masjid untuk kembali ke hotelnya masing-masing. Bu Toni dan teman-temannya bergegas mau pulang, tetapi mereka masih menunggu bu Sodiq yang belum kembali dari acara jalan-jalannya di dalam masjid tersebut.
" Nah, itu dia bu Sodiq, ayo kita pulang..!" kata bu Toni. " lho, sandal saya dimana toh, tadi kan disini?" kata bu Sodiq setengah terkejut, setelah ia melihat tas sandalnya tidak ada ditempatnya lagi.
"iya, tadi kan di sini, bersama sandal milik kita semua..., dimana ya? celetuk ibu yang lain. "...yaah, mungkin aja ada orang yang keliru membawa tas sandalnya, dikira miliknya, padahal itu milik bu Sodiq ya..."
" Mungkin juga iya..., memang warna tas saya hitam, jadi banyak yang mirip. Sehingga mungkin saja ada orang yang lupa menaruh tasnya, maka diambil-lah tas saya..."jawab ibu Sodiq dengan agak malu kepada ibu-ibu yang lain. Soalnya kemarin ia sudah berbangga bahwa tidak mungkin, sandalnya akan hilang.
Secara logika, sebenarnya 'para' sandal tersebut tidaklah hilang. Tetapi ada saja penyebabnya sehingga pemiliknya kehilangan atau tidak bisa menemukan sandalnya yang sudah ditempatkan di posisi yang aman.
Pak Adi, Pak Santo, Bu Toni, Bu Fajar, maupun bu Sodiq, mereka adalah contoh kecil dalam hal kehilangan sandal. Setiap tahun setiap saat musim haji selalu ada cerita unik tentang sandal japit. Satu hal, yang rata-rata menjadi kuncinya, ialah masalah kebanggaan dan kesombongan diri.
Para jama'ah diperintahkan bertamu di rumah Allah adalah untuk melatih ketawadhu'annya. Melatih sabarnya, dan juga melatih ketawakalannya. Bangga, ria, sombong adalah penyakit hati, yang mencerminkan ego yang tinggi.
Karenanya, penyakit-penyakit itu harus dihilangkan, dengan cara berserah diri kepada Ilahi Rabbi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, merasa rendah di hadapan Allah Yang Maha Tinggi.
QS.Al-Qashash (28) : 76
Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.
Inilah salah satu pelajaran dalam perjalanan haji. Misteri tentang sandal japit! Meskipun nampak sederhana, tetapi merupakan pelajaran yang memiliki nilai sangat tinggi di dalamnya... (Firliana Putri)
Sebagaian besar para jama'ah yang pulang dari haji, sering bercerita tentang sandal japit mereka. Hal ini sudah sejak puluhan tahun yang lalu. Apakah hal ini terpengaruh oleh cerita jama'ah haji sebelumnya, ataukah tidak. Tetapi yang jelas setiap kita mengunjungi jama'ah haji yang baru pulang dari ibadahnya, selalu ada cerita tentang sandal japit.
Pak Adi misalnya, ia sejak berangkat dari tanah air membawa sandal japit sebanyak lima pasang. Ketika seorang temannya bertanya mengapa membawa sebanyak itu, ia hanya tertawa saja, sambil ganti bertanya setengah mengolok temannya:
"Apa kamu tidak pernah tahu cerita orang-orang haji sebelumnya? Kalau kamu tahu pasti kamu akan membeli dan mempersiapkan sandal lebih banyak dari saya!" katanya. Sang teman pun hanya geleng kepala saja sambil pergi.
Ketika pak Adi pulang dari ibadah haji, Ia kembali bercerita tentang sandal japitnya. Ternyata benar ‘firasat’nya! Lima pasang sandal yang ia persiapkan dari rumah, di kota Mekah hanya bisa 'bertahan' lima hari saja. Setiap hari ia kehilangan sandal japitnya. Selalu lupa di mana menaruh sandalnya tersebut. Sehingga pada hari yang ke enam ia membeli lagi sandal di kota mekah untuk kesehariannya. Dan anehnya sandal yang ia beli tersebut bertahan sampai ia selesai melakukan ibadah di kota Mekah.
Pak Santo, adalah teman pak Adi. Mereka bekerja pada kantor yang sama. Tetapi karena pak Santo mengikuti rombongan yang berbeda, mereka tidak berada pada kloter yang sama. Meskipun mereka berbeda hotel dan berbeda kloter, ternyata pada hari yang ke enam, mereka bertemu di masjidil Haram. Betapa senangnya mereka. Maka sambil bercerita pengalamannya, mereka pulang ke hotel masing-masing sambil jalan bersama-bersama.
Pak Adi membuka pembicaraan :
"Wah, sandal yang kupersiapkan lima pasang dari rumah itu, ternyata sekarang sudah 'habis'. Setiap hari aku selalu lupa di mana aku menaruhnya. Padahal pintu mana ketika aku memasuki masjid sudah aku ingat-ingat. Tetapi tetap saja sandal yang aku letakkan di tempat yang cukup aman itu ternyata hilang."
" Oh, kalau masalah itu saya tahu betul. Pak Adi kan memang orang yang pelupa, iya toh?" Kata pak Santo.
" ...nggak heran saya, kalau sandal pak Adi selalu hilang. Kadang kunci mobil yang jelas-jelas baru ditaruh di atas meja kantor beberapa saat saja, pak Adi sudah lupa...!" sambung Pak Santo.
"...untung saja, saya ditakdirkan menjadi orang yang gampang ingat. Tidak pelupa...ha ha ha... Sejak saya datang di kota Mekah ini, sandal yang saya pakai, ya ini pak! lumayan-lah agak ngirit he he" kata Pak Santo.
"Baiklah pak, kita berpisah di sini ya. Kan hotel kita berbeda. Besok subuh kita ketemu di dekat sumur zam-zam ya..." kata pak Adi
"Ok. pak, assalamu'alaikum..." sahut pak Santo sambil menyeberang jalan menuju hotelnya.
Keesokan paginya, ketika mereka di dalam masjid, ternyata mereka berdua tidak bisa bertemu seperti maksud mereka sebelumnya, karena jama'ah begitu penuh. Maka pak Adi pun tidak berusaha mencari pak Santo lagi. Sekitar jam delapan pagi pak Adi pulang menuju hotelnya, bersama-sama dengan jama'ah rombongannya.
Ketika pak Adi berjalan, sudah sekitar lima puluh meter dari pintu masjid, ia melihat pak Santo berdiri di dekat salah satu pintu masjid. Ia berdiri saja di dekat pintu tersebut. Maka pak Adi pun mendekati pak Santo, yang saat itu kelihatan agak bingung.
"Ada apa pak?" Tanya pak Adi
"Ini pak, sandal saya tadi kan saya taruh di dekat pintu ini, saya ingat betul koq, tidak mungkin-lah saya lupa! Bahkan yang kiri saya pisahkan tempatnya dengan yang sebelah kanan. Supaya tidak terambil orang lain. Tapi dimana ya..? Saya sudah hampir lima belas menit berdiri disini, tapi belum ketemu juga....
Pak Adi hanya tersenyum saja menyaksikan kebingungan pak Santo. Katanya dalam hati: “....tahu rasa kamu sekarang...!”
Dan pak Adi-pun pergi meninggalkan pak Santo yang masih kebingungan di dekat pintu masjid. Ketika pak Adi sambil berjalan melayangkan pandangannya ke arah pak Santo, ia melihat pak Santo-pun meninggalkan pintu masjid berjalan pulang tanpa mengenakan alas kaki...
Lain lagi halnya dengan bu Toni. Ketika ia berjalan pulang dengan beberapa temannya, bu Toni bercerita bahwa ia merasa kasihan melihat bu Fajar, yang baru satu hari di Mekah bu Fajar sudah kehilangan sandalnya. Padahal sandal itu sudah diletakkan di tempat yang aman, di dekat tempat ia shalat katanya. Tapi tetap saja ketika shalat sudah selesai, bu Fajar tidak menemukan sandalnya.
Kata bu Toni: "..Ya maklumlah, karena pergeseran-pergeseran shaf ketika akan shalat, maka tempat berubah dari posisi semula. Sehingga tentu bu Fajar kesulitan mencari-nya kembali."
Tiba-tiba bu Sodiq yang berada di sebelah bu Toni berkomentar: "Kalau saya bu, sejak dari rumah sudah diberi tahu oleh kakak saya yang tahun kemarin berangkat haji. Pokoknya kalau ke masjid kita bawa aja tas kresek. Atau tas apa saja khusus untuk tempat sandal supaya tidak hilang. Sekarang pun saya membawa! Dan selalu siap sedia dengan tas tersebut, sehingga amanlah sandal saya...!"
Seperti biasanya, keesokan harinya sebelum waktu subuh, rombongan bu Toni sudah berangkat menuju masjid. Mereka masing-masing membawa sandalnya menuju tempat, dimana mereka berada. Sandal mereka letakkan di dekat tempat duduk mereka. Setelah shalat subuh dikumandangkan melalui iqamah bilal, mereka pun tenggelam dalam suasana shalat subuh yang menyejukkan.
Seusai shalat, mereka tetap beraktivitas di dalam masjid. Ada yang membaca Al-Qur'an ada yang thawaf, ada yang berdzikir, dan sebagainya. Bu Sodiq pun melihat-lihat keindahan arsitektur masjidil Haram. Ia berjalan kesana-kemari, bahkan beberapa kali ke tempat air zam-zam.
Setelah dirasa cukup dengan aktivitasnya masing-masing, rombongan bu Toni sepakat untuk pulang ke hotel. Para jama'ah bertebaran keluar dari masjid untuk kembali ke hotelnya masing-masing. Bu Toni dan teman-temannya bergegas mau pulang, tetapi mereka masih menunggu bu Sodiq yang belum kembali dari acara jalan-jalannya di dalam masjid tersebut.
" Nah, itu dia bu Sodiq, ayo kita pulang..!" kata bu Toni. " lho, sandal saya dimana toh, tadi kan disini?" kata bu Sodiq setengah terkejut, setelah ia melihat tas sandalnya tidak ada ditempatnya lagi.
"iya, tadi kan di sini, bersama sandal milik kita semua..., dimana ya? celetuk ibu yang lain. "...yaah, mungkin aja ada orang yang keliru membawa tas sandalnya, dikira miliknya, padahal itu milik bu Sodiq ya..."
" Mungkin juga iya..., memang warna tas saya hitam, jadi banyak yang mirip. Sehingga mungkin saja ada orang yang lupa menaruh tasnya, maka diambil-lah tas saya..."jawab ibu Sodiq dengan agak malu kepada ibu-ibu yang lain. Soalnya kemarin ia sudah berbangga bahwa tidak mungkin, sandalnya akan hilang.
Secara logika, sebenarnya 'para' sandal tersebut tidaklah hilang. Tetapi ada saja penyebabnya sehingga pemiliknya kehilangan atau tidak bisa menemukan sandalnya yang sudah ditempatkan di posisi yang aman.
Pak Adi, Pak Santo, Bu Toni, Bu Fajar, maupun bu Sodiq, mereka adalah contoh kecil dalam hal kehilangan sandal. Setiap tahun setiap saat musim haji selalu ada cerita unik tentang sandal japit. Satu hal, yang rata-rata menjadi kuncinya, ialah masalah kebanggaan dan kesombongan diri.
Para jama'ah diperintahkan bertamu di rumah Allah adalah untuk melatih ketawadhu'annya. Melatih sabarnya, dan juga melatih ketawakalannya. Bangga, ria, sombong adalah penyakit hati, yang mencerminkan ego yang tinggi.
Karenanya, penyakit-penyakit itu harus dihilangkan, dengan cara berserah diri kepada Ilahi Rabbi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, merasa rendah di hadapan Allah Yang Maha Tinggi.
QS.Al-Qashash (28) : 76
Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.
Inilah salah satu pelajaran dalam perjalanan haji. Misteri tentang sandal japit! Meskipun nampak sederhana, tetapi merupakan pelajaran yang memiliki nilai sangat tinggi di dalamnya... (Firliana Putri)
PARA MALAIKAT MENOLONG NABI DAN SAHABATNYA DALAM PERANG AL-AHZAB
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya.
Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan (al-Ahzab:9). Al-Allamah bin Katsir berkata, "Allah SWT berfirman memberitahukan nikmat, keutamaan, dan kebaikan-Nya yang telah dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dalam menghadapi dan mengalahkan musuh-musuhnya pada saat mereka terkepung.
Hal itu terjadi pada tahun Khandaq, bulan Syawal tahun kelima Hijriah dalam pendapat yang sahih dan masyur."Musa bin Aqabah dan lain-lainnya berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun keempat Hijriah.
Adapun yang menjadi menjadi sebab pengepungan tersebut adalah bahwa seorang pemuka Yahudi banin Nadhir yang telah diusir Rasulullah saw. dari kota Madinah ke Khaibar, di dalamnya termasuk Salam bin Abi al-Haqiq, Salam bin Masykam dan Khanah ibnar Rabi', keluar menuju kota Mekah. Mereka berkumpul dengan para pemuka Quraisy dan membujuk mereka untuk memerangi Rasulullah saw. dan menjanjikan kemenangan serta bantuan dari kelompok mereka sendiri. Kaum Quraisy menyetujui usulan mereka dan bersama-sama keluar untuk mengajak kaum Ghathfan bergabung.
Mereka juga menyepakati usulan tersebut. Setelah itu, kaum Quraisy keluar bersama para sekutunya dibawah pimpinan Abu Sufyan Shakhar bin Harb, dan kaum Ghathfan dibawah pimpinan Uyainah bin Hushun bin Badar dengan kekuatan sebesar sepuluh ribu orang.Begitu Rasulullah saw. mendengar bergeraknya mereka untuk melakukan penyerangan, beliau segera memerintahkan kaum muslimin untuk menggali khandaq (lubang) di sekitar kota Madinah yang berhadapan ke timur kota. Hal itu beliau lakukan atas saran Salmah al-Farisi r.a. Dengan penuh ketekunan kaum muslimin bersama Rasulullah saw. bekerja keras menggali dan memindahkan tanah serta batu-batu.
Beberapa waktu kemudian, kaum musyrikin datang membuat kamp di sebelah timur kota di dekat Uhud. Lalu salah satu kelompok dari mereka turun ke dataran tinggi kota Madinah, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an, "(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan bawahmu." (al-Ahzab:10) Rasulullah saw. keluar bersama kaum muslimin yang berkekuatan sekitar 3000 orang, ada yang mengatakan 700 orang.
Mereka menyandarkan punggung masing-masing ke bongkahan batu/tanah. Sementara, wajah mereka menghadap ke arah datangnya musuh. Sedangkan khandaq di depan mereka tidak lebih dari sebuah lubang tanpa air yang memisahkan antara mereka dan menghalangi pasukan berkuda dan pejalan kaki untuk sampai kepada mereka, serta menempatkan kaum wanita dan anak-anak di dalam benteng kota.Bani Quraizhah adalah salah satu kelompok Yahudi yang memiliki benteng di sebelah timur kota Madinah dan terikat perjanjian serta jaminan dengan Rasulullah saw.
Jumlah kekuatan mereka sekitar 800 laskar. Lalu Huyai bin Akhthab an-Nadhari pergi menemui mereka dan membujuknya untuk bersama-sama menyerang Rasulullah saw. Ia tidak beranjak dari sana hingga mereka mengkhianati perjanjian yang dibuatnya dan bergabung mengepung Rasulullah saw. dan kaum muslimin.
Kini urusannya semakin besar, persoalan semakin rumit, dan keadaan semakin kritis, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an, "Di situlah diuji orang-orang mukmin, dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat dasyat." (al-Ahzab:11) Mereka tetap tinggal di sana melindungi Rasulullah saw. dan para sahabatnya selama hampir satu bulan. Hanya saja kaum musyrikin belum sampai kepada mereka dan tidak terjadi pertempuran antara mereka.Lalu Amrun bin Abdi Wuddin al-'Amri salah seorang pasukan berkuda dan pahlawan pemberani yang tersohor pada zaman jahiliah, bersama beberapa orang prajurit berkuda melintasi khandaq dan berhasil menuju ke arah kaum muslimin. Rasulullah saw. segera memerintahkan beberapa prajurit berkuda untuk menghadapinya. Namun, tidak ada seorangpun yang menuruti perintahnya. Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib r.a. yang segera keluar menghadapinya.
Untuk beberapa saat keduanya bertempur hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib berhasil membunuhnya. Dan ini adalah pertanda kemenangan. Lalu Allah mengirimkan angin topan yang berhembus sangat dasyat ke arah para pengepung hingga tidak ada sebuah tenda pun yang tersisa dan tanpa nyala api.
Akhirnya, mereka semua lari meninggalkan ketakutan dan menderita kerugian, sebagaiman firman Allah SWT. "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan." (al-Ahzab:9)
Firman Allah SWT, "Wa junuudun lam tarauhaa," menurut Ibnu Katsir adalah para malaikat yang membuat mereka (kaum musyrikin) terguncang dan menyusupkan rasa kaget dan takut ke dalam hati mereka. Pada saat itu, setiap kepala kabilah berkata, "Wahai bani Fulan kemarilah kepadaku." Dan mereka pun berkumpul kepadanya dan berkata, "Keselamatan, keselamatan" karena Allah menimpakan ketakutan ke dalam hati mereka.
Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan (al-Ahzab:9). Al-Allamah bin Katsir berkata, "Allah SWT berfirman memberitahukan nikmat, keutamaan, dan kebaikan-Nya yang telah dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dalam menghadapi dan mengalahkan musuh-musuhnya pada saat mereka terkepung.
Hal itu terjadi pada tahun Khandaq, bulan Syawal tahun kelima Hijriah dalam pendapat yang sahih dan masyur."Musa bin Aqabah dan lain-lainnya berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun keempat Hijriah.
Adapun yang menjadi menjadi sebab pengepungan tersebut adalah bahwa seorang pemuka Yahudi banin Nadhir yang telah diusir Rasulullah saw. dari kota Madinah ke Khaibar, di dalamnya termasuk Salam bin Abi al-Haqiq, Salam bin Masykam dan Khanah ibnar Rabi', keluar menuju kota Mekah. Mereka berkumpul dengan para pemuka Quraisy dan membujuk mereka untuk memerangi Rasulullah saw. dan menjanjikan kemenangan serta bantuan dari kelompok mereka sendiri. Kaum Quraisy menyetujui usulan mereka dan bersama-sama keluar untuk mengajak kaum Ghathfan bergabung.
Mereka juga menyepakati usulan tersebut. Setelah itu, kaum Quraisy keluar bersama para sekutunya dibawah pimpinan Abu Sufyan Shakhar bin Harb, dan kaum Ghathfan dibawah pimpinan Uyainah bin Hushun bin Badar dengan kekuatan sebesar sepuluh ribu orang.Begitu Rasulullah saw. mendengar bergeraknya mereka untuk melakukan penyerangan, beliau segera memerintahkan kaum muslimin untuk menggali khandaq (lubang) di sekitar kota Madinah yang berhadapan ke timur kota. Hal itu beliau lakukan atas saran Salmah al-Farisi r.a. Dengan penuh ketekunan kaum muslimin bersama Rasulullah saw. bekerja keras menggali dan memindahkan tanah serta batu-batu.
Beberapa waktu kemudian, kaum musyrikin datang membuat kamp di sebelah timur kota di dekat Uhud. Lalu salah satu kelompok dari mereka turun ke dataran tinggi kota Madinah, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an, "(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan bawahmu." (al-Ahzab:10) Rasulullah saw. keluar bersama kaum muslimin yang berkekuatan sekitar 3000 orang, ada yang mengatakan 700 orang.
Mereka menyandarkan punggung masing-masing ke bongkahan batu/tanah. Sementara, wajah mereka menghadap ke arah datangnya musuh. Sedangkan khandaq di depan mereka tidak lebih dari sebuah lubang tanpa air yang memisahkan antara mereka dan menghalangi pasukan berkuda dan pejalan kaki untuk sampai kepada mereka, serta menempatkan kaum wanita dan anak-anak di dalam benteng kota.Bani Quraizhah adalah salah satu kelompok Yahudi yang memiliki benteng di sebelah timur kota Madinah dan terikat perjanjian serta jaminan dengan Rasulullah saw.
Jumlah kekuatan mereka sekitar 800 laskar. Lalu Huyai bin Akhthab an-Nadhari pergi menemui mereka dan membujuknya untuk bersama-sama menyerang Rasulullah saw. Ia tidak beranjak dari sana hingga mereka mengkhianati perjanjian yang dibuatnya dan bergabung mengepung Rasulullah saw. dan kaum muslimin.
Kini urusannya semakin besar, persoalan semakin rumit, dan keadaan semakin kritis, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an, "Di situlah diuji orang-orang mukmin, dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat dasyat." (al-Ahzab:11) Mereka tetap tinggal di sana melindungi Rasulullah saw. dan para sahabatnya selama hampir satu bulan. Hanya saja kaum musyrikin belum sampai kepada mereka dan tidak terjadi pertempuran antara mereka.Lalu Amrun bin Abdi Wuddin al-'Amri salah seorang pasukan berkuda dan pahlawan pemberani yang tersohor pada zaman jahiliah, bersama beberapa orang prajurit berkuda melintasi khandaq dan berhasil menuju ke arah kaum muslimin. Rasulullah saw. segera memerintahkan beberapa prajurit berkuda untuk menghadapinya. Namun, tidak ada seorangpun yang menuruti perintahnya. Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib r.a. yang segera keluar menghadapinya.
Untuk beberapa saat keduanya bertempur hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib berhasil membunuhnya. Dan ini adalah pertanda kemenangan. Lalu Allah mengirimkan angin topan yang berhembus sangat dasyat ke arah para pengepung hingga tidak ada sebuah tenda pun yang tersisa dan tanpa nyala api.
Akhirnya, mereka semua lari meninggalkan ketakutan dan menderita kerugian, sebagaiman firman Allah SWT. "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan." (al-Ahzab:9)
Firman Allah SWT, "Wa junuudun lam tarauhaa," menurut Ibnu Katsir adalah para malaikat yang membuat mereka (kaum musyrikin) terguncang dan menyusupkan rasa kaget dan takut ke dalam hati mereka. Pada saat itu, setiap kepala kabilah berkata, "Wahai bani Fulan kemarilah kepadaku." Dan mereka pun berkumpul kepadanya dan berkata, "Keselamatan, keselamatan" karena Allah menimpakan ketakutan ke dalam hati mereka.
DZIKIRNYA ALAM SEMESTA
Apakah alam juga berdzikir..?
Bagian ini adalah rangkaian dari cerita sebelumnya. Saat itu, setelah aku sampai di masjid, kebetulan aku berpisah dengan pak Hadi. Hal itu disebabkan karena saat itu jama'ah sudah berjubel banyak sekali. Kamipun mencari tempat sendiri sendiri, sehingga kami terpisah.
Para jama'ah yang berjubel itu, berebut memenuhi shaf-shaf depan. Sehingga aku mendapatkan shaf di belakang. Hampir di shaf yang paling akhir.
Ketika aku melakukan shalat sunah, tiba-tiba di sebelah kananku datang seorang jama'ah pakai baju gamis putih-putih, berjenggot panjang menjuntai ke bawah sampai ke dada. Matanya bening, mulutnya selalu senyum.
Begitu aku selesai shalat, ia mengambil minyak wangi dari dalam bajunya, dan minyak itu dioleskan ke tanganku, dan juga ke bajuku. Ia memberi isyarat agar aku mengoleskan dan meratakan minyak darinya itu ke seluruh tubuhku. Dan kemudian ia menyelinap di antara ribuan jamaah lainnya. Lalu pergi entah kemana. Ah, seorang yang aneh! pikirku.
Harumnya minyak wangi itu begitu aneh bagiku. Bau yang lembut, tetapi terus merasuk ke nafasku yang mengakibatkan rongga dadaku menjadi nyaman dan lapang. Satu hal lagi, bahwa wajah orang itu begitu akrab dalam benakku. Aku tidak merasa asing dengan wajah itu. Tetapi aku lupa di mana aku pernah bertemu dengan wajah itu...
Shalat dhuhur rupanya masih lama, maka aku pun kembali berdzikir sambil menunggu waktu shalat tiba. Ketika aku tenggelam dalam dzikirku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara lamat-lamat dari kejauhan, yang bertambah lama terasa bertambah dekat. Bahkan begitu jelasnya suara itu di telingaku.
Suara itu ritmenya begitu luar biasa indahnya. Datang bergelombang dengan lembut tetapi jelas. Asal suara itu datang dari atas. Setelah itu datang dari berbagai penjuru. Dari samping kiriku, dari samping kananku, bahkan dari sekelilingku. Aku terbengong sendiri.
Asalnya aku mengira ada jama'ah khusus di masjid itu yang berdzikir secara serempak bersama-sama. Tetapi anggapanku salah. Karena semua orang, semua jama'ah melakukan aktivitas sendiri-sendiri...
Suara itu semakin lama semakin menyejukkan hati. Dada menjadi lapang, hati menjadi tentram dan tenang. Bahkan pikiran menjadi jernih.
Aku berusaha mengikuti irama indah dan agung itu. Tetapi setiap ku ikuti, suara itu tiba-tiba berhenti. Sepertinya ia mengetahui kalau ada orang yang mengikutinya. Ketika aku terdiam. Suara itu kembali muncul dan terdengar di telingaku. Begitu jelasnya dan begitu agungnya. Begitu aku akan mengikutinya ia mendadak berhenti lagi. Dan yang terdengar adalah suara berisiknya para jama'ah yang melakukan aktivitasnya masing-masing. Dan aku pun semakin heran dibuatnya.
Tetap ada satu pertanyaan yang mengusik dalam hatiku. Suara siapakah itu? Dari mana datangnya?
Ketika aku berusaha mencari jawabnya, tiba-tiba terdengar suara iqamah dari bilal sebagai pertanda waktu shalat akan dimulai. Dan aku pun melakukan shalat dhuhur bersama para jama'ah lainnya.
Sesampai di maktab, aku terus berusaha mencari jawabnya. Suara apakah itu, bergemuruh, datang dari jauh, tambah lama tambah dekat dan membentuk suatu ritme yang mempesona. Indah, agung, mesra, dan membentuk harmoni yang luar biasa...
Begitu penasarannya aku. Maka pada malam itu juga kutulis kejadian itu di dalam buku harianku. Buku yang selalu kubawa kemana saja aku pergi.
Hari ke dua, dari terjadinya peristiwa itu, aku kembali ke masjid pada jam yang sama. Dan aku menempati shaf agak depan dibanding shaf di hari sebelumnya. Seperti biasanya, sebelum waktu shalat dhuhur tiba, setelah aku lakukan shalat sunah, aku melakukan aktivitas dzikir untuk lebih menghayati dan lebih mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi.
Saat-saat aku melakukan dzikir itu, tiba-tiba aku tersentak! Dan bulu kudukku merinding.... Ah, ternyata suara itu terdengar kembali di telingaku. Asalnya lamat-lamat. Tetapi tambah lama bertambah jelas. Dan semakin dekat. Begitu dekatnya suara itu. Sampai aku tidak tahu dari mana datangnya. Telingaku kututup dengan tanganku, suara itu semakin jelas. Telingaku kutempelkan di lantai, di sajadahku, suara itu pun sangat jelas. Aku mendongak ke atas, suara itu pun terdengar begitu jelas bahkan seolah memenuhi atap masjid Nabawi.
Aku berusaha menenangkan diri. Setelah aku tenang, aku mencoba mengikuti suara itu dengan hatiku. Ah! Ternyata suara itu berhenti dan hilang lagi.... Aku pun meratap..." Ya Allah, apa yang terjadi dengan diriku...?" Suara apakah itu? Siapakah yang bersuara itu...
Akhirnya aku pun pulang kembali ke hotel, tanpa mendapatkan jawaban yang pasti, tentang suara misterius tadi. Berikutnya, hari itu merupakan hari yang ke tiga, sejak terjadinya peristiwa itu. Aku kembali ke masjid untuk berjama'ah shalat dhuhur. Saat itu aku mendapatkan shaf di bagian tengah. Tempatnya sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya.
Setelah shalat sunah, seperti biasanya aku melakukan aktivitas dzikir. Dalam hati aku bertanya dan juga berharap, apakah akan muncul lagi suara itu? ternyata lama aku tunggu, suara itu tidak muncul lagi. Maka aku pun melupakan kejadian itu.
Selanjutnya aku melakukan shalat sunah lagi. Begitu selesai mengucap salam yang ke dua sebagai penutup shalatku, tiba-tiba hatiku berdegup kencang. Bulu kudukku merinding lagi... Akh, suara itu terdengar lagi. Kini bertambah jelas, bertambah dekat, dan semakin indah iramanya... Aku pun terbuai dibuatnya.
Dengan perasaan agak takut, aku mencoba mengikuti kalimat itu. Hatiku mulai mengikutinya, Setelah itu bibirku mencoba mengikutinya, Ah! sungguh agung, sungguh menyejukkan... dan sungguh mempesona.
Dan di hari yang ke tiga itu, aku ternyata bisa mengikuti kalimat indah itu...subhaanallaah... Bibirku mulai bergerak mengikuti suara itu. Suara gemuruh dari berjuta-juta suara, yang membentuk harmoni luar biasa.
Suara itu, kalimat agung itu berbunyi :
"..laa ilaaha illallaah,... laa ilaaha illallaah,... laa ilaaha illallaah..."
Aku pun tenggelam dalam alunan dzikir yang luar biasa indahnya itu. Entah sampai berapa puluh kali atau bahkan berapa ratus kali aku mengikuti dzikir indah itu aku tidak tahu.... Sampai akhirnya aku dikejutkan oleh suara iqamah bilal.
Aku mulai menyusun shaf untuk shalat berjama'ah, bersama-sama para jama'ah lainnya untuk melakukan shalat dhuhur...
Sesaat sebelum aku shalat dhuhur, tiba-tiba pikiranku melayang kepada kehadiran seorang jama'ah yang pernah shalat di sebelahku yang
memberi minyak wangi di sekujur tubuhku dua hari sebelumnya itu. Pandangan matanya, senyumnya, masih begitu kuat tertanam dalam hatiku.
Apakah peristiwa yang barusan aku alami selama tiga hari berturut-turut itu ada hubungannya dengan orang tersebut?
Atau juga masih berhubungan dengan pengalamanku ketika pergi ke masjid, dimana saat itu setiap langkah kakiku aku gunakan untuk berdzikir? ..wallahu a’lam!
Sungguh aku masih bingung...
Aku pun berusaha untuk melupakan peristiwa itu, karena imam shalat sudah terdengar mengucapkan takbiratul ihram... Allaahu akbar! Kami semua mengikutinya untuk melakukan shalat berjama'ah.
Setelah usai shalat dhuhur, aku baru menyadari bahwa hari itu adalah hari terakhirku di kota Madinah. Dan saat itu merupakan shalat dhuhur terakhir kami di masjid Nabawi, sebelum menuju Mekah Al-Mukaromah.
Sesampai di maktab, kembali kubuka buku catatanku. Ku tulis ulang lanjutan pengalaman aneh, indah, dan mempesona yang terjadi selama tiga kali di masjid Rasulullah saw itu.
Aku tetap masih merasa heran, dan merasa aneh! Siapakah yang berdzikir itu? Ribuan malaikat? Jutaan partikel yang ada di udara? Atau milyaran bio-elektron yang ada di seluruh penjuru dunia ini? Ataukah suara dzikirnya orang-orang shalih terdahulu yang terekam oleh alam, kemudian pada saat itu terdengar olehku, sampai sebanyak tiga kali?
Aku tidak berani mengambil kesimpulan apapun....
Yang jelas, yang terdengar oleh telinga lahirku dan oleh telinga bathinku saat itu adalah kalimat indah: " ...laa ilaaha illallaah... " berulang kali. Bergemuruh, tetapi tidak memekakkan telinga. Bergemuruh, tetapi mendatangkan rasa nyaman di dada. Rasanya baru kali itu aku mendengar dan menyaksikan suatu harmonisasi dari jutaan warna suara yang berbeda, yang menyatu membentuk konfigurasi yang luar biasa indahnya.....
Dan akupun teringat sabda rasulullah saw :
“Seutama-utama dzikir ialah : Laa ilaaha illallaah”
(HR. Attirmidzi, Annasa'i, Ibn Majah, Ibn Hibban)
Rupanya inilah puncak dzikir. Pelajaran terindah bagi seluruh makhluk ciptaan Allah. Semua bertasbih! Seluruh alam berdzikir, untuk mentauhidkan Allah saja...
QS. Al-Hasyr (59) : 24
Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana...
QS. Al Israa' (17) : 44
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Firliana Putri)
Bagian ini adalah rangkaian dari cerita sebelumnya. Saat itu, setelah aku sampai di masjid, kebetulan aku berpisah dengan pak Hadi. Hal itu disebabkan karena saat itu jama'ah sudah berjubel banyak sekali. Kamipun mencari tempat sendiri sendiri, sehingga kami terpisah.
Para jama'ah yang berjubel itu, berebut memenuhi shaf-shaf depan. Sehingga aku mendapatkan shaf di belakang. Hampir di shaf yang paling akhir.
Ketika aku melakukan shalat sunah, tiba-tiba di sebelah kananku datang seorang jama'ah pakai baju gamis putih-putih, berjenggot panjang menjuntai ke bawah sampai ke dada. Matanya bening, mulutnya selalu senyum.
Begitu aku selesai shalat, ia mengambil minyak wangi dari dalam bajunya, dan minyak itu dioleskan ke tanganku, dan juga ke bajuku. Ia memberi isyarat agar aku mengoleskan dan meratakan minyak darinya itu ke seluruh tubuhku. Dan kemudian ia menyelinap di antara ribuan jamaah lainnya. Lalu pergi entah kemana. Ah, seorang yang aneh! pikirku.
Harumnya minyak wangi itu begitu aneh bagiku. Bau yang lembut, tetapi terus merasuk ke nafasku yang mengakibatkan rongga dadaku menjadi nyaman dan lapang. Satu hal lagi, bahwa wajah orang itu begitu akrab dalam benakku. Aku tidak merasa asing dengan wajah itu. Tetapi aku lupa di mana aku pernah bertemu dengan wajah itu...
Shalat dhuhur rupanya masih lama, maka aku pun kembali berdzikir sambil menunggu waktu shalat tiba. Ketika aku tenggelam dalam dzikirku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara lamat-lamat dari kejauhan, yang bertambah lama terasa bertambah dekat. Bahkan begitu jelasnya suara itu di telingaku.
Suara itu ritmenya begitu luar biasa indahnya. Datang bergelombang dengan lembut tetapi jelas. Asal suara itu datang dari atas. Setelah itu datang dari berbagai penjuru. Dari samping kiriku, dari samping kananku, bahkan dari sekelilingku. Aku terbengong sendiri.
Asalnya aku mengira ada jama'ah khusus di masjid itu yang berdzikir secara serempak bersama-sama. Tetapi anggapanku salah. Karena semua orang, semua jama'ah melakukan aktivitas sendiri-sendiri...
Suara itu semakin lama semakin menyejukkan hati. Dada menjadi lapang, hati menjadi tentram dan tenang. Bahkan pikiran menjadi jernih.
Aku berusaha mengikuti irama indah dan agung itu. Tetapi setiap ku ikuti, suara itu tiba-tiba berhenti. Sepertinya ia mengetahui kalau ada orang yang mengikutinya. Ketika aku terdiam. Suara itu kembali muncul dan terdengar di telingaku. Begitu jelasnya dan begitu agungnya. Begitu aku akan mengikutinya ia mendadak berhenti lagi. Dan yang terdengar adalah suara berisiknya para jama'ah yang melakukan aktivitasnya masing-masing. Dan aku pun semakin heran dibuatnya.
Tetap ada satu pertanyaan yang mengusik dalam hatiku. Suara siapakah itu? Dari mana datangnya?
Ketika aku berusaha mencari jawabnya, tiba-tiba terdengar suara iqamah dari bilal sebagai pertanda waktu shalat akan dimulai. Dan aku pun melakukan shalat dhuhur bersama para jama'ah lainnya.
Sesampai di maktab, aku terus berusaha mencari jawabnya. Suara apakah itu, bergemuruh, datang dari jauh, tambah lama tambah dekat dan membentuk suatu ritme yang mempesona. Indah, agung, mesra, dan membentuk harmoni yang luar biasa...
Begitu penasarannya aku. Maka pada malam itu juga kutulis kejadian itu di dalam buku harianku. Buku yang selalu kubawa kemana saja aku pergi.
Hari ke dua, dari terjadinya peristiwa itu, aku kembali ke masjid pada jam yang sama. Dan aku menempati shaf agak depan dibanding shaf di hari sebelumnya. Seperti biasanya, sebelum waktu shalat dhuhur tiba, setelah aku lakukan shalat sunah, aku melakukan aktivitas dzikir untuk lebih menghayati dan lebih mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi.
Saat-saat aku melakukan dzikir itu, tiba-tiba aku tersentak! Dan bulu kudukku merinding.... Ah, ternyata suara itu terdengar kembali di telingaku. Asalnya lamat-lamat. Tetapi tambah lama bertambah jelas. Dan semakin dekat. Begitu dekatnya suara itu. Sampai aku tidak tahu dari mana datangnya. Telingaku kututup dengan tanganku, suara itu semakin jelas. Telingaku kutempelkan di lantai, di sajadahku, suara itu pun sangat jelas. Aku mendongak ke atas, suara itu pun terdengar begitu jelas bahkan seolah memenuhi atap masjid Nabawi.
Aku berusaha menenangkan diri. Setelah aku tenang, aku mencoba mengikuti suara itu dengan hatiku. Ah! Ternyata suara itu berhenti dan hilang lagi.... Aku pun meratap..." Ya Allah, apa yang terjadi dengan diriku...?" Suara apakah itu? Siapakah yang bersuara itu...
Akhirnya aku pun pulang kembali ke hotel, tanpa mendapatkan jawaban yang pasti, tentang suara misterius tadi. Berikutnya, hari itu merupakan hari yang ke tiga, sejak terjadinya peristiwa itu. Aku kembali ke masjid untuk berjama'ah shalat dhuhur. Saat itu aku mendapatkan shaf di bagian tengah. Tempatnya sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya.
Setelah shalat sunah, seperti biasanya aku melakukan aktivitas dzikir. Dalam hati aku bertanya dan juga berharap, apakah akan muncul lagi suara itu? ternyata lama aku tunggu, suara itu tidak muncul lagi. Maka aku pun melupakan kejadian itu.
Selanjutnya aku melakukan shalat sunah lagi. Begitu selesai mengucap salam yang ke dua sebagai penutup shalatku, tiba-tiba hatiku berdegup kencang. Bulu kudukku merinding lagi... Akh, suara itu terdengar lagi. Kini bertambah jelas, bertambah dekat, dan semakin indah iramanya... Aku pun terbuai dibuatnya.
Dengan perasaan agak takut, aku mencoba mengikuti kalimat itu. Hatiku mulai mengikutinya, Setelah itu bibirku mencoba mengikutinya, Ah! sungguh agung, sungguh menyejukkan... dan sungguh mempesona.
Dan di hari yang ke tiga itu, aku ternyata bisa mengikuti kalimat indah itu...subhaanallaah... Bibirku mulai bergerak mengikuti suara itu. Suara gemuruh dari berjuta-juta suara, yang membentuk harmoni luar biasa.
Suara itu, kalimat agung itu berbunyi :
"..laa ilaaha illallaah,... laa ilaaha illallaah,... laa ilaaha illallaah..."
Aku pun tenggelam dalam alunan dzikir yang luar biasa indahnya itu. Entah sampai berapa puluh kali atau bahkan berapa ratus kali aku mengikuti dzikir indah itu aku tidak tahu.... Sampai akhirnya aku dikejutkan oleh suara iqamah bilal.
Aku mulai menyusun shaf untuk shalat berjama'ah, bersama-sama para jama'ah lainnya untuk melakukan shalat dhuhur...
Sesaat sebelum aku shalat dhuhur, tiba-tiba pikiranku melayang kepada kehadiran seorang jama'ah yang pernah shalat di sebelahku yang
memberi minyak wangi di sekujur tubuhku dua hari sebelumnya itu. Pandangan matanya, senyumnya, masih begitu kuat tertanam dalam hatiku.
Apakah peristiwa yang barusan aku alami selama tiga hari berturut-turut itu ada hubungannya dengan orang tersebut?
Atau juga masih berhubungan dengan pengalamanku ketika pergi ke masjid, dimana saat itu setiap langkah kakiku aku gunakan untuk berdzikir? ..wallahu a’lam!
Sungguh aku masih bingung...
Aku pun berusaha untuk melupakan peristiwa itu, karena imam shalat sudah terdengar mengucapkan takbiratul ihram... Allaahu akbar! Kami semua mengikutinya untuk melakukan shalat berjama'ah.
Setelah usai shalat dhuhur, aku baru menyadari bahwa hari itu adalah hari terakhirku di kota Madinah. Dan saat itu merupakan shalat dhuhur terakhir kami di masjid Nabawi, sebelum menuju Mekah Al-Mukaromah.
Sesampai di maktab, kembali kubuka buku catatanku. Ku tulis ulang lanjutan pengalaman aneh, indah, dan mempesona yang terjadi selama tiga kali di masjid Rasulullah saw itu.
Aku tetap masih merasa heran, dan merasa aneh! Siapakah yang berdzikir itu? Ribuan malaikat? Jutaan partikel yang ada di udara? Atau milyaran bio-elektron yang ada di seluruh penjuru dunia ini? Ataukah suara dzikirnya orang-orang shalih terdahulu yang terekam oleh alam, kemudian pada saat itu terdengar olehku, sampai sebanyak tiga kali?
Aku tidak berani mengambil kesimpulan apapun....
Yang jelas, yang terdengar oleh telinga lahirku dan oleh telinga bathinku saat itu adalah kalimat indah: " ...laa ilaaha illallaah... " berulang kali. Bergemuruh, tetapi tidak memekakkan telinga. Bergemuruh, tetapi mendatangkan rasa nyaman di dada. Rasanya baru kali itu aku mendengar dan menyaksikan suatu harmonisasi dari jutaan warna suara yang berbeda, yang menyatu membentuk konfigurasi yang luar biasa indahnya.....
Dan akupun teringat sabda rasulullah saw :
“Seutama-utama dzikir ialah : Laa ilaaha illallaah”
(HR. Attirmidzi, Annasa'i, Ibn Majah, Ibn Hibban)
Rupanya inilah puncak dzikir. Pelajaran terindah bagi seluruh makhluk ciptaan Allah. Semua bertasbih! Seluruh alam berdzikir, untuk mentauhidkan Allah saja...
QS. Al-Hasyr (59) : 24
Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana...
QS. Al Israa' (17) : 44
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Firliana Putri)
AHLI SURGA
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, dia berkata, "Aku sedang berada di masjid. Tiba-tiba datanglah seorang yang di wajahnya ada tanda kekusyukan. Dia shalat dua rakaat secara singkat. Orang-orang berkata, 'Orang ini ahli surga.'
Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk kerumahnya. Kami bercakap-cakap, dan setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk mesjid, orang-orang mengatakan bahwa engkau ahli surga.' Dia menanggapi, 'Mahasuci Allah. Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya.
Saya akan bercerita kepadamu mengapa saya demikian. Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan hijau.'" Ibnu Aun berkata: "Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman.'Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali.
Tiba-tiba dikatakan kepadaku, 'Naiklah!'
Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.'
Kemudian datanglah pelayan.'
" Ibnu Aun berkata, "Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, 'Naiklah!' Maka akupun naik hingga berhasil memegang tali.
Dia berkata, 'Peganglah tali itu.' Maka aku terbangun dan tali itu benar-benar ada ditanganku.
Kemudian aku menemui Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan senantiasa memeluk Islam hingga mati.'"
Hadist ini dikemukakan dalam shahihain. Orang itu adalah Abdullah bin Salam r.a.
Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk kerumahnya. Kami bercakap-cakap, dan setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk mesjid, orang-orang mengatakan bahwa engkau ahli surga.' Dia menanggapi, 'Mahasuci Allah. Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya.
Saya akan bercerita kepadamu mengapa saya demikian. Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan hijau.'" Ibnu Aun berkata: "Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman.'Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali.
Tiba-tiba dikatakan kepadaku, 'Naiklah!'
Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.'
Kemudian datanglah pelayan.'
" Ibnu Aun berkata, "Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, 'Naiklah!' Maka akupun naik hingga berhasil memegang tali.
Dia berkata, 'Peganglah tali itu.' Maka aku terbangun dan tali itu benar-benar ada ditanganku.
Kemudian aku menemui Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan senantiasa memeluk Islam hingga mati.'"
Hadist ini dikemukakan dalam shahihain. Orang itu adalah Abdullah bin Salam r.a.
SEDEKAH
Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seseorang berkata, 'Sungguh saya akan menyedekahkan sesuatu pada malam ini.' Kemudian dia memberikan sesuatu itu pada tangan seorang pezina. Keesokan harinya orang-orang menceritakan bahwa dia bersedekah kepada seorang pezina.
Orang itu berkata, 'Ya Allah, segala puji kepunyaan Engkau yang telah menetapkan sedekahku bagi pelacur. Sungguh saya akan bersedekah lagi pada malam ini.' Kemudian dia meletakkan di tangan orang kaya.
Keesokan harinya orang-orang membicarakan bahwa pada malam itu dia bersedekah kepada orang kaya. Maka dia berkata, 'Ya Allah, kepunyaan Engkaulah segala puji yang telah menetapkanku bersedekah pada orang kaya. Sungguh, saya akan bersedekah lagi pada malam ini.'
Kemudian, dia pergi dan menyimpan sedekah ditangan pencuri. Maka dia berkata, 'Ya Allah, kepunyaan Engkaulah segala puji yang telah menetapkanku sedekah bagi pezina, orang kaya dan pencuri.'
Kemudian orang itu didatangi oleh seseorang seraya berkata kepadanya, 'Sedekahmu sudah diterima. Adapun sedekah yang sampai ke tangan pelacur, mudah-mudahan saja dia berhenti dari melacur; yang sampai orang kaya, mudah-mudahan saja dia mengambil pelajaran dan mau menginfakkan sebagian harta yang telah diberikan Allah kepadanya; dan yang sampai ke pencuri, mudah-mudahan saja menghentikan perbuatan mencurinya."
Orang itu berkata, 'Ya Allah, segala puji kepunyaan Engkau yang telah menetapkan sedekahku bagi pelacur. Sungguh saya akan bersedekah lagi pada malam ini.' Kemudian dia meletakkan di tangan orang kaya.
Keesokan harinya orang-orang membicarakan bahwa pada malam itu dia bersedekah kepada orang kaya. Maka dia berkata, 'Ya Allah, kepunyaan Engkaulah segala puji yang telah menetapkanku bersedekah pada orang kaya. Sungguh, saya akan bersedekah lagi pada malam ini.'
Kemudian, dia pergi dan menyimpan sedekah ditangan pencuri. Maka dia berkata, 'Ya Allah, kepunyaan Engkaulah segala puji yang telah menetapkanku sedekah bagi pezina, orang kaya dan pencuri.'
Kemudian orang itu didatangi oleh seseorang seraya berkata kepadanya, 'Sedekahmu sudah diterima. Adapun sedekah yang sampai ke tangan pelacur, mudah-mudahan saja dia berhenti dari melacur; yang sampai orang kaya, mudah-mudahan saja dia mengambil pelajaran dan mau menginfakkan sebagian harta yang telah diberikan Allah kepadanya; dan yang sampai ke pencuri, mudah-mudahan saja menghentikan perbuatan mencurinya."
UMMU SULAIM PERISAI RASULULLAH
Ketika pulang dari perjalanan dari Syam (Syria), Malik menjumpai Ummu Sulaim binti Milhan isterinya telah masuk Islam. Tentu saja dia marah. "Apakah kau sudah berpindah agama?" tanya Malik.
"Tidak, aku tidak berpindah agama. Tetapi aku percaya dengan anak laki-laki ini" jawab isterinya.
Yang dimaksud anak laki-laki itu adalah Anas bin Malik Al Anshary, yang lahir di Madinah pada tahun ke-10 sebelum Hijriyah.Mendengar isterinya mengajarkan syahadat kepada anak lelakinya, Malik yang kafir itu semakin emosi.
Dengan muka merah padam dia membentak isterinya."Jangan kau rusak anakku ini!""Aku tidak merusaknya" jawab isterinya.
Selang beberapa hari, Malik pergi lagi ke Syam. Di sana dia dihadang musuh-musuhnya hingga akhirnya tewas terbunuh. Sejak itu Ummu Sulaim berikrar, "Aku tidak akan menceraikan Anas dari menyusui hingga ia meninggalkannya sendiri. Dan aku tidak akan kawin lagi sebelum dia dapat duduk dan dapat menyuruh aku." katanya.Menanggapi tekad ibunya, Anas selalu berdoa kepada Allah agar berkenan membalas jasa dan amal ibunya.
Sebagai seorang janda, Ummu Sulaim cukup teguh pada pendiriannya. Ketika seorang lelaki, Abu Talkhah datang meminangnya, dia menolaknya. Tekadnya, dia harus berhasil menaklukkan calon suaminya dari musyrik menjadi muslim."Abu Talkhah, Allah mengetahui bahwa aku sungguh cinta kepadamu, namun sayang sekali kau masih kafir, sedang aku ini muslimah. Jika kamu mau memeluk Islam, aku tidak keberatan menerima lamaranmu. Aku tidak akan menuntut emas kawin kecuali keislamanmu itu, tiada yang lain." Katanya.Dengan perasaan malu dan kecewa, Abu
Talkhah meninggalkan Ummu Sulaim karena keberatan masuk Islam. Tetapi karena dia sudah terlanjur cinta, pada kesempatan lain dia datang kembali, namun Ummu Sulaim tetap pantang menyerah.
"Abu Talkhah, apakah anda tidak malu menyembah kayu?" katanya.
Mendengar ucapan itu, Abu Talkhah menjadi sadar dan insaf serta berikrar memeluk Islam seraya mengikrarkan syahadatain.
Mendengar ucapan itu, Ummu Sulaim segera memanggil Anas anaknya. "Wahai Anas, kawinkan Abu Talkhah ini"
Demikianlah, berkat kebijaksanaan Ummu Sulaim, Abu Talkhah memeluk Islam. Bahkan akhirnya di kenal sebagai pembantu dan pendukung Rasulullah yang gagah berani dalam jihad fi sabilillah serta ikut menghadiri bai'at Aqabah.Ummu Sulaim sendiri dikenal sebagai wanita yang ikut terjun langsung dalam berbagai pertempuran bersama Rasulullah. Dialah yang memberi pertolongan kepada para prajurit muslim dengan memberi makanan dan minuman, serta merawat mereka yang terluka. Bahkan bersama Abu Talkhah suaminya, ibu ini pernah bertempur langsung merebut senjata musuh untuk membentengi Rasulullah.
"Tidak, aku tidak berpindah agama. Tetapi aku percaya dengan anak laki-laki ini" jawab isterinya.
Yang dimaksud anak laki-laki itu adalah Anas bin Malik Al Anshary, yang lahir di Madinah pada tahun ke-10 sebelum Hijriyah.Mendengar isterinya mengajarkan syahadat kepada anak lelakinya, Malik yang kafir itu semakin emosi.
Dengan muka merah padam dia membentak isterinya."Jangan kau rusak anakku ini!""Aku tidak merusaknya" jawab isterinya.
Selang beberapa hari, Malik pergi lagi ke Syam. Di sana dia dihadang musuh-musuhnya hingga akhirnya tewas terbunuh. Sejak itu Ummu Sulaim berikrar, "Aku tidak akan menceraikan Anas dari menyusui hingga ia meninggalkannya sendiri. Dan aku tidak akan kawin lagi sebelum dia dapat duduk dan dapat menyuruh aku." katanya.Menanggapi tekad ibunya, Anas selalu berdoa kepada Allah agar berkenan membalas jasa dan amal ibunya.
Sebagai seorang janda, Ummu Sulaim cukup teguh pada pendiriannya. Ketika seorang lelaki, Abu Talkhah datang meminangnya, dia menolaknya. Tekadnya, dia harus berhasil menaklukkan calon suaminya dari musyrik menjadi muslim."Abu Talkhah, Allah mengetahui bahwa aku sungguh cinta kepadamu, namun sayang sekali kau masih kafir, sedang aku ini muslimah. Jika kamu mau memeluk Islam, aku tidak keberatan menerima lamaranmu. Aku tidak akan menuntut emas kawin kecuali keislamanmu itu, tiada yang lain." Katanya.Dengan perasaan malu dan kecewa, Abu
Talkhah meninggalkan Ummu Sulaim karena keberatan masuk Islam. Tetapi karena dia sudah terlanjur cinta, pada kesempatan lain dia datang kembali, namun Ummu Sulaim tetap pantang menyerah.
"Abu Talkhah, apakah anda tidak malu menyembah kayu?" katanya.
Mendengar ucapan itu, Abu Talkhah menjadi sadar dan insaf serta berikrar memeluk Islam seraya mengikrarkan syahadatain.
Mendengar ucapan itu, Ummu Sulaim segera memanggil Anas anaknya. "Wahai Anas, kawinkan Abu Talkhah ini"
Demikianlah, berkat kebijaksanaan Ummu Sulaim, Abu Talkhah memeluk Islam. Bahkan akhirnya di kenal sebagai pembantu dan pendukung Rasulullah yang gagah berani dalam jihad fi sabilillah serta ikut menghadiri bai'at Aqabah.Ummu Sulaim sendiri dikenal sebagai wanita yang ikut terjun langsung dalam berbagai pertempuran bersama Rasulullah. Dialah yang memberi pertolongan kepada para prajurit muslim dengan memberi makanan dan minuman, serta merawat mereka yang terluka. Bahkan bersama Abu Talkhah suaminya, ibu ini pernah bertempur langsung merebut senjata musuh untuk membentengi Rasulullah.
KETABAHAN BUDAK ZUNAIRAH
Satu diantara budak muslim adalah Zunairah, budak Abu Jahl. Karena keyakinannya itulah dia diinterogasi Abu Jahl.
"Benarkah kamu telah menganut agama Islam?" tanya Abu Jahl.
"Benar. Aku percaya pada seruan Muhammad, karena itu aku mengikutinya." Jawab Zunairah.
Untuk menggoyahkan keyakinan budaknya, Abu Jahl bertanya pada kawan-kawannya."Hai kawan-kawan, apakah kalian juga mengikuti seruan Muhammad?"
"Tidaaak," jawab mereka serempak.
"Nah, sekira apa yang dibawa Muhammad itu baik, tentu mereka akan lebih dulu mengikutinya" kata Abu Jahl melecehkan budaknya.
Maka dipukullah Zunairah itu secara keji hingga matanya luka parah dan akhirnya menjadi buta. Melihat mata budaknya menjadi buta, Abu Jahl membujuknya.
"Matamu menjadi buta itu akibat kau masuk Islam. Coba kau tinggalkan agama Muhammad itu, matamu akan sembuh kembali," katanya.
Betapa sakit hati Zunairah mendengar olok-olokan itu."Kalian semua adalah pembohong, tak bermoral. Lata dan Uzza yang kalian sembah itu tak akan bisa berbuat apa-apa. Apalagi memberi manfaat dan madlarat," katanya.Mendengar itu,
Abu Jahl semakin naik pitam. Maka dipukullah budak itu sekeras-kerasnya dan berkata, "Wahai Zunairah. Ingatlah kepada Lata dan Uzza. Itu berhala sembahan kita sejak nenek moyang kita. Tak takutkah jika mereka nanti murka kepadamu? Tinggalkan segera agama Muhammad yang melecehkan kita." Kata Abu Jahl.
"Wahai Abu Jahl. Sebenarnya Latta dan Uzza itu buta. Lebih buta daripada mataku yang buta akibat siksaanmu ini. Meski mataku buta, Allah tak akan sulit mengembalikannya menjadi terang, tidak seperti tuhanmu Latta dan Uzza itu" kata Zunairah.Berkat kekuasaan Allah.
Esoknya mata Zunairah yang buta akibat siksaan Abu Jahl itu kembali sembuh sperti sedia kala. Abu Jahl yang menyaksikannya menjadi terheran-heran. Namun dasar orang tak beriman, dia malah berkata "Ini pasti karena sihir Muhammad" katanya sembari kembali menyiksa budaknya. Untunglah datang Abu Bakar yang lalu memerdekakan Zunairah setelah memberi tebusan kepada Abu Jahl.
"Benarkah kamu telah menganut agama Islam?" tanya Abu Jahl.
"Benar. Aku percaya pada seruan Muhammad, karena itu aku mengikutinya." Jawab Zunairah.
Untuk menggoyahkan keyakinan budaknya, Abu Jahl bertanya pada kawan-kawannya."Hai kawan-kawan, apakah kalian juga mengikuti seruan Muhammad?"
"Tidaaak," jawab mereka serempak.
"Nah, sekira apa yang dibawa Muhammad itu baik, tentu mereka akan lebih dulu mengikutinya" kata Abu Jahl melecehkan budaknya.
Maka dipukullah Zunairah itu secara keji hingga matanya luka parah dan akhirnya menjadi buta. Melihat mata budaknya menjadi buta, Abu Jahl membujuknya.
"Matamu menjadi buta itu akibat kau masuk Islam. Coba kau tinggalkan agama Muhammad itu, matamu akan sembuh kembali," katanya.
Betapa sakit hati Zunairah mendengar olok-olokan itu."Kalian semua adalah pembohong, tak bermoral. Lata dan Uzza yang kalian sembah itu tak akan bisa berbuat apa-apa. Apalagi memberi manfaat dan madlarat," katanya.Mendengar itu,
Abu Jahl semakin naik pitam. Maka dipukullah budak itu sekeras-kerasnya dan berkata, "Wahai Zunairah. Ingatlah kepada Lata dan Uzza. Itu berhala sembahan kita sejak nenek moyang kita. Tak takutkah jika mereka nanti murka kepadamu? Tinggalkan segera agama Muhammad yang melecehkan kita." Kata Abu Jahl.
"Wahai Abu Jahl. Sebenarnya Latta dan Uzza itu buta. Lebih buta daripada mataku yang buta akibat siksaanmu ini. Meski mataku buta, Allah tak akan sulit mengembalikannya menjadi terang, tidak seperti tuhanmu Latta dan Uzza itu" kata Zunairah.Berkat kekuasaan Allah.
Esoknya mata Zunairah yang buta akibat siksaan Abu Jahl itu kembali sembuh sperti sedia kala. Abu Jahl yang menyaksikannya menjadi terheran-heran. Namun dasar orang tak beriman, dia malah berkata "Ini pasti karena sihir Muhammad" katanya sembari kembali menyiksa budaknya. Untunglah datang Abu Bakar yang lalu memerdekakan Zunairah setelah memberi tebusan kepada Abu Jahl.
ADH DHUHAA
[93.1] Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
[93.2] dan demi malam apabila telah sunyi,
[93.3] Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu,
[93.4] dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
[93.5] Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
[93.6] Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
[93.7] Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
[93.8] Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
[93.9] Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
[93.10] Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.
[93.11] Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
[93.2] dan demi malam apabila telah sunyi,
[93.3] Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu,
[93.4] dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
[93.5] Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
[93.6] Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
[93.7] Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
[93.8] Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
[93.9] Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
[93.10] Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.
[93.11] Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
ALAM NASYRAH
[94.1] Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
[94.2] Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu,
[94.3] yang memberatkan punggungmu?
[94.4] Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.
[94.5] Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
[94.6] sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
[94.7] Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
[94.8] dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
[94.2] Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu,
[94.3] yang memberatkan punggungmu?
[94.4] Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.
[94.5] Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
[94.6] sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
[94.7] Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
[94.8] dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
AT TIIN
[95.1] Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
[95.2] dan demi bukit Sinai,
[95.3] dan demi kota (Mekah) ini yang aman,
[95.4] sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
[95.5] Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
[95.6] kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
[95.7] Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
[95.8] Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
[95.2] dan demi bukit Sinai,
[95.3] dan demi kota (Mekah) ini yang aman,
[95.4] sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
[95.5] Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
[95.6] kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
[95.7] Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
[95.8] Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
AL 'ALAQ
[96.1] Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
[96.2] Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
[96.3] Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
[96.4] Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
[96.5] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[96.6] Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
[96.7] karena dia melihat dirinya serba cukup.
[96.8] Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu).
[96.9] Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
[96.10] seorang hamba ketika dia mengerjakan salat,
[96.11] bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran,
[96.12] atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
[96.13] Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
[96.14] Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?
[96.15] Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,
[96.16] (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
[96.17] Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
[96.18] kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,
[96.19] sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan),
[96.2] Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
[96.3] Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
[96.4] Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
[96.5] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[96.6] Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
[96.7] karena dia melihat dirinya serba cukup.
[96.8] Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu).
[96.9] Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
[96.10] seorang hamba ketika dia mengerjakan salat,
[96.11] bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran,
[96.12] atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
[96.13] Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
[96.14] Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?
[96.15] Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,
[96.16] (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
[96.17] Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
[96.18] kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,
[96.19] sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan),
AL QADR
[97.1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.
[97.2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
[97.3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
[97.4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
[97.5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
[97.2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
[97.3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
[97.4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
[97.5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
AL BAYYINAH
[98.1] Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,
[98.2] (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur'an),
[98.3] di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.
[98.4] Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
[98.5] Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
[98.6] Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
[98.7] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
[98.8] Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
[98.2] (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur'an),
[98.3] di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.
[98.4] Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
[98.5] Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
[98.6] Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
[98.7] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
[98.8] Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
AZ ZALZALAH
[99.1] Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat),
[99.2] dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya,
[99.3] dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?",
[99.4] pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
[99.5] karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.
[99.6] Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.
[99.7] Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.
[99.8] Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.
[99.2] dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya,
[99.3] dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?",
[99.4] pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
[99.5] karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.
[99.6] Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.
[99.7] Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.
[99.8] Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.
AL 'ADIYAAT
[100.1] Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,
[100.2] dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),
[100.3] dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,
[100.4] maka ia menerbangkan debu,
[100.5] dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
[100.6] sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
[100.7] dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
[100.8] dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
[100.9] Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
[100.10] dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
[100.11] sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
[100.2] dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),
[100.3] dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,
[100.4] maka ia menerbangkan debu,
[100.5] dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
[100.6] sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
[100.7] dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
[100.8] dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
[100.9] Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
[100.10] dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
[100.11] sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
AL QAARI'AH
[101.1] Hari Kiamat,
[101.2] apakah hari Kiamat itu?
[101.3] Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
[101.4] Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran,
[101.5] dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
[101.6] Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya,
[101.7] maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
[101.8] Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya,
[101.9] maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
[101.10] Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
[101.11] (Yaitu) api yang sangat panas.
[101.2] apakah hari Kiamat itu?
[101.3] Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
[101.4] Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran,
[101.5] dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
[101.6] Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya,
[101.7] maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
[101.8] Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya,
[101.9] maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
[101.10] Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
[101.11] (Yaitu) api yang sangat panas.
AT TAKAATSUR
[102.1] Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
[102.2] sampai kamu masuk ke dalam kubur.
[102.3] Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
[102.4] dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
[102.5] Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
[102.6] niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
[102.7] dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainulyaqin,
[102.8] kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
[102.2] sampai kamu masuk ke dalam kubur.
[102.3] Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
[102.4] dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
[102.5] Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
[102.6] niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
[102.7] dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainulyaqin,
[102.8] kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
AL 'ASHR
[103.1] Demi masa.
[103.2] Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
[103.3] kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
[103.2] Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
[103.3] kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
AL HUMAZAH
[104.1] Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
[104.2] yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
[104.3] dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya,
[104.4] sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.
[104.5] Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
[104.6] (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
[104.7] yang (membakar) sampai ke hati.
[104.8] Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
[104.9] (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.
[104.2] yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
[104.3] dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya,
[104.4] sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.
[104.5] Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
[104.6] (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
[104.7] yang (membakar) sampai ke hati.
[104.8] Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
[104.9] (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.
AL FIIL
105.1] Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
[105.2] Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Kakbah) itu sia-sia?,
[105.3] Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
[105.4] yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
[105.5] lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
[105.2] Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Kakbah) itu sia-sia?,
[105.3] Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
[105.4] yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
[105.5] lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
QURAISY
[106.1] Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
[106.2] (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
[106.3] Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah).
[106.4] Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
[106.2] (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
[106.3] Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah).
[106.4] Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
AL MAA'UUN
[107.1] Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
[107.2] Itulah orang yang menghardik anak yatim,
[107.3] dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
[107.4] Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,
[107.5] (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,
[107.6] orang-orang yang berbuat ria.
[107.7] dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
[107.2] Itulah orang yang menghardik anak yatim,
[107.3] dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
[107.4] Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,
[107.5] (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,
[107.6] orang-orang yang berbuat ria.
[107.7] dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
AL KAUTSAR
[108.1] Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
[108.2] Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
[108.3] Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
[108.2] Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
[108.3] Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
AL KAAFIRUUN
[109.1] Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir,
[109.2] aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
[109.3] Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
[109.4] Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
[109.5] Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
[109.6] Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".
[109.2] aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
[109.3] Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
[109.4] Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
[109.5] Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
[109.6] Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".
AN NASHR
[110.1] Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
[110.2] Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
[110.3] maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.
[110.2] Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
[110.3] maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.
AL LAHAB
[111.1] Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
[111.2] Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
[111.3] Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
[111.4] Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
[111.5] Yang di lehernya ada tali dari sabut.
[111.2] Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
[111.3] Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
[111.4] Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
[111.5] Yang di lehernya ada tali dari sabut.
AL IKHLASH
[112.1] Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
[112.2] Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
[112.3] Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
[112.4] dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".
[112.2] Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
[112.3] Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
[112.4] dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".
AL FALAQ
[113.1] Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,
[113.2] dari kejahatan makhluk-Nya,
[113.3] dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
[113.4] dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
[113.5] dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki".
[113.2] dari kejahatan makhluk-Nya,
[113.3] dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
[113.4] dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
[113.5] dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki".
AN NAAS
[114.1] Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
[114.2] Raja manusia.
[114.3] Sembahan manusia.
[114.4] dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
[114.5] yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
[114.6] dari (golongan) jin dan manusia.
[114.2] Raja manusia.
[114.3] Sembahan manusia.
[114.4] dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
[114.5] yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
[114.6] dari (golongan) jin dan manusia.
JAUH, DEKAT, ATAU TAK BERJARAK?
Saya Ingin mendekatkan diri kepada Allah. Demikian kata kawan saya. Kawan yang lain lantas bertanya: lho, apakah memang Allah itu jauh, sehingga masih perlu mendekatkan diri kepadaNya?
Kawan yang pertama, bingung juga menjawabnya. Kalau dijawab: Allah itu dekat, menjadi kontradiksi dengan statementnya sendiri, bahwa ia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Tapi kalau dijawab: Allah itu jauh, salah juga karena Allah dengan jelas telah mengatakan bahwa Dia dekat kepada kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Maka, saya bilang kepadanya: coba rasakan saja dalam kehidupan Anda. Apakah Allah itu jauh atau dekat.
Dia berdiam sejenak. Lantas menjawab dengan sejujurnya, bahwa kadang ia 'merasa' dekat dengan Allah, tapi di kali lain 'merasa' jauh. 'Ya, kadang Allah terasa dekat, kadang terasa jauh / tegasnya. Ia tertawa kecil, dalam ketidakpastian. Ia belum memperoleh jawaban yang tuntas atas pertanyaan kawannya...
Maka, mungkin Anda pun ikut bertanya-tanya dalam hati. Kalau gitu, Allah itu jauh apa dekat ya? Kenapa kita juga merasakan kadang jauh kadang dekat dengan Nya. Ketika sedang merasa jauh, hati kita rasanya kosong dan gelisah. Tapi, sewaktu dekat, kita merasakan ketenangan, kententraman dan kedamaian yang sulit digambarkan.
Ketika merasa jauh, persoalan silih berganti datang dalam kehidupan. Ketika dekat, semua persoalan seolah lenyap ditelan terang benderangnya cahaya kehidupan. Ketika merasa jauh, pikiran kita bete dan sumpek, tidak jernih dalam memandang berbagai persoalan. Tapi ketika merasa dekat, segalanya menjadi demikian gamblang dan mudah untuk membuat keputusan keputusan.
Ketika jauh, kita merasa serba sulit dan jadi pemarah. Namun ketika merasa dekat, kita jadi sabar dan penuh keikhlasan. Kenapa ada perasaan dan kondisi demikian? Dan kenapa ini terkait dengan ‘rasa dekat’ dan 'rasa jauh' terhadap Allah?
Ini ada kaitannya dengan fungsi Jiwa dan Ruh, sebagaimana telah kita bahas dalam diskusi sebelumnya. Bahwa diri manusia terdiri dari 3 lapisan: yaitu badan wadag, Jiwa dan Ruh.
Perasaan dekat dan jauh terhadap Allah itu dialami oleh Jiwa kita. Bukan oleh badan wadag atau Ruh. Sebab badan wadag adalah benda mati, yang tidak memiliki 'rasa'. Ia hanya merupakan 'media' bagi jiwa untuk memperoleh berbagai rasa itu. Ketika badan wadag harus berdiri sendiri terpisah dari jiwa maka ia tidak bisa merasakan apa pun. Mati, koma, pingsan ataupun tidur.
Sementara itu, Ruh adalah potensi Sifat-Sifat Ketuhanan yang ditularkan Allah kepada badan wadag. Karena kemasukan Ruh itulah maka badan wadag menjadi hidup dengan segala derivative Sifat-Sifat Allah. Dan, dengan kemasukan Ruh, badan wadag itu memiliki sisi batiniah yang bersifat energial yang disebut jiwa, yang bisa merasakan kedekatan atau kejauhannya dengan Allah Tuhannya.
Jiwa adalah sosok yang ditulari Sifat-Sifat Allah lewat keberadaan Ruh di dalam wadag. Termasuk di dalamnya adalah ‘sifat’ Berkehendak. Jiwa memiliki kehendak yang bebas, dalam pengaruh potensi Ruh. Dia bisa memilih 'keburukan' yang berorientasi hanya pada kebutuhan badaniah duniawiyah, atau 'kebaikan' yang berorientasi pada nilai-nilai luhur Ruhiyah ukhrawiyah. Seluruhnya dibebaskan sebagai pilihan jiwa.
Jadi, jauh dekatnya seseorang dengan Tuhannya lebih bermakna batiniah. Bukan wadag, tapi jiwa. Bukan kuantitaif, melainkan kualitatif.
Secara kuantitatif, manusia tidak bisa jauh dari Allah. Karena, Dia memang lebih dekat daripada urat leher. Dia meliputi kita. Karena itu, penggambaran dekat itu lebih disimbolkan secara fisikal: urat leher. Karena memang Allah hadir di dalam setiap sel-sel tubuh kita. Termasuk, sel-sel urat leher itu sendiri. Bahkan lebih halus lagi, karena Allah juga hadir di dalam molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-partikel penyusunnya. Tidak ada penggambaran yang lebih dekat daripada itu.
Tapi secara kualitatif, kedekatan dengan Allah itu bisa agak 'renggang' atau sebaliknya. Kedekatan itu lebih menggambarkan betapa kualitas kita sebagai manusia mengalami pasang surut. Itu adalah gambaran Jiwa: semakin bersih atau semakin kotor.
Jiwa yang bersih bakal memancarkan Sifat-Sifat Ketuhanan dalam diri kita, menjadi semakin benderang. Sedangkan Jiwa yang kotor bakal meredupkan pancarannya. Kuncinya hanyalah membersihkan jiwa atau mengotorinya.
Sebenarnya, dalam diri kita ada sifat-sifat Ketuhanan. Sifat-sifat itu akan memancar dengan kualitas yang semakin tinggi, ketika jiwa kita bersih. Sebaliknya akan meredup, kalau jiwa kita kotor.
Orang-orang yang membersihkan jiwanya pasti akan memancarkan sifat-sifat penyayang, pemurah, adil, jujur, pemaaf, sabar, ikhlas, dan seterusnya, yang menggambarkan sifat-sifat Asmaa'ul husna.
Semakin bersih jiwanya, semakin terpancarlah sifat-sifat itu dari dalam dirinya. Nah, orang yang demikian itu yang dikatakan 'dekat' kepada Allah. kenapa? Karena kualitas sifat-sifatnya 'mendekati Sifat-Sifat Allah'. Sifat-sifat kemanusiaannya yang egoistik memudar. Yang berpendar adalah Sifat-Sifat ketuhanan yang universal. Menebarkan kasih sayang untuk seluruh alam sekitarnya. Itulah sifat-sifat seorang Islam yang sesungguhnya : rahmatan lil 'alamin...
MASIH PERLUKAH KITA MENDEKAT
Kalau benar, kita sudah demikian dekatnya kepada Allah, apakah masih perlu mendekatkan diri kepada Nya? Untuk apa? Bukankah Dia sudah menegaskan bahwa Dia begitu dekat dengan hamba-hambaNya. Dan akan mengabulkan setiap permohonan yang disampaikan kepadaNya?
QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus terlebih dahulu sepakat tentang makna kata 'dekat' Bahwa dekat yang dimaksud di sini adalah kedekatan kualitas, sebagaimana telah kita bahas di bagian depan. Bukan sekadar kedekatan fisik, karena sesungguhnya Dia telah begitu dekatNya dengan hamba-hambaNya.
Maka, kalau kita baca ayat-ayat Qur'an, Allah menggunakan beberapa istilah yang hampir sama maknanya untuk menggambarkan kedekatan makhluk kepada Tuhannya. Setidak-tidaknya ada 5 tingkat kedekatan.
1. Meliputi
Dalam banyak ayat Allah mengatakan bahwa Dzat, Ilmu, Rahmat dan KekuasaanNya meliputi segala sesuatu. Kita sudah membahas di depan, bahwa karena Allah tidak terbagi-bagi dalam penyusun yang lebih kecil, maka Dzat, Ilmu, Rahmat dan KekuasaanNya itu sebenarnya menunjuk kepada Eksistensi Tunggal.
Ketika Allah mengatakan salah satu sifatNya meliputi makhlukNya, maka sebenarnya seluruh sifat-sifat yang lain juga meliputi makhlukNya. Dengan kata lain, Dzat TunggalNya meliputi segala yang ada.
QS. An Nisaa' (4) : 126
Kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
QS. Al Baqarah (2) : 19
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir
Dan sejumlah ayat-ayat lagi yang menceritakan bahwa Allah meliputi segala makhlukNya. Setidak-tidaknya ada 2 kata yang digunakan. Kadang menggunakan kata mukhith, kadang wasi’a. Tapi intinya, Allah sedang memberikan gambaran betapa Allah itu sedang meliputi makhlukNya, dan sangat dekat dengan mereka.
Kata meliputi ini juga memberi makna 'luas' atau 'besar'. Artinya, ketika dikatakan bahwa Allah meliputi segala sesuatu, maka Dia itu sebenarnya adalah Dzat Yang Amat Sangat Besar Sekali. Sehingga bisa meliputi segala sesuatu, termasuk alam semesta keseluruhannya.
Namun, disamping itu, kata-kata kulli syai in (tiap-tiap sesuatu) di ayat tersebut menggambarkan betapa Allah begitu dekat, karena meliputi tiap-tiap makhlukNya, termasuk setiap diri manusia. Bahkan setiap bagian terkecil tubuh manusia.
Jadi, makna kata 'meliputi' memberikan persepsi sebagai kedekatan makhluk dengan Tuhannya atau sebaliknya. Tapi kedekatan yang bersifat universal.
Materi, energi, ruang, waktu, dan informasi, semuanya terangkum dalam kata ‘meliputi’. Bahkan termasuk orang-orang yang kafir pun diliputi oleh Allah. DzatNya dekat dengan apa saja dan siapa saja!
2. Bersama
Kata 'dekat' yang memiliki makna lebih khusus adalah 'bersama'. Kata yang digunakan adalah ma'ash shabirin (bersama orang-orang yang sabar), ma'akum, ma’ana, ma’ahum (bersamamu, bersama-Ku, bersama mereka). Dan sebagainya.
Kata 'bersama' menunjukkan kedekatan secara khusus. Lebih khusus dibandingkan dengan 'meliputi'. Karena itu, penggunaan kata 'bersama' ini langsung dikaitkan dengan objeknya: bersamamu, bersama-nya, bersamaku.
Ada semacam perhatian khusus, ketika Allah mengatakan: ‘Aku bersama dengan orang-orang yang sabar’ Seakan-akan Dia ingin menegaskan bahwa Allah akan memberikan pembelaan dan melindungi orang-orang yang sabar.
QS. Al Baqarah (2) : 153
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
QS. Al Hadiid (57) : 4
Dialah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa, yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
QS. Al Anfal (8) : 46
Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar
Dan banyak lagi ayat lainnya tentang makna 'kebersamaan' itu. Tapi sangat jelas, bahwa ketika Allah menggunakan kata ‘bersama’, maka Dia sedang menunjukkan kedekatan yang lebih dekat dibandingkan dengan 'meliputi'.
3. Dekat.
Tingkat yang berikutnya lagi adalah ‘dekat’ alias Qarib. Ini adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan kedekatan secara lebih emosional. Di banyak ayat Allah menggambarkan kedekatanNya dengan kata qarib. Di antaranya adalah berikut ini.
QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran
QS. Al A'raaf (7) : 56
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik
QS. Qaaf (50) : 16
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya
QS. Huud (11) : 61
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Ayat-ayat di atas memberikan penegasan kepada kita bahwa Allah menggunakan kata 'qariib' untuk menggambarkan kedekatan secara emosional (ingat istilah 'sahabat karib'). Misalnya: bertobatlah kepada Nya. Sesungguhya tuhanku amat dekat, lagi memperkenankan do'a.
Demikian pula pada ayat-ayat sebelumnya. Dia menggunakan kata qariib untuk memancing kita lebih dekat lagi secara emosional. Bahwa Allah sangat menyayangi kita. Bahwa Allah sangat pemurah dan pemaaf. Bahwa Allah pasti memperkenankan do'a kita. Sehingga, ketika seseorang telah dikatakan dekat dengan Allah, dia adalah orang yang beruntung, karena rahmat dan kasih sayangNya selalu menaunginya di dunia dan akhirat..
QS. Ali Imran (3) : 45
Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),
QS. Al Waqi’ah (56) : 11
Mereka itulah orang yang didekatkan kepada Allah
QS. Al Muthaffifin (83) : 21
Yang disaksikan, oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).
QS. Al Muthaffiffin (83): 28
(yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.
4. Di sisiNya
Istilah lain untuk menggambarkan kedekatan makhluk dengan Allah adalah 'indallah' alias di sisi Allah. Kata indallah yang dikaitkan dengan kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya, biasanya menggambarkan posisi yang tinggi. Diantaranya adalah ayat-ayat berikut ini.
QS. Ali Imran (3) : 169
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki
Di antara hamba-hamba yang didekatkan di sisi Allah itu adalah para pejuang yang mati syahid. Yang mengorbankan hidupnya untuk mengabdi di jalan Allah. Melakukan syi'ar agama untuk kemajuan umat.
Ada beberapa tingkat kualitas seiring dengan kualitas pengabdian dan amalannya. Sehingga Allah mengatakan bahwa kedudukan mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah. Allah mengampuni dosa dan kesalahan mereka. Dan mereka memperoleh balasan yang baik di sisiNya. Bahkan di bagian terakhir dari urutan ayat di bawah ini, saya kutipkan firman Allah yang menegaskan bahwa itulah orang-orang yang imannya benar. Karena itu, mereka memperoleh ampunan dan rezeki dari Allah. Mereka diberi derajat yang tinggi di sisiNya.
QS. Ali Imran (3) : 163
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
QS. Shaad (38) : 25
Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.
QS. Shaad (38) : 40
Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.
QS. Al Anfal (8) : 4
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia.
5. Berserah Diri
Dan, tingkat kedekatan yang paling tinggi adalah 'berserah diri' kepada Allah. Muslimuun. Inilah suatu tingkatan, dimana ego soseorang sudah sedemikian rendahnya. Dan, yang muncul hanya Ego Allah saja.
Dirinya telah lebur ke dalam Diri Allah. Sifat-sifatnya juga lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah. Kehendaknya telah luluh ke dalam Kehendak Allah. Itulah yang di dalam hadits Qudsi dikatakan bahwa orang-orang demikian itu 'melihat dengan penglihatan Allah, mendengar dengan pendengaran Allah, dan seluruh langkah perbuatannya dilambari oleh ilmu-ilmu Allah.'
Di dalam Al Qur’an salah satu hamba yang diceritakan memiliki tingkat kedekatan seperti itu adalah nabi Khidir. Sehingga ia digambarkan sebagai nabi yang misterius, dan sulit dipahami jalan pikiran dan perbuatannya. Jangankan oleh manusia pada umumnya, setingkat nabi Musa pun sulit mengikuti jalan pikiran nabi Khidir. Hal itu diceritakan Allah dalam QS. Al Kahfi ayat 60 - 82.
QS. Al Kahfi (18) : 65
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami
Cerita itu sangat panjang, silakan dibaca sendiri dari Al Qur’an. Tapi sebagai gambaran umum, Allah menyuruh nabi Musa untuk berguru kepada nabi Khidir, seorang nabi yang tidak terkenal dan misterius di pinggiran pantai, pertemuan dua lautan.
Ketika mengikuti perjalanan nabi Khidir itulah, nabi Musa sempat beberapa kali dibuat heran dan marah, karena nabi Khidir melakukan hal-hal yang tidak masuk akalnya.
Yang pertama, Khidir merusak perahu nelayan miskin. Yang kedua, dia membunuh seorang anak kecil. Dan yang ketiga, dia mengajak Musa untuk membangun sebuah rumah tua yang sudah roboh, tanpa upah.
Maka, kata Khidhr, Inilah saat kita berpisah, karena engkau tidak sabar mengikutiku, sekarang aku tunjukkan alasan seluruh perbuatanku itu. Kemudian, Khidir membeberkan semuanya. Bahwa, semua perbuatannya itu bukan karena hawa nafsunya, melainkan untuk kepentingan yang lebih besar, yang tidak diketahui oleh Musa.
Bahwa merusakkan perahu itu, justru untuk menyelamatkan perahu milik nelayan tersebut agar tidak dirampas oleh seorang raja lalim. Membunuh anak kecil, dimaksudkan untuk menyelamatkan anak itu sendiri dari dosa dan juga orang tuanya yang saleh. Karena anak itu akan menjadi anak yang jahat.
Sedangkan, membangun rumah yang roboh dimaksudkan untuk menyiapkan harta peninggalan bagi anak-anak yatim yang tinggal di rumah tersebut. Hartanya ditinggalkan di bawah rumah oleh orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Dan yang menarik, di akhir cerita itu, Khidir mengungkapkan bahwa semua itu bukanlah atas kehendaknya, melainkan Kehendak Allah. Sebagaimana diinformasikan Allah dalam potongan ayat-ayat berikut ini.
QS. Al Kahfi (18) : 82
“…dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri…”
Ini sungguh merupakan tingkat kedekatan yang tiada taranya. Bahwa nabi Khidir telah bisa menyatukan kehendaknya dengan Kehendak yang Maha Tinggi, Kehendak Allah, Sang Maha Tahu..
Namun, kedekatan semacam ini tidak bisa ditiru begitu saja oleh orang lain. Tidak bisa, kita melakukan kesewenang-wenangan, kemudian mengatakan bahwa semua itu atas kehendak Allah, seperti nabi Khidir! Bisa sangat berbahaya. Seperti sebagian murid-murid Siti Jenar yang dikabarkan berbuat semaunya, dengan alasan telah bersatu dengan Allah. Manunggaling kawula kelawan Gusti.
Untuk mencapai tataran itu ada suatu proses panjang yang mesti dijalani. Menghilangkan ego diri sendiri dan memunculkan Ego Allah.
BAGAIMANA CARA MENDEKATINYA
Jadi bagaimanakah kita harus mendekatkan diri kepada Allah?
Ternyata, kuncinya sederhana saja: luruskan 'wajah' kita hanya kepada Allah. Jangan 'tolah-toleh' kemana-mana.
Bagaimana riilnya?Juga sederhana: ikuti dan pahami tatacara ibadah yang diajarkan Rasulullah saw. Jangan terjebak hanya pada kulitnya saja. Jangan terjebak pada 'upacara kosong' belaka. Karena proses kedekatan itu bakal muncul dalam Jiwa kita, seiring dengan 'kedalaman makna' ibadah yang sedang kita jalani.
Semakin paham kita tentang apa yang kita jalani, semakin nyambung hati kita dengan Allah. Dan kemudian tertulari oleh Sifat-Sifat UniversalNya. Maka semakin dekatlah kita kepada Allah. Sifat-Sifat itu, lantas akan terpancar dalam keseharian kita.
Sebaliknya, ketika kita tidak paham makna ibadah, kita bakal menjauh dariNya, karena hati tidak pernah nyambung denganNya. Dan karenanya, Sifat-Sifat Allah juga tidak muncul dalam keseharian kita. Yang muncul egoisme.
Maka dalam praktek kehidupan kita, makna jauh' dan 'dekat' kepada Allah tergambar dari pancaran Sifat-Sifat ketuhanan dalam diri kita.
Kalau Allah Maha Adil, dan kemudian kita bergerak ke arah ketidakadilan, maka jelas-jelas kita sedang menjauhi Allah. Kalau Allah tidak pernah berbohong, dan kemudian kita suka berbohong, itu pun sangat jelas kita sedang bergerak menjauhi Allah.
Kalau Allah menebarkan rahmat kepada seluruh alam, dan lantas kita melakukan berbagai perusakan terhadap alam sekitar kita, maka itu pun sangatlah gamblang, kita sedang menjauhi arah.
Pokoknya, ketika Allah menunjukkan Kasih SayangNya yang bersifat universal, tapi kita menunjukkan ego yang bersifat individual, maka kita sedang bergerak menjauhi Allah.
Kalau ingin mendekatkan diri kepada Allah, kuncinya cuma satu: terapkanlah Sifat-Sifat Universal Allah dalam kehidupan kita sebagai refleksi ibadah kita. Maka bisa dipastikan, kita sedang bergerak menuju kepada Allah. Jiwa kita sedang berproses menuju Sifat-Sifat Allah yang universal.
Keadilan, kejujuran, kebijaksanaan, pemaaf, dermawan, lemah lembut, sopan santun, rasa belas kasihan, semangat keilmuan, kecerdasan, dan berbargai sifat positif berkualitas tinggi lainnya, adalah sebagian dari Sifat-Sifat Universal ketuhanan.
Maka, orang yang memiliki sifat-sifat demikian itu pada hakekatnya telah menyatukan sifat-sifatnya dengan Sifat-Sifat Ketuhanan. Semakin universal perilakunya, semakin menyatulah dia dengan Perilaku-Nya.
Jadi, pemahamannya menjadi sangat sederhana. Bahwa orang-orang yang menjalankan perilaku egoistik dalam hidupnya, sebenarnya dia sedang bergerak menjauh dari 'kualitas Ketuhanan'. Sebaliknya, orang yang menjalani perilaku universal, dia sedang mendekatkan diri kepada 'kualitas ketuhanan'. Dan ketika sudah demikian universalnya, maka dia telah 'menyatu' dengan 'Kualitas Ketuhanan' itu sendiri.
Al Qur’an mengajarkan tiga kualitas kepribadian seorang manusia. Yang paling rendah adalah bersifat egois individualis. Yang lebih tinggi, bersifat sosialis. Dan yang paling tinggi adalah spiritualis.
Ketiga sifat itu bertingkat-tingkat kualitasnya menjadi semakin universal. Kenapa sifat-sifat sombong, serakah, menang sendiri, pemarah, pembohong, menipu, pendendam dan sebagainya dilarang oleh Allah? Karena semua sifat itu bertumpu kepada sifat egois. Mementingkan diri sendiri.
Oleh Allah, kita diperintahkan untuk menggesernya menjadi sifat-sifat yang lebih sosial. Kita disuruh banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Menolong dengan harta benda kita, dengan ilmu, dengan kekuasaan, dan dengan apa pun yang kita miliki sebagai kelebihan. Inilah hakikat dari konsep hablum minannas.
Jika semua itu kita jalankan dengan penuh keikhlasan, barulah kita beranjak menuju tingkatan paling tinggi, yaitu spiritualis. Tingkatan yang mengamalkan Sifat-Sifat Ketuhanan tanpa pamrih. Kecuali hanya karena Allah semata. Lillahita'ala!
Inilah hakekat hablum minallah. Hubungan dengan Allah itu baru bisa berjalan sempurna kalau kita sudah melatih dan melewati interaksi kemanusiaan secara baik pula. Hablum minannas menjadi landasan bagi hablum minallah!
Semua itu bisa kita lakukan, hanya kalau kita berserah diri kepada Allah. Tidak ada tujuan lain dalam kehidupan kita. Laa ilaaha illallah...
Dirinya lenyap. Yang ada hanya Allah. Inilah yang dikatakan oleh Allah dalam Al Qur’an ketika menolong orang-orang mukmin dalam sebuah peperangan yang sangat menentukan.
QS. Al Anfaal (8) : 17
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Atau, dalam sebuah hadits Qudsi sebagaimana kita bahas sebelumnya:
“dia melihat dengan penglihatan Allah, dia mendengar dengan pendengaran Allah, dan dia berbuat dengan bimbingan ilmu-ilmu Allah.”
Memang, badannya masih ada. Karena ia adalah seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Tapi, egonya telah lenyap, melebur ke dalam Ego Allah. Dia itulah orang yang paling pantas disebut sebagai khalifatu fil Ardhi - wakil Allah di muka bumi. Keberadaannya selalu mencerminkan keberadaan Allah. Ia menjadi pantulan Sifat-Sifat ketuhanan bagi kemaslahatan makhlukNya tanpa pandang bulu.
Rahmatan lil 'alamin...
Kalau dia hadir, siapa saja yang berada di dekatnya akan merasakan ketentraman dan kedamaian. Bukan malah memperoleh berbagai macam masalah. Begitulah memang Sifat Allah, barangsiapa 'ingat' dan 'dekat' denganNya, maka ia akan merasakan ketentraman dan kedamaian.
QS. Ar Ra'd (13) : 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Kita jadi teringat kepada rasulullah saw. Seorang teladan yang luar biasa. Keberadaannya selalu memberikan rahmat pada sekitarnya. Kecuali, orang-orang yang memang tidak mau menerimanya. Hati yang tertutup terhadap rahmat.
Sejak kecil sampai wafatnya, beliau mengalami proses penyempurnaan menuju Sifat-Sifat Universal Ketuhanan. Dikenal sebagai orang yang jujur, adil, amanah, sulit marah, penuh belas kasihan dan sangat pemaaf.
Bahkan sampai kepada 'musuh-musuhnya' pun beliau tidak pernah menganggap musuh. Melainkan sebagai orang-orang yang patut dikasihani, karena tidak mengikuti ajaran islam yang dibawanya. Mereka pasti akan mendapat bencana karenanya.
Tidak ada dendam dan kebencian yang beliau tebarkan. Yang ada hanya kasih sayang, Rahmat. Karena itu, ketika beliau ditodong pedang mau dibunuh oleh orang kafir, beliau hanya tersenyum.
‘Siapa yang bakal menolongmu dari pedangku ini Muhammad? Kata orang kafir itu. Rasulullah hanya mengatakan: Allah! Dan pedang itu pun terjatuh.
Beliau memungut pedang, dan ganti menodongkan kepada orang kafir tersebut, sambil berkata: ‘siapa yang bisa menolong kamu dari Pedang ini?’ Sambil gemetar orang itu menjawab: ‘tidak ada, ya Muhammad’. Kecuali engkau mau memaafkanku
Maka, rasulullah mengembalikan pedang itu kepadanya, dan menyuruhnya kembali kepada kaumnya. Diceritakan kemudian, akhirnya orang itu masuk Islam. Bukan karena takut kepada Rasulullah, melainkan terkagum-kagum pada keagungan sifat beliau. Rasulullah bukan menebar dendam, melainkan menebar kasih sayang dan kedamaian.
Beliau orang yang sangat sulit marah. Bahkan di kali yang lain, beliau dilempari batu sampai mukanya berdarah-darah. Bukannya marah dan sakit hati, tapi malah doa tulus yang keluar dari mulut beliau.
'Ya, Allah jangan Engkau azab mereka, karena sesungguhnya mereka belum mengerti tentang Risalah yang aku bawa ini Bukalah hati mereka untuk menerima agama ini...'
Begitu agungnya! Karena itu, digambarkan bahwa akhlak beliau adalah akhlak Qur'an. Sedangkan Qur'an adalah Firman Allah. Jadi, akhlak dan amal perbuatan rasulullah itu sebenarnya adalah manifestasi dari FirmanNya. Seorang manusia biasa, tapi mencerminkan dan memantul-mantulkan Sifat-Sifat Allah bagi sekitarnya. Rahmatan lil 'alamln...
Di akhir hayatnya, yang meluncur dari mulut beliau adalah: ummati... ummati... ! Sebuah kegelisahan kalau umatnya tersesat. Tidak mengikuti jalan Allah, terjebak pada kehidupan duniawi yang semu. Ego beliau telah lenyap, lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah yang Universal. Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi...
Secara teknis operasional, sifat-sifat yang demikian itu bisa diperoleh dan dilatih dengan teknik-teknik peribadatan yang diajarkan beliau. Mulai dari Dzikir, shalat puasa, berzakat, sampai pada ibadah haji. Seluruh ibadah yang beliau ajarkan itu adalah mekanisme untuk memperoleh kualitas jiwa tersebut. Tapi tentu saja bukan sekadar tatacaranya, karena beliau juga mengajarkan: innamal a’malu binniyat. Semua peribadatan itu akan menghasilkan kualitas pribadi yang maksimal jika dilakukan dengan niat yang benar. Bukan sekadar seremonial belaka. Nabi memperingatkan, betapa banyak orang beribadah tetapi tidak memahami maknanya. Sehingga mereka tidak mencapai tujuan yang dimaksud, kecuali Cuma 'upacara kosong' belaka.
Shalat dan Dzikir memiliki makna untuk selalu ingat dan mendekatkan diri kepada Allah Setiap saat, Shalat 5 waktu itu lebih bersifat mendisiplinkan saja. Intinya kita diajari untuk selalu ingat bahwa Allah besama kita terus, sehingga kita diajari untuk terus berdzikir di luar shalat 5 waktu.
Karena itu, orang yang mampu selalu berdzikir kepada Allah, dia akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Itulah yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang menegakkan makna shalat di dalam hidupnya.
Puasa juga adalah tatacara untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan puasa kita dilatih untuk mengontrol ego kita. Bahkan merendahkan ego, untuk mengakui Ego Allah saja.
Sayangnya, banyak orang mengira bahwa dengan tidak makan dan tidak minum, serta yang membatalkan puasa saja, mereka akan bisa mendekatkan diri kepadaNya. Tidak, kata Rasulullah. Banyak orang berpuasa, ternyata tidak memperoleh makna puasa, kecuali cuma lapar dan dahaga.
Begitu pula zakat dan haji. Zakat adalah latihan untuk tidak bersifat posessive secara berlebihan kepada harta benda. Ini adalah bagian dari latihan untuk menjauhkan kita dari dunia dan mendekatkan diri kepada Allah.
Bukan berarti kita tidak boleh menikmati dunia, melainkan menghilangkan rasa 'memiliki'. Sebab semua ini adalah milik Allah. Dialah yang memberi dan mencabut rezeki dari hamba-hambaNya, kapan pun Dia menghendaki.
Sedangkan haji, adalah sebuah prosesi unik, dimana kita diperintahkan Allah untuk meneladani dan napak tilas perjalanan hidup nabi Ibrahim. Seorang nabi yang berderajat sangat tinggi, sehingga memperoleh gelar Kholilullah: nabi Kesayangan Allah.
Jadi, ringkas kata, cara pendekatan kita kepada Allah sebenarnya sangatlah sederhana. Ikutilah cara Rasulullah saw dengan berbagai teknik ibadah yang beliau ajarkan. Dijamin ego kita akan semakin rendah dan semakin rendah. Akhirnya bisa berserah diri hanya kepada Allah. Asalkan ini yang penting niatnya benar. Kepahamannya benar, Lurus hanya karena Allah semata : lillahi ta'ala... (Dahlia Putri)
Kawan yang pertama, bingung juga menjawabnya. Kalau dijawab: Allah itu dekat, menjadi kontradiksi dengan statementnya sendiri, bahwa ia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Tapi kalau dijawab: Allah itu jauh, salah juga karena Allah dengan jelas telah mengatakan bahwa Dia dekat kepada kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Maka, saya bilang kepadanya: coba rasakan saja dalam kehidupan Anda. Apakah Allah itu jauh atau dekat.
Dia berdiam sejenak. Lantas menjawab dengan sejujurnya, bahwa kadang ia 'merasa' dekat dengan Allah, tapi di kali lain 'merasa' jauh. 'Ya, kadang Allah terasa dekat, kadang terasa jauh / tegasnya. Ia tertawa kecil, dalam ketidakpastian. Ia belum memperoleh jawaban yang tuntas atas pertanyaan kawannya...
Maka, mungkin Anda pun ikut bertanya-tanya dalam hati. Kalau gitu, Allah itu jauh apa dekat ya? Kenapa kita juga merasakan kadang jauh kadang dekat dengan Nya. Ketika sedang merasa jauh, hati kita rasanya kosong dan gelisah. Tapi, sewaktu dekat, kita merasakan ketenangan, kententraman dan kedamaian yang sulit digambarkan.
Ketika merasa jauh, persoalan silih berganti datang dalam kehidupan. Ketika dekat, semua persoalan seolah lenyap ditelan terang benderangnya cahaya kehidupan. Ketika merasa jauh, pikiran kita bete dan sumpek, tidak jernih dalam memandang berbagai persoalan. Tapi ketika merasa dekat, segalanya menjadi demikian gamblang dan mudah untuk membuat keputusan keputusan.
Ketika jauh, kita merasa serba sulit dan jadi pemarah. Namun ketika merasa dekat, kita jadi sabar dan penuh keikhlasan. Kenapa ada perasaan dan kondisi demikian? Dan kenapa ini terkait dengan ‘rasa dekat’ dan 'rasa jauh' terhadap Allah?
Ini ada kaitannya dengan fungsi Jiwa dan Ruh, sebagaimana telah kita bahas dalam diskusi sebelumnya. Bahwa diri manusia terdiri dari 3 lapisan: yaitu badan wadag, Jiwa dan Ruh.
Perasaan dekat dan jauh terhadap Allah itu dialami oleh Jiwa kita. Bukan oleh badan wadag atau Ruh. Sebab badan wadag adalah benda mati, yang tidak memiliki 'rasa'. Ia hanya merupakan 'media' bagi jiwa untuk memperoleh berbagai rasa itu. Ketika badan wadag harus berdiri sendiri terpisah dari jiwa maka ia tidak bisa merasakan apa pun. Mati, koma, pingsan ataupun tidur.
Sementara itu, Ruh adalah potensi Sifat-Sifat Ketuhanan yang ditularkan Allah kepada badan wadag. Karena kemasukan Ruh itulah maka badan wadag menjadi hidup dengan segala derivative Sifat-Sifat Allah. Dan, dengan kemasukan Ruh, badan wadag itu memiliki sisi batiniah yang bersifat energial yang disebut jiwa, yang bisa merasakan kedekatan atau kejauhannya dengan Allah Tuhannya.
Jiwa adalah sosok yang ditulari Sifat-Sifat Allah lewat keberadaan Ruh di dalam wadag. Termasuk di dalamnya adalah ‘sifat’ Berkehendak. Jiwa memiliki kehendak yang bebas, dalam pengaruh potensi Ruh. Dia bisa memilih 'keburukan' yang berorientasi hanya pada kebutuhan badaniah duniawiyah, atau 'kebaikan' yang berorientasi pada nilai-nilai luhur Ruhiyah ukhrawiyah. Seluruhnya dibebaskan sebagai pilihan jiwa.
Jadi, jauh dekatnya seseorang dengan Tuhannya lebih bermakna batiniah. Bukan wadag, tapi jiwa. Bukan kuantitaif, melainkan kualitatif.
Secara kuantitatif, manusia tidak bisa jauh dari Allah. Karena, Dia memang lebih dekat daripada urat leher. Dia meliputi kita. Karena itu, penggambaran dekat itu lebih disimbolkan secara fisikal: urat leher. Karena memang Allah hadir di dalam setiap sel-sel tubuh kita. Termasuk, sel-sel urat leher itu sendiri. Bahkan lebih halus lagi, karena Allah juga hadir di dalam molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-partikel penyusunnya. Tidak ada penggambaran yang lebih dekat daripada itu.
Tapi secara kualitatif, kedekatan dengan Allah itu bisa agak 'renggang' atau sebaliknya. Kedekatan itu lebih menggambarkan betapa kualitas kita sebagai manusia mengalami pasang surut. Itu adalah gambaran Jiwa: semakin bersih atau semakin kotor.
Jiwa yang bersih bakal memancarkan Sifat-Sifat Ketuhanan dalam diri kita, menjadi semakin benderang. Sedangkan Jiwa yang kotor bakal meredupkan pancarannya. Kuncinya hanyalah membersihkan jiwa atau mengotorinya.
Sebenarnya, dalam diri kita ada sifat-sifat Ketuhanan. Sifat-sifat itu akan memancar dengan kualitas yang semakin tinggi, ketika jiwa kita bersih. Sebaliknya akan meredup, kalau jiwa kita kotor.
Orang-orang yang membersihkan jiwanya pasti akan memancarkan sifat-sifat penyayang, pemurah, adil, jujur, pemaaf, sabar, ikhlas, dan seterusnya, yang menggambarkan sifat-sifat Asmaa'ul husna.
Semakin bersih jiwanya, semakin terpancarlah sifat-sifat itu dari dalam dirinya. Nah, orang yang demikian itu yang dikatakan 'dekat' kepada Allah. kenapa? Karena kualitas sifat-sifatnya 'mendekati Sifat-Sifat Allah'. Sifat-sifat kemanusiaannya yang egoistik memudar. Yang berpendar adalah Sifat-Sifat ketuhanan yang universal. Menebarkan kasih sayang untuk seluruh alam sekitarnya. Itulah sifat-sifat seorang Islam yang sesungguhnya : rahmatan lil 'alamin...
MASIH PERLUKAH KITA MENDEKAT
Kalau benar, kita sudah demikian dekatnya kepada Allah, apakah masih perlu mendekatkan diri kepada Nya? Untuk apa? Bukankah Dia sudah menegaskan bahwa Dia begitu dekat dengan hamba-hambaNya. Dan akan mengabulkan setiap permohonan yang disampaikan kepadaNya?
QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus terlebih dahulu sepakat tentang makna kata 'dekat' Bahwa dekat yang dimaksud di sini adalah kedekatan kualitas, sebagaimana telah kita bahas di bagian depan. Bukan sekadar kedekatan fisik, karena sesungguhnya Dia telah begitu dekatNya dengan hamba-hambaNya.
Maka, kalau kita baca ayat-ayat Qur'an, Allah menggunakan beberapa istilah yang hampir sama maknanya untuk menggambarkan kedekatan makhluk kepada Tuhannya. Setidak-tidaknya ada 5 tingkat kedekatan.
1. Meliputi
Dalam banyak ayat Allah mengatakan bahwa Dzat, Ilmu, Rahmat dan KekuasaanNya meliputi segala sesuatu. Kita sudah membahas di depan, bahwa karena Allah tidak terbagi-bagi dalam penyusun yang lebih kecil, maka Dzat, Ilmu, Rahmat dan KekuasaanNya itu sebenarnya menunjuk kepada Eksistensi Tunggal.
Ketika Allah mengatakan salah satu sifatNya meliputi makhlukNya, maka sebenarnya seluruh sifat-sifat yang lain juga meliputi makhlukNya. Dengan kata lain, Dzat TunggalNya meliputi segala yang ada.
QS. An Nisaa' (4) : 126
Kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
QS. Al Baqarah (2) : 19
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir
Dan sejumlah ayat-ayat lagi yang menceritakan bahwa Allah meliputi segala makhlukNya. Setidak-tidaknya ada 2 kata yang digunakan. Kadang menggunakan kata mukhith, kadang wasi’a. Tapi intinya, Allah sedang memberikan gambaran betapa Allah itu sedang meliputi makhlukNya, dan sangat dekat dengan mereka.
Kata meliputi ini juga memberi makna 'luas' atau 'besar'. Artinya, ketika dikatakan bahwa Allah meliputi segala sesuatu, maka Dia itu sebenarnya adalah Dzat Yang Amat Sangat Besar Sekali. Sehingga bisa meliputi segala sesuatu, termasuk alam semesta keseluruhannya.
Namun, disamping itu, kata-kata kulli syai in (tiap-tiap sesuatu) di ayat tersebut menggambarkan betapa Allah begitu dekat, karena meliputi tiap-tiap makhlukNya, termasuk setiap diri manusia. Bahkan setiap bagian terkecil tubuh manusia.
Jadi, makna kata 'meliputi' memberikan persepsi sebagai kedekatan makhluk dengan Tuhannya atau sebaliknya. Tapi kedekatan yang bersifat universal.
Materi, energi, ruang, waktu, dan informasi, semuanya terangkum dalam kata ‘meliputi’. Bahkan termasuk orang-orang yang kafir pun diliputi oleh Allah. DzatNya dekat dengan apa saja dan siapa saja!
2. Bersama
Kata 'dekat' yang memiliki makna lebih khusus adalah 'bersama'. Kata yang digunakan adalah ma'ash shabirin (bersama orang-orang yang sabar), ma'akum, ma’ana, ma’ahum (bersamamu, bersama-Ku, bersama mereka). Dan sebagainya.
Kata 'bersama' menunjukkan kedekatan secara khusus. Lebih khusus dibandingkan dengan 'meliputi'. Karena itu, penggunaan kata 'bersama' ini langsung dikaitkan dengan objeknya: bersamamu, bersama-nya, bersamaku.
Ada semacam perhatian khusus, ketika Allah mengatakan: ‘Aku bersama dengan orang-orang yang sabar’ Seakan-akan Dia ingin menegaskan bahwa Allah akan memberikan pembelaan dan melindungi orang-orang yang sabar.
QS. Al Baqarah (2) : 153
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
QS. Al Hadiid (57) : 4
Dialah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa, yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
QS. Al Anfal (8) : 46
Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar
Dan banyak lagi ayat lainnya tentang makna 'kebersamaan' itu. Tapi sangat jelas, bahwa ketika Allah menggunakan kata ‘bersama’, maka Dia sedang menunjukkan kedekatan yang lebih dekat dibandingkan dengan 'meliputi'.
3. Dekat.
Tingkat yang berikutnya lagi adalah ‘dekat’ alias Qarib. Ini adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan kedekatan secara lebih emosional. Di banyak ayat Allah menggambarkan kedekatanNya dengan kata qarib. Di antaranya adalah berikut ini.
QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran
QS. Al A'raaf (7) : 56
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik
QS. Qaaf (50) : 16
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya
QS. Huud (11) : 61
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Ayat-ayat di atas memberikan penegasan kepada kita bahwa Allah menggunakan kata 'qariib' untuk menggambarkan kedekatan secara emosional (ingat istilah 'sahabat karib'). Misalnya: bertobatlah kepada Nya. Sesungguhya tuhanku amat dekat, lagi memperkenankan do'a.
Demikian pula pada ayat-ayat sebelumnya. Dia menggunakan kata qariib untuk memancing kita lebih dekat lagi secara emosional. Bahwa Allah sangat menyayangi kita. Bahwa Allah sangat pemurah dan pemaaf. Bahwa Allah pasti memperkenankan do'a kita. Sehingga, ketika seseorang telah dikatakan dekat dengan Allah, dia adalah orang yang beruntung, karena rahmat dan kasih sayangNya selalu menaunginya di dunia dan akhirat..
QS. Ali Imran (3) : 45
Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),
QS. Al Waqi’ah (56) : 11
Mereka itulah orang yang didekatkan kepada Allah
QS. Al Muthaffifin (83) : 21
Yang disaksikan, oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).
QS. Al Muthaffiffin (83): 28
(yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.
4. Di sisiNya
Istilah lain untuk menggambarkan kedekatan makhluk dengan Allah adalah 'indallah' alias di sisi Allah. Kata indallah yang dikaitkan dengan kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya, biasanya menggambarkan posisi yang tinggi. Diantaranya adalah ayat-ayat berikut ini.
QS. Ali Imran (3) : 169
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki
Di antara hamba-hamba yang didekatkan di sisi Allah itu adalah para pejuang yang mati syahid. Yang mengorbankan hidupnya untuk mengabdi di jalan Allah. Melakukan syi'ar agama untuk kemajuan umat.
Ada beberapa tingkat kualitas seiring dengan kualitas pengabdian dan amalannya. Sehingga Allah mengatakan bahwa kedudukan mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah. Allah mengampuni dosa dan kesalahan mereka. Dan mereka memperoleh balasan yang baik di sisiNya. Bahkan di bagian terakhir dari urutan ayat di bawah ini, saya kutipkan firman Allah yang menegaskan bahwa itulah orang-orang yang imannya benar. Karena itu, mereka memperoleh ampunan dan rezeki dari Allah. Mereka diberi derajat yang tinggi di sisiNya.
QS. Ali Imran (3) : 163
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
QS. Shaad (38) : 25
Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.
QS. Shaad (38) : 40
Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.
QS. Al Anfal (8) : 4
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia.
5. Berserah Diri
Dan, tingkat kedekatan yang paling tinggi adalah 'berserah diri' kepada Allah. Muslimuun. Inilah suatu tingkatan, dimana ego soseorang sudah sedemikian rendahnya. Dan, yang muncul hanya Ego Allah saja.
Dirinya telah lebur ke dalam Diri Allah. Sifat-sifatnya juga lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah. Kehendaknya telah luluh ke dalam Kehendak Allah. Itulah yang di dalam hadits Qudsi dikatakan bahwa orang-orang demikian itu 'melihat dengan penglihatan Allah, mendengar dengan pendengaran Allah, dan seluruh langkah perbuatannya dilambari oleh ilmu-ilmu Allah.'
Di dalam Al Qur’an salah satu hamba yang diceritakan memiliki tingkat kedekatan seperti itu adalah nabi Khidir. Sehingga ia digambarkan sebagai nabi yang misterius, dan sulit dipahami jalan pikiran dan perbuatannya. Jangankan oleh manusia pada umumnya, setingkat nabi Musa pun sulit mengikuti jalan pikiran nabi Khidir. Hal itu diceritakan Allah dalam QS. Al Kahfi ayat 60 - 82.
QS. Al Kahfi (18) : 65
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami
Cerita itu sangat panjang, silakan dibaca sendiri dari Al Qur’an. Tapi sebagai gambaran umum, Allah menyuruh nabi Musa untuk berguru kepada nabi Khidir, seorang nabi yang tidak terkenal dan misterius di pinggiran pantai, pertemuan dua lautan.
Ketika mengikuti perjalanan nabi Khidir itulah, nabi Musa sempat beberapa kali dibuat heran dan marah, karena nabi Khidir melakukan hal-hal yang tidak masuk akalnya.
Yang pertama, Khidir merusak perahu nelayan miskin. Yang kedua, dia membunuh seorang anak kecil. Dan yang ketiga, dia mengajak Musa untuk membangun sebuah rumah tua yang sudah roboh, tanpa upah.
Maka, kata Khidhr, Inilah saat kita berpisah, karena engkau tidak sabar mengikutiku, sekarang aku tunjukkan alasan seluruh perbuatanku itu. Kemudian, Khidir membeberkan semuanya. Bahwa, semua perbuatannya itu bukan karena hawa nafsunya, melainkan untuk kepentingan yang lebih besar, yang tidak diketahui oleh Musa.
Bahwa merusakkan perahu itu, justru untuk menyelamatkan perahu milik nelayan tersebut agar tidak dirampas oleh seorang raja lalim. Membunuh anak kecil, dimaksudkan untuk menyelamatkan anak itu sendiri dari dosa dan juga orang tuanya yang saleh. Karena anak itu akan menjadi anak yang jahat.
Sedangkan, membangun rumah yang roboh dimaksudkan untuk menyiapkan harta peninggalan bagi anak-anak yatim yang tinggal di rumah tersebut. Hartanya ditinggalkan di bawah rumah oleh orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Dan yang menarik, di akhir cerita itu, Khidir mengungkapkan bahwa semua itu bukanlah atas kehendaknya, melainkan Kehendak Allah. Sebagaimana diinformasikan Allah dalam potongan ayat-ayat berikut ini.
QS. Al Kahfi (18) : 82
“…dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri…”
Ini sungguh merupakan tingkat kedekatan yang tiada taranya. Bahwa nabi Khidir telah bisa menyatukan kehendaknya dengan Kehendak yang Maha Tinggi, Kehendak Allah, Sang Maha Tahu..
Namun, kedekatan semacam ini tidak bisa ditiru begitu saja oleh orang lain. Tidak bisa, kita melakukan kesewenang-wenangan, kemudian mengatakan bahwa semua itu atas kehendak Allah, seperti nabi Khidir! Bisa sangat berbahaya. Seperti sebagian murid-murid Siti Jenar yang dikabarkan berbuat semaunya, dengan alasan telah bersatu dengan Allah. Manunggaling kawula kelawan Gusti.
Untuk mencapai tataran itu ada suatu proses panjang yang mesti dijalani. Menghilangkan ego diri sendiri dan memunculkan Ego Allah.
BAGAIMANA CARA MENDEKATINYA
Jadi bagaimanakah kita harus mendekatkan diri kepada Allah?
Ternyata, kuncinya sederhana saja: luruskan 'wajah' kita hanya kepada Allah. Jangan 'tolah-toleh' kemana-mana.
Bagaimana riilnya?Juga sederhana: ikuti dan pahami tatacara ibadah yang diajarkan Rasulullah saw. Jangan terjebak hanya pada kulitnya saja. Jangan terjebak pada 'upacara kosong' belaka. Karena proses kedekatan itu bakal muncul dalam Jiwa kita, seiring dengan 'kedalaman makna' ibadah yang sedang kita jalani.
Semakin paham kita tentang apa yang kita jalani, semakin nyambung hati kita dengan Allah. Dan kemudian tertulari oleh Sifat-Sifat UniversalNya. Maka semakin dekatlah kita kepada Allah. Sifat-Sifat itu, lantas akan terpancar dalam keseharian kita.
Sebaliknya, ketika kita tidak paham makna ibadah, kita bakal menjauh dariNya, karena hati tidak pernah nyambung denganNya. Dan karenanya, Sifat-Sifat Allah juga tidak muncul dalam keseharian kita. Yang muncul egoisme.
Maka dalam praktek kehidupan kita, makna jauh' dan 'dekat' kepada Allah tergambar dari pancaran Sifat-Sifat ketuhanan dalam diri kita.
Kalau Allah Maha Adil, dan kemudian kita bergerak ke arah ketidakadilan, maka jelas-jelas kita sedang menjauhi Allah. Kalau Allah tidak pernah berbohong, dan kemudian kita suka berbohong, itu pun sangat jelas kita sedang bergerak menjauhi Allah.
Kalau Allah menebarkan rahmat kepada seluruh alam, dan lantas kita melakukan berbagai perusakan terhadap alam sekitar kita, maka itu pun sangatlah gamblang, kita sedang menjauhi arah.
Pokoknya, ketika Allah menunjukkan Kasih SayangNya yang bersifat universal, tapi kita menunjukkan ego yang bersifat individual, maka kita sedang bergerak menjauhi Allah.
Kalau ingin mendekatkan diri kepada Allah, kuncinya cuma satu: terapkanlah Sifat-Sifat Universal Allah dalam kehidupan kita sebagai refleksi ibadah kita. Maka bisa dipastikan, kita sedang bergerak menuju kepada Allah. Jiwa kita sedang berproses menuju Sifat-Sifat Allah yang universal.
Keadilan, kejujuran, kebijaksanaan, pemaaf, dermawan, lemah lembut, sopan santun, rasa belas kasihan, semangat keilmuan, kecerdasan, dan berbargai sifat positif berkualitas tinggi lainnya, adalah sebagian dari Sifat-Sifat Universal ketuhanan.
Maka, orang yang memiliki sifat-sifat demikian itu pada hakekatnya telah menyatukan sifat-sifatnya dengan Sifat-Sifat Ketuhanan. Semakin universal perilakunya, semakin menyatulah dia dengan Perilaku-Nya.
Jadi, pemahamannya menjadi sangat sederhana. Bahwa orang-orang yang menjalankan perilaku egoistik dalam hidupnya, sebenarnya dia sedang bergerak menjauh dari 'kualitas Ketuhanan'. Sebaliknya, orang yang menjalani perilaku universal, dia sedang mendekatkan diri kepada 'kualitas ketuhanan'. Dan ketika sudah demikian universalnya, maka dia telah 'menyatu' dengan 'Kualitas Ketuhanan' itu sendiri.
Al Qur’an mengajarkan tiga kualitas kepribadian seorang manusia. Yang paling rendah adalah bersifat egois individualis. Yang lebih tinggi, bersifat sosialis. Dan yang paling tinggi adalah spiritualis.
Ketiga sifat itu bertingkat-tingkat kualitasnya menjadi semakin universal. Kenapa sifat-sifat sombong, serakah, menang sendiri, pemarah, pembohong, menipu, pendendam dan sebagainya dilarang oleh Allah? Karena semua sifat itu bertumpu kepada sifat egois. Mementingkan diri sendiri.
Oleh Allah, kita diperintahkan untuk menggesernya menjadi sifat-sifat yang lebih sosial. Kita disuruh banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Menolong dengan harta benda kita, dengan ilmu, dengan kekuasaan, dan dengan apa pun yang kita miliki sebagai kelebihan. Inilah hakikat dari konsep hablum minannas.
Jika semua itu kita jalankan dengan penuh keikhlasan, barulah kita beranjak menuju tingkatan paling tinggi, yaitu spiritualis. Tingkatan yang mengamalkan Sifat-Sifat Ketuhanan tanpa pamrih. Kecuali hanya karena Allah semata. Lillahita'ala!
Inilah hakekat hablum minallah. Hubungan dengan Allah itu baru bisa berjalan sempurna kalau kita sudah melatih dan melewati interaksi kemanusiaan secara baik pula. Hablum minannas menjadi landasan bagi hablum minallah!
Semua itu bisa kita lakukan, hanya kalau kita berserah diri kepada Allah. Tidak ada tujuan lain dalam kehidupan kita. Laa ilaaha illallah...
Dirinya lenyap. Yang ada hanya Allah. Inilah yang dikatakan oleh Allah dalam Al Qur’an ketika menolong orang-orang mukmin dalam sebuah peperangan yang sangat menentukan.
QS. Al Anfaal (8) : 17
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Atau, dalam sebuah hadits Qudsi sebagaimana kita bahas sebelumnya:
“dia melihat dengan penglihatan Allah, dia mendengar dengan pendengaran Allah, dan dia berbuat dengan bimbingan ilmu-ilmu Allah.”
Memang, badannya masih ada. Karena ia adalah seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Tapi, egonya telah lenyap, melebur ke dalam Ego Allah. Dia itulah orang yang paling pantas disebut sebagai khalifatu fil Ardhi - wakil Allah di muka bumi. Keberadaannya selalu mencerminkan keberadaan Allah. Ia menjadi pantulan Sifat-Sifat ketuhanan bagi kemaslahatan makhlukNya tanpa pandang bulu.
Rahmatan lil 'alamin...
Kalau dia hadir, siapa saja yang berada di dekatnya akan merasakan ketentraman dan kedamaian. Bukan malah memperoleh berbagai macam masalah. Begitulah memang Sifat Allah, barangsiapa 'ingat' dan 'dekat' denganNya, maka ia akan merasakan ketentraman dan kedamaian.
QS. Ar Ra'd (13) : 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Kita jadi teringat kepada rasulullah saw. Seorang teladan yang luar biasa. Keberadaannya selalu memberikan rahmat pada sekitarnya. Kecuali, orang-orang yang memang tidak mau menerimanya. Hati yang tertutup terhadap rahmat.
Sejak kecil sampai wafatnya, beliau mengalami proses penyempurnaan menuju Sifat-Sifat Universal Ketuhanan. Dikenal sebagai orang yang jujur, adil, amanah, sulit marah, penuh belas kasihan dan sangat pemaaf.
Bahkan sampai kepada 'musuh-musuhnya' pun beliau tidak pernah menganggap musuh. Melainkan sebagai orang-orang yang patut dikasihani, karena tidak mengikuti ajaran islam yang dibawanya. Mereka pasti akan mendapat bencana karenanya.
Tidak ada dendam dan kebencian yang beliau tebarkan. Yang ada hanya kasih sayang, Rahmat. Karena itu, ketika beliau ditodong pedang mau dibunuh oleh orang kafir, beliau hanya tersenyum.
‘Siapa yang bakal menolongmu dari pedangku ini Muhammad? Kata orang kafir itu. Rasulullah hanya mengatakan: Allah! Dan pedang itu pun terjatuh.
Beliau memungut pedang, dan ganti menodongkan kepada orang kafir tersebut, sambil berkata: ‘siapa yang bisa menolong kamu dari Pedang ini?’ Sambil gemetar orang itu menjawab: ‘tidak ada, ya Muhammad’. Kecuali engkau mau memaafkanku
Maka, rasulullah mengembalikan pedang itu kepadanya, dan menyuruhnya kembali kepada kaumnya. Diceritakan kemudian, akhirnya orang itu masuk Islam. Bukan karena takut kepada Rasulullah, melainkan terkagum-kagum pada keagungan sifat beliau. Rasulullah bukan menebar dendam, melainkan menebar kasih sayang dan kedamaian.
Beliau orang yang sangat sulit marah. Bahkan di kali yang lain, beliau dilempari batu sampai mukanya berdarah-darah. Bukannya marah dan sakit hati, tapi malah doa tulus yang keluar dari mulut beliau.
'Ya, Allah jangan Engkau azab mereka, karena sesungguhnya mereka belum mengerti tentang Risalah yang aku bawa ini Bukalah hati mereka untuk menerima agama ini...'
Begitu agungnya! Karena itu, digambarkan bahwa akhlak beliau adalah akhlak Qur'an. Sedangkan Qur'an adalah Firman Allah. Jadi, akhlak dan amal perbuatan rasulullah itu sebenarnya adalah manifestasi dari FirmanNya. Seorang manusia biasa, tapi mencerminkan dan memantul-mantulkan Sifat-Sifat Allah bagi sekitarnya. Rahmatan lil 'alamln...
Di akhir hayatnya, yang meluncur dari mulut beliau adalah: ummati... ummati... ! Sebuah kegelisahan kalau umatnya tersesat. Tidak mengikuti jalan Allah, terjebak pada kehidupan duniawi yang semu. Ego beliau telah lenyap, lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah yang Universal. Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi...
Secara teknis operasional, sifat-sifat yang demikian itu bisa diperoleh dan dilatih dengan teknik-teknik peribadatan yang diajarkan beliau. Mulai dari Dzikir, shalat puasa, berzakat, sampai pada ibadah haji. Seluruh ibadah yang beliau ajarkan itu adalah mekanisme untuk memperoleh kualitas jiwa tersebut. Tapi tentu saja bukan sekadar tatacaranya, karena beliau juga mengajarkan: innamal a’malu binniyat. Semua peribadatan itu akan menghasilkan kualitas pribadi yang maksimal jika dilakukan dengan niat yang benar. Bukan sekadar seremonial belaka. Nabi memperingatkan, betapa banyak orang beribadah tetapi tidak memahami maknanya. Sehingga mereka tidak mencapai tujuan yang dimaksud, kecuali Cuma 'upacara kosong' belaka.
Shalat dan Dzikir memiliki makna untuk selalu ingat dan mendekatkan diri kepada Allah Setiap saat, Shalat 5 waktu itu lebih bersifat mendisiplinkan saja. Intinya kita diajari untuk selalu ingat bahwa Allah besama kita terus, sehingga kita diajari untuk terus berdzikir di luar shalat 5 waktu.
Karena itu, orang yang mampu selalu berdzikir kepada Allah, dia akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Itulah yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang menegakkan makna shalat di dalam hidupnya.
Puasa juga adalah tatacara untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan puasa kita dilatih untuk mengontrol ego kita. Bahkan merendahkan ego, untuk mengakui Ego Allah saja.
Sayangnya, banyak orang mengira bahwa dengan tidak makan dan tidak minum, serta yang membatalkan puasa saja, mereka akan bisa mendekatkan diri kepadaNya. Tidak, kata Rasulullah. Banyak orang berpuasa, ternyata tidak memperoleh makna puasa, kecuali cuma lapar dan dahaga.
Begitu pula zakat dan haji. Zakat adalah latihan untuk tidak bersifat posessive secara berlebihan kepada harta benda. Ini adalah bagian dari latihan untuk menjauhkan kita dari dunia dan mendekatkan diri kepada Allah.
Bukan berarti kita tidak boleh menikmati dunia, melainkan menghilangkan rasa 'memiliki'. Sebab semua ini adalah milik Allah. Dialah yang memberi dan mencabut rezeki dari hamba-hambaNya, kapan pun Dia menghendaki.
Sedangkan haji, adalah sebuah prosesi unik, dimana kita diperintahkan Allah untuk meneladani dan napak tilas perjalanan hidup nabi Ibrahim. Seorang nabi yang berderajat sangat tinggi, sehingga memperoleh gelar Kholilullah: nabi Kesayangan Allah.
Jadi, ringkas kata, cara pendekatan kita kepada Allah sebenarnya sangatlah sederhana. Ikutilah cara Rasulullah saw dengan berbagai teknik ibadah yang beliau ajarkan. Dijamin ego kita akan semakin rendah dan semakin rendah. Akhirnya bisa berserah diri hanya kepada Allah. Asalkan ini yang penting niatnya benar. Kepahamannya benar, Lurus hanya karena Allah semata : lillahi ta'ala... (Dahlia Putri)
BERTEPUK SEBELAH TANGAN
Ada pepatah mengatakan: ‘jangan bertepuk sebelah tangan’ Sebab bertepuk sebelah tangan tidak akan menghasilkan bunyi tepukan. Sebuah pepatah yang menggambarkan cinta yang tiada berbalas. Mencintai, tapi tidak dicintai.
Pepatah itu hanya berlaku untuk cinta antara sesama manusia. Tidak akan pernah berlaku untuk seorang hamba dengan Tuhannya. Allah adalah Dzat yang Maha Mencintai. Sumber segala Cinta, yang tiada pernah memudar. Yang terus mencintai meskipun tidak dicintai oleh sebagian hamba-hambaNya. Yang CintaNya mengalir deras, tanpa ada yang bisa mengukurnya.
Karena CintaNya itulah alam semesta ini ada. Karena CintaNya itu pula alam semesta tertata dan terpelihara begitu rapinya. Karena Cinta itu pula manusia tercipta. Dan karena Cinta itu pula segalanya bakal kembali kepadaNya.
Cinta hanya bisa disambut dengan cinta. Barulah tercipta kebahagiaan. Jika Cinta hanya bertepuk sebelah tangan, ia menjadi tidak ada gunanya bagi kebersamaan. Sang Pemberi Cinta tetap berbahagia, karena Cinta memang tidak harus memiliki. Tetapi sayang, orang yang dicintai tidak menyadari. Maka, sebuah kebahagiaan tak terkira dalam kebersamaan, terlewatkan begitu saja.
Kebahagiaan Cinta, sesungguhnya, bukan dirasakan oleh orang yang dicintai, melainkan oleh orang yang mencintai. Jadi, berbahagialah orang yang mencintai. Dan rugi besarlah orang yang tidak bisa mencintai.
Karena itu, Kebahagiaan selalu bersama Allah sebab Dia adalah sumber Segala Cinta. Dia adalah sumber Segala Kebahagiaan. Begitulah, Sumber Cinta dengan sendirinya adalah Sumber Kebahagiaan.
Maka, kalau kita ingin berbahagia, 'Bercintalah' dengan Sumber Cinta dan Kebahagiaan itu. Bukan sekadar ingin dicintai, atau menuntut untuk dicintai, melainkan justru MencintaiNya. Mencintai adalah jalan menuju Kebahagiaan. Semakin Cinta Anda kepada Allah, semakin bahagialah Anda!
Allah membangun 'Kerajaan Kebahagiaan' di dalam 'Kerajaan Cinta'. Kebahagiaan hanya bisa diraih oleh orang-orang yang menasbihkan dirinya sebagai Hamba Cinta. Bukan hamba kebencian. Bukan hamba dendam. Bukan hamba Keserakahan. Cinta menjadi sumber kebahagiaan yang tiada habisnya. Apa pun menjadi membahagiakan ketika disentuh oleh Cinta. Dan memunculkan derita ketika disentuh dendam, kebencian dan keserakahan. Anda bisa menciptakan kebahagiaan apa pun seperti yang Anda inginkan ketika Anda menjadi hamba Cinta.
Karena itu, orang-orang yang berada di dalam surga digambarkan bisa memperoleh kebahagiaan apa pun yang dia inginkan. Sebab, ia adalah hamba Cinta. Ia berada di dalam Kerajaan Cinta. Ia dinaungi oleh Sang Maha Mencintai. Itulah kebahagiaan yang tiada putus-putusnya. Tiada habis-habisnya. Ruang dan Waktu terus menaburkan aroma bahagia bagi orang yang sedang dimabuk Cinta...
QS. An Nuur (24) : 42
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah kembali (semua makhluk).
Ali Imron (3) : 26
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
QS. Al Insaan (76) : 20
Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar
QS. Yaasiin (36) : S8
(Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Menyayangi.
Tidak sayangkah kita melewatkan 'Cengkerama Cinta' itu? Tidak sayangkah kita, membiarkan Mahligai Kebahagiaan berlalu begitu saja? Hanya bertepuk sebelah tangan? Sama sekali bukan Allah yang rugi, karena Ia adalah sumber Cinta. Bahkan Dia adalah Cinta itu sendiri. Karena itu, Dia adalah sumber Kebahagiaan. Cinta selalu hadir bersama-sama dengan Kebahagiaan dan Kedamaian.
Allahumma antassalam wa minkassalam
tabaarakta rabbana yaa dzaljalaali wal ikram
(ya Allah Engkaulah Kebahagiaan dan dari Mu-lah bersumber segala kebahagiaan, Engkau Maha Mulia Tuhanku, wahat Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan.)
Begitulah setiap kali kita berdoa kepada Allah, seusai shalat. Bahwa Dia adalah sumber keselamatan, kebahagiaan, dan kedamaian. Bahkan sebenarnya Dia adalah 'Kedamaian' itu sendiri. Dialah 'Keselamatan' itu sendiri. Dan Dia jugalah 'Kebahagiaan' itu sendiri. Dia adalah Dzat Mutlak, yang dariNya bersumber segala rasa Bahagia dan Cinta.
Sedangkan kita, manusia, hanyalah makhluk yang bergerak antara Cinta dan Benci. Antara Rindu dan Dendam. Antara Bahagia dan Nestapa. Maka, terserah kita mau memilih apa. Karena sesungguhnya Dia telah memberikan Kehendak dan CintaNya, kepada kita.
Jangan sampai Cinta tak berbalas Cinta, hanya karena kita memiliki "Kehendak' untuk memilih. Yang justru, karena 'kebebasan memilih' itu kita menjadi celaka. Sementara, seluruh makhlukNya di alam semesta, telah membalas CintaNya dengan sepenuh pengabdian. Mereka bertasbih sepenuh Cinta dan ketaatan, dalam keharmonisan yang mempesona. Keseimbangan yang tiada cela. Cinta telah berbalas Cinta. Dan mereka telah menemukan kebahagiaan yang tiada putus-putusnya.
QS. Al Israa' (17) : 44
Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
QS. An Nuur (24) : 41
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) Sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Begitulah hamba-hamba Allah di alam semesta mengekspresi-kan cintanya kepada Allah. Bertasbih dengan cara 'memuji-muji' KebesaranNya. Kadang, lewat cara yang sama sekali tidak kita mengerti. Karena, memang tidak menggunakan bahasa manusia. Bukankah bahasa hanya sekadar media, substansinya adalah makna tasbih mengagungkan Allah yang Maha Suci.
Hamba-hamba yang terlanjur Jatuh Cinta kepadaNya tidak memiliki rasa jenuh dan bosan. Karena, semua itu membawa nikmat. Bahkan ada kerinduan untuk selalu mengulang, mengulang dan mengulang. Getaran lembut yang menentramkan itulah yang menjadikan 'ketagihan'. Menciptakan kerinduan...
Ini persis seperti, dikatakan Allah dalam penutup ayat berikut ini, bahwa bertasbih itu bukan memberikan kebosanan, kejenuhan, dan rasa tertekan, melainkan malah memunculkan rasa bahagia dan senang (la'allaka tardlo). Semakin diulang-ulang, pagi, siang, dan malam, semakin tenteram dan berbahagialah kita.
QS. Thaahaa (20) : 130
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.
Di ayat lain, Allah juga mengungkapkan bahwa berdzikir kepada Allah itu akan menentramkan hati. Bahkan ada penegasan: ketahuilah, dengan berdzikir itu hati manusia akan menjadi tenteram.
QS. Ar Ra'd (13) : 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Karena itu kegiatan berdzikir dan bertasbih kepada Allah menjadi demikian nikmatnya. Mereka tidak pernah mengeluh atau melakukan pilihan. Tasbihnya telah menghantarkan mereka pada pengabdian yang membahagiakan. Telah meleburkan dirinya dengan 'Kualitas Ketuhanan' yang sesungguhnya. Bahkan, mereka telah menjadi bagian dari Tanda-Tanda Kebesaran Allah di alam semesta.
QS. Al Anbiyaa (21) : 20
Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.
QS. Al 1mran (3) : 190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal,
QS. Al An'am (6) : 75
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.
QS. Al An'am: 97
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.
Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan betapa Allah menampakkan tanda-tanda Kebesaran dan KeagunganNya di alam semesta. Langit dan bumi beserta seluruh isinya, bertasbih mengagungkan Allah lewat aktivitas yang mereka lakukan.
Mereka tak punya pilihan dan memang tidak diberi pilihan oleh Allah. Berbeda dengan manusia yang diberi pilihan oleh Allah, untuk taat atau ingkar kepada Allah.
QS. Ali Imran (3) : 83
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.
QS. Ar Ra'd (13) : 15
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.
QS. Fushshilat (41) : 11
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Coba cermati ayat-ayat di atas, Allah menggambarkan betapa makhluk makhlukNya di seluruh langit dan Bumi tunduk patuh kepadaNya. Ada yang datang dengan suka maupun terpaksa. Siapakah yang tunduk dan taat? Siapa pula yang terpaksa?
Ayat di atas menjawab sebagiannya. Bahwa, ternyata langit dan bumi datang dengan suka hati. Ya, seluruh benda-benda langit 'datang' kepada Allah dengan suka hati. Mereka bertasbih, berdzikir, mengagung agungkan Allah dengan penuh cinta dan kebahagiaan, lewat seluruh gerak dinamis dan interaksinya.
Namun, ada juga yang datang dengan terpaksa. Siapakah dia? Ternyata, dari golongan manusia. Sebagian besar manusia! Yaitu, orang-orang yang ingkar terhadap Dzat Ketuhanan. Orang-orang yang terjebak pada kebodohan kehendaknya sendiri.
Justru karena Allah memberikan 'kehendak bebas' kepadanya itulah, manusia cenderung untuk mendahulukan egonya, ketimbang beribadah kepada Allah. Padahal beribadah itu bukan untuk kepentingan
Allah. Bukan untuk kebahagiaan Allah. Allah tidak membutuhkan apa-apa, karena ia sudah memiliki segalanya. Bahkan Ia Maha Segalanya. Ia Sumber segalanya.
Manusia banyak yang lupa atau tidak mengerti, bahwa kebahagiaan yang sejati sebenarnya bukan ketika mereka menonjolkan egonya. Tetapi ketika meleburkan egonya ke dalam ‘Super Ego’ Allah.
Kita sering berpendapat bahwa kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika kita bisa memenuhi segala keinginan kita. Tapi cobalah ingat-ingat, pernahkah kita bisa memenuhi segala keinginan kita. Pernahkah kita bisa memuaskan seluruh kehendak kita. Pernahkah kita bisa memperoleh kebahagiaan yang sebenar-benarnya.
Rasanya tidak, bukan? Kenapa? Karena kita tahu persis, kita memiliki serba keterbatasan. Bahkan alam sekitar kita juga memiliki serba keterbatasan. Lingkungan sosial politik kita juga memiliki keterbatasan, Sistem ekonomi kita memiliki kerterbatasan. Segala yang ada di sekitar kita memiliki keterbatasannya. Padahal, 'kehendak' kita memiliki keinginan yang tidak ada batasnya! Jadi, bagaimana kita bisa memuaskan segala keinginan kita? Pasti tidak akan pernah terpuaskan dalam arti, yang sesungguhnya.
Paling-paling hanya kebutuhan tingkat dasar saja. Itu pun seringkali gagal dan tidak memuaskan. Tidak membahagiakan. Tidak selamanya. Sebentar saja, lalu menghilang, terlepas lagi dari genggaman tangan kita.
Ada yang hilang secara alamiah. Ada yang hilang karena diambil orang. Ada yang hilang karena 'kecelakaan'. Dan, hilang karena hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan. Kita seringkali kecewa, karena banyak hal. Karena, segala yang ada di sekitar kita tidak bisa memenuhi keinginan dan kehendak kita.
Kita lupa bahwa semua ini ternyata semu belaka. Tidak pernah memuaskan. Tidak pernah kita miliki dalam arti yang sebenarnya. Tidak pernah tercapai seperti apa yang kita inginkan.
Kunci kebahagiaan, ternyata bukan pada pemenuhan ego kita. Sebab, ego kita demikian besarnya. Jauh 'lebih besar' daripada ukuran alam semesta ini. Sehingga kalau alam semesta ini pun kita miliki, masih kurang juga. Ditambah lagi sebesar itu pun masih tidak bisa memuaskan ego kita.
Kebahagiaan yang sejati justru akan tercapai ketika kita bisa menundukkan ego! Justru ada pada hilangnya ‘ego pribadi’. Dan kemudian menyatukannya dengan ‘Ego Tertinggi’. Ego yang menjadi Sumber Segala Kebahagiaan. Ego yang menjadi Sumber Segala Kepuasan, Ego Sumber Segala Kedamaian, dan Ketenteraman. 'Ego Mutlak' yang dariNya bersumber Cinta yang Sejati.
Dengan peleburan ego kita ke Ego Mutlak itulah kita bakal memperoleh segala yang kita inginkan. karena di dalam Ego itu sendiri terdapat segala yang kita inginkan. Diinginkan oleh ego pribadi kita. Segala Kebahagiaan, Kepuasan, dan Kenikmatan.
Maka kita lantas bisa memahami ayat-ayat berikut ini. Bahwa ketika kita 'kembali' kepadaNya dengan ridha dan diridhai, dengah cinta dan dicintai, kita akan memperoleh kebahagiaan yang sejati. Kita akan memperoleh 'surga' yang di dalamnya terdapat segala yang diinginkan oleh 'ego'...
QS. Al Fajr: 27 - 30
Hai jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam surga Ku.
Jadi, beban kita yang sebenarnya adalah ketika menyandang ego kita sendiri. Ego yang berasal dari Kehendak Allah. Inilah amanat paling berat yang dipikul manusia. Yang makhluk lain tidak ada yang berani memikulnya.
Mereka takut tidak akan kuat, dan kemudian menjadi 'berkhianat'. Menjadi 'tersesat'. Tidak mampu memuaskan 'kehendak bebas' dari ego itu sendiri. Mereka merasa lebih baik memilih 'datang' kepada Allah dengan ketaatan dan pengabdian. Tidak usah memilih. Dan langsung memperoleh kebahagiaannya. Memperoleh surganya.
Inilah yang oleh Allah dikatakan, bahwa surga itu sebenarnya seluas langit dan bumi. Seluruh penjuru langit dan bumi telah merasakan surga dengan segala ketaatan dan tasbihnya. Dalam sembahyangnya yang tidak kita pahami.
Masing-masing mereka telah mengalami indahnya surga. Telah merasakannya. Cuma manusia saja yang tidak merasakannya. Karena, terkungkung oleh egonya sendiri. Oleh angan-angannya sendiri. Oleh kehendaknya sendiri. Oleh 'kebebasannya' sendiri. Yang tidak pernah ada batasnya. Padahal jelas-jelas Surga telah dihamparkan kepada kita seluas langit dan bumi.
QS Ali Imran (3) : 133
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
Orang-orang yang bisa merasakan surga adalah orang-orang yang bertakwa. Yang sudah mampu mengontrol dan melepaskan dirinya dari ego bebasnya. Menyatukan dengan 'Super Ego' dari yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Inilah jalan panjang beragama. Menundukan ego kita, menyatu kembali dengan asalnya: Allah, Sumber segala Ego.
Karena itu, Allah membuat sindiran retoris kepada manusia, bahwa manusia berada di posisi yang tidak menguntungkan dengan memiliki 'kehendak bebas' itu. Kita membawa sebuah 'bom waktu' yang bisa menjerumuskan. Kita membawa amanat 'kebebasan' yang bisa berujung pada penderitaan. Disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang kita miliki.
Tapi bukan berarti Allah menjerumuskan kita dengan Fitrah penciptaan ini. Justru Allah memberikan derajat yang tinggi kepada manusia dengan menularkan sebagian EgoNya kepada manusia, sehingga memiliki 'ego pribadi'. Hanya saja Allah lantas mengingatkan kepada kita bahwa ego pribadi itu bisa berpotensi membawa derita ketika kita tidak menyadari bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki segala keterbatasan dalam memuaskan ego. Sungguh amanat yang sangat berat.
QS. Al Ahzab (33) : 72
5esungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
QS An Nahl (16) : 4
Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata,
QS. An Nahl (16) : 54
Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripada kamu, tiba-tiba sebahagian daripada kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain),
QS Yasin (36) : 77
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!
Dan banyak lagi ayat yang menegaskan betapa manusia tidak menyadari dari apa ia berasal, kemudian terjebak oleh egonya sehingga menentang Allah Sumber eksistensinya sendiri.
Maka, itulah penderitaan yang sesungguhnya. Itulah kebodohan yang sesungguhnya. Dan itulah kezaliman yang sebenar-benarnya.
Namun, Allah mencintai kita. Dan kemudian menawarkan jalan keluar atas 'kebodohan' kita. Dia menurunkan petunjukNya untuk menundukkan 'ego pribadi' kita. Bersatu kembali dengan Ego Allah. Inilah ‘jalan sejati’ yang bakal menghantarkan kita kepada Kebahagiaan yang tiada terkira. Bertemu kembali dengan Allah, Dzat Yang Penuh Cinta. Sumber Segala Kebahagiaan yang Tiada Batasnya...(Dahlia Putri)
Pepatah itu hanya berlaku untuk cinta antara sesama manusia. Tidak akan pernah berlaku untuk seorang hamba dengan Tuhannya. Allah adalah Dzat yang Maha Mencintai. Sumber segala Cinta, yang tiada pernah memudar. Yang terus mencintai meskipun tidak dicintai oleh sebagian hamba-hambaNya. Yang CintaNya mengalir deras, tanpa ada yang bisa mengukurnya.
Karena CintaNya itulah alam semesta ini ada. Karena CintaNya itu pula alam semesta tertata dan terpelihara begitu rapinya. Karena Cinta itu pula manusia tercipta. Dan karena Cinta itu pula segalanya bakal kembali kepadaNya.
Cinta hanya bisa disambut dengan cinta. Barulah tercipta kebahagiaan. Jika Cinta hanya bertepuk sebelah tangan, ia menjadi tidak ada gunanya bagi kebersamaan. Sang Pemberi Cinta tetap berbahagia, karena Cinta memang tidak harus memiliki. Tetapi sayang, orang yang dicintai tidak menyadari. Maka, sebuah kebahagiaan tak terkira dalam kebersamaan, terlewatkan begitu saja.
Kebahagiaan Cinta, sesungguhnya, bukan dirasakan oleh orang yang dicintai, melainkan oleh orang yang mencintai. Jadi, berbahagialah orang yang mencintai. Dan rugi besarlah orang yang tidak bisa mencintai.
Karena itu, Kebahagiaan selalu bersama Allah sebab Dia adalah sumber Segala Cinta. Dia adalah sumber Segala Kebahagiaan. Begitulah, Sumber Cinta dengan sendirinya adalah Sumber Kebahagiaan.
Maka, kalau kita ingin berbahagia, 'Bercintalah' dengan Sumber Cinta dan Kebahagiaan itu. Bukan sekadar ingin dicintai, atau menuntut untuk dicintai, melainkan justru MencintaiNya. Mencintai adalah jalan menuju Kebahagiaan. Semakin Cinta Anda kepada Allah, semakin bahagialah Anda!
Allah membangun 'Kerajaan Kebahagiaan' di dalam 'Kerajaan Cinta'. Kebahagiaan hanya bisa diraih oleh orang-orang yang menasbihkan dirinya sebagai Hamba Cinta. Bukan hamba kebencian. Bukan hamba dendam. Bukan hamba Keserakahan. Cinta menjadi sumber kebahagiaan yang tiada habisnya. Apa pun menjadi membahagiakan ketika disentuh oleh Cinta. Dan memunculkan derita ketika disentuh dendam, kebencian dan keserakahan. Anda bisa menciptakan kebahagiaan apa pun seperti yang Anda inginkan ketika Anda menjadi hamba Cinta.
Karena itu, orang-orang yang berada di dalam surga digambarkan bisa memperoleh kebahagiaan apa pun yang dia inginkan. Sebab, ia adalah hamba Cinta. Ia berada di dalam Kerajaan Cinta. Ia dinaungi oleh Sang Maha Mencintai. Itulah kebahagiaan yang tiada putus-putusnya. Tiada habis-habisnya. Ruang dan Waktu terus menaburkan aroma bahagia bagi orang yang sedang dimabuk Cinta...
QS. An Nuur (24) : 42
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah kembali (semua makhluk).
Ali Imron (3) : 26
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
QS. Al Insaan (76) : 20
Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar
QS. Yaasiin (36) : S8
(Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Menyayangi.
Tidak sayangkah kita melewatkan 'Cengkerama Cinta' itu? Tidak sayangkah kita, membiarkan Mahligai Kebahagiaan berlalu begitu saja? Hanya bertepuk sebelah tangan? Sama sekali bukan Allah yang rugi, karena Ia adalah sumber Cinta. Bahkan Dia adalah Cinta itu sendiri. Karena itu, Dia adalah sumber Kebahagiaan. Cinta selalu hadir bersama-sama dengan Kebahagiaan dan Kedamaian.
Allahumma antassalam wa minkassalam
tabaarakta rabbana yaa dzaljalaali wal ikram
(ya Allah Engkaulah Kebahagiaan dan dari Mu-lah bersumber segala kebahagiaan, Engkau Maha Mulia Tuhanku, wahat Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan.)
Begitulah setiap kali kita berdoa kepada Allah, seusai shalat. Bahwa Dia adalah sumber keselamatan, kebahagiaan, dan kedamaian. Bahkan sebenarnya Dia adalah 'Kedamaian' itu sendiri. Dialah 'Keselamatan' itu sendiri. Dan Dia jugalah 'Kebahagiaan' itu sendiri. Dia adalah Dzat Mutlak, yang dariNya bersumber segala rasa Bahagia dan Cinta.
Sedangkan kita, manusia, hanyalah makhluk yang bergerak antara Cinta dan Benci. Antara Rindu dan Dendam. Antara Bahagia dan Nestapa. Maka, terserah kita mau memilih apa. Karena sesungguhnya Dia telah memberikan Kehendak dan CintaNya, kepada kita.
Jangan sampai Cinta tak berbalas Cinta, hanya karena kita memiliki "Kehendak' untuk memilih. Yang justru, karena 'kebebasan memilih' itu kita menjadi celaka. Sementara, seluruh makhlukNya di alam semesta, telah membalas CintaNya dengan sepenuh pengabdian. Mereka bertasbih sepenuh Cinta dan ketaatan, dalam keharmonisan yang mempesona. Keseimbangan yang tiada cela. Cinta telah berbalas Cinta. Dan mereka telah menemukan kebahagiaan yang tiada putus-putusnya.
QS. Al Israa' (17) : 44
Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
QS. An Nuur (24) : 41
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) Sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Begitulah hamba-hamba Allah di alam semesta mengekspresi-kan cintanya kepada Allah. Bertasbih dengan cara 'memuji-muji' KebesaranNya. Kadang, lewat cara yang sama sekali tidak kita mengerti. Karena, memang tidak menggunakan bahasa manusia. Bukankah bahasa hanya sekadar media, substansinya adalah makna tasbih mengagungkan Allah yang Maha Suci.
Hamba-hamba yang terlanjur Jatuh Cinta kepadaNya tidak memiliki rasa jenuh dan bosan. Karena, semua itu membawa nikmat. Bahkan ada kerinduan untuk selalu mengulang, mengulang dan mengulang. Getaran lembut yang menentramkan itulah yang menjadikan 'ketagihan'. Menciptakan kerinduan...
Ini persis seperti, dikatakan Allah dalam penutup ayat berikut ini, bahwa bertasbih itu bukan memberikan kebosanan, kejenuhan, dan rasa tertekan, melainkan malah memunculkan rasa bahagia dan senang (la'allaka tardlo). Semakin diulang-ulang, pagi, siang, dan malam, semakin tenteram dan berbahagialah kita.
QS. Thaahaa (20) : 130
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.
Di ayat lain, Allah juga mengungkapkan bahwa berdzikir kepada Allah itu akan menentramkan hati. Bahkan ada penegasan: ketahuilah, dengan berdzikir itu hati manusia akan menjadi tenteram.
QS. Ar Ra'd (13) : 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Karena itu kegiatan berdzikir dan bertasbih kepada Allah menjadi demikian nikmatnya. Mereka tidak pernah mengeluh atau melakukan pilihan. Tasbihnya telah menghantarkan mereka pada pengabdian yang membahagiakan. Telah meleburkan dirinya dengan 'Kualitas Ketuhanan' yang sesungguhnya. Bahkan, mereka telah menjadi bagian dari Tanda-Tanda Kebesaran Allah di alam semesta.
QS. Al Anbiyaa (21) : 20
Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.
QS. Al 1mran (3) : 190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal,
QS. Al An'am (6) : 75
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.
QS. Al An'am: 97
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.
Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan betapa Allah menampakkan tanda-tanda Kebesaran dan KeagunganNya di alam semesta. Langit dan bumi beserta seluruh isinya, bertasbih mengagungkan Allah lewat aktivitas yang mereka lakukan.
Mereka tak punya pilihan dan memang tidak diberi pilihan oleh Allah. Berbeda dengan manusia yang diberi pilihan oleh Allah, untuk taat atau ingkar kepada Allah.
QS. Ali Imran (3) : 83
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.
QS. Ar Ra'd (13) : 15
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.
QS. Fushshilat (41) : 11
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Coba cermati ayat-ayat di atas, Allah menggambarkan betapa makhluk makhlukNya di seluruh langit dan Bumi tunduk patuh kepadaNya. Ada yang datang dengan suka maupun terpaksa. Siapakah yang tunduk dan taat? Siapa pula yang terpaksa?
Ayat di atas menjawab sebagiannya. Bahwa, ternyata langit dan bumi datang dengan suka hati. Ya, seluruh benda-benda langit 'datang' kepada Allah dengan suka hati. Mereka bertasbih, berdzikir, mengagung agungkan Allah dengan penuh cinta dan kebahagiaan, lewat seluruh gerak dinamis dan interaksinya.
Namun, ada juga yang datang dengan terpaksa. Siapakah dia? Ternyata, dari golongan manusia. Sebagian besar manusia! Yaitu, orang-orang yang ingkar terhadap Dzat Ketuhanan. Orang-orang yang terjebak pada kebodohan kehendaknya sendiri.
Justru karena Allah memberikan 'kehendak bebas' kepadanya itulah, manusia cenderung untuk mendahulukan egonya, ketimbang beribadah kepada Allah. Padahal beribadah itu bukan untuk kepentingan
Allah. Bukan untuk kebahagiaan Allah. Allah tidak membutuhkan apa-apa, karena ia sudah memiliki segalanya. Bahkan Ia Maha Segalanya. Ia Sumber segalanya.
Manusia banyak yang lupa atau tidak mengerti, bahwa kebahagiaan yang sejati sebenarnya bukan ketika mereka menonjolkan egonya. Tetapi ketika meleburkan egonya ke dalam ‘Super Ego’ Allah.
Kita sering berpendapat bahwa kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika kita bisa memenuhi segala keinginan kita. Tapi cobalah ingat-ingat, pernahkah kita bisa memenuhi segala keinginan kita. Pernahkah kita bisa memuaskan seluruh kehendak kita. Pernahkah kita bisa memperoleh kebahagiaan yang sebenar-benarnya.
Rasanya tidak, bukan? Kenapa? Karena kita tahu persis, kita memiliki serba keterbatasan. Bahkan alam sekitar kita juga memiliki serba keterbatasan. Lingkungan sosial politik kita juga memiliki keterbatasan, Sistem ekonomi kita memiliki kerterbatasan. Segala yang ada di sekitar kita memiliki keterbatasannya. Padahal, 'kehendak' kita memiliki keinginan yang tidak ada batasnya! Jadi, bagaimana kita bisa memuaskan segala keinginan kita? Pasti tidak akan pernah terpuaskan dalam arti, yang sesungguhnya.
Paling-paling hanya kebutuhan tingkat dasar saja. Itu pun seringkali gagal dan tidak memuaskan. Tidak membahagiakan. Tidak selamanya. Sebentar saja, lalu menghilang, terlepas lagi dari genggaman tangan kita.
Ada yang hilang secara alamiah. Ada yang hilang karena diambil orang. Ada yang hilang karena 'kecelakaan'. Dan, hilang karena hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan. Kita seringkali kecewa, karena banyak hal. Karena, segala yang ada di sekitar kita tidak bisa memenuhi keinginan dan kehendak kita.
Kita lupa bahwa semua ini ternyata semu belaka. Tidak pernah memuaskan. Tidak pernah kita miliki dalam arti yang sebenarnya. Tidak pernah tercapai seperti apa yang kita inginkan.
Kunci kebahagiaan, ternyata bukan pada pemenuhan ego kita. Sebab, ego kita demikian besarnya. Jauh 'lebih besar' daripada ukuran alam semesta ini. Sehingga kalau alam semesta ini pun kita miliki, masih kurang juga. Ditambah lagi sebesar itu pun masih tidak bisa memuaskan ego kita.
Kebahagiaan yang sejati justru akan tercapai ketika kita bisa menundukkan ego! Justru ada pada hilangnya ‘ego pribadi’. Dan kemudian menyatukannya dengan ‘Ego Tertinggi’. Ego yang menjadi Sumber Segala Kebahagiaan. Ego yang menjadi Sumber Segala Kepuasan, Ego Sumber Segala Kedamaian, dan Ketenteraman. 'Ego Mutlak' yang dariNya bersumber Cinta yang Sejati.
Dengan peleburan ego kita ke Ego Mutlak itulah kita bakal memperoleh segala yang kita inginkan. karena di dalam Ego itu sendiri terdapat segala yang kita inginkan. Diinginkan oleh ego pribadi kita. Segala Kebahagiaan, Kepuasan, dan Kenikmatan.
Maka kita lantas bisa memahami ayat-ayat berikut ini. Bahwa ketika kita 'kembali' kepadaNya dengan ridha dan diridhai, dengah cinta dan dicintai, kita akan memperoleh kebahagiaan yang sejati. Kita akan memperoleh 'surga' yang di dalamnya terdapat segala yang diinginkan oleh 'ego'...
QS. Al Fajr: 27 - 30
Hai jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam surga Ku.
Jadi, beban kita yang sebenarnya adalah ketika menyandang ego kita sendiri. Ego yang berasal dari Kehendak Allah. Inilah amanat paling berat yang dipikul manusia. Yang makhluk lain tidak ada yang berani memikulnya.
Mereka takut tidak akan kuat, dan kemudian menjadi 'berkhianat'. Menjadi 'tersesat'. Tidak mampu memuaskan 'kehendak bebas' dari ego itu sendiri. Mereka merasa lebih baik memilih 'datang' kepada Allah dengan ketaatan dan pengabdian. Tidak usah memilih. Dan langsung memperoleh kebahagiaannya. Memperoleh surganya.
Inilah yang oleh Allah dikatakan, bahwa surga itu sebenarnya seluas langit dan bumi. Seluruh penjuru langit dan bumi telah merasakan surga dengan segala ketaatan dan tasbihnya. Dalam sembahyangnya yang tidak kita pahami.
Masing-masing mereka telah mengalami indahnya surga. Telah merasakannya. Cuma manusia saja yang tidak merasakannya. Karena, terkungkung oleh egonya sendiri. Oleh angan-angannya sendiri. Oleh kehendaknya sendiri. Oleh 'kebebasannya' sendiri. Yang tidak pernah ada batasnya. Padahal jelas-jelas Surga telah dihamparkan kepada kita seluas langit dan bumi.
QS Ali Imran (3) : 133
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
Orang-orang yang bisa merasakan surga adalah orang-orang yang bertakwa. Yang sudah mampu mengontrol dan melepaskan dirinya dari ego bebasnya. Menyatukan dengan 'Super Ego' dari yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Inilah jalan panjang beragama. Menundukan ego kita, menyatu kembali dengan asalnya: Allah, Sumber segala Ego.
Karena itu, Allah membuat sindiran retoris kepada manusia, bahwa manusia berada di posisi yang tidak menguntungkan dengan memiliki 'kehendak bebas' itu. Kita membawa sebuah 'bom waktu' yang bisa menjerumuskan. Kita membawa amanat 'kebebasan' yang bisa berujung pada penderitaan. Disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang kita miliki.
Tapi bukan berarti Allah menjerumuskan kita dengan Fitrah penciptaan ini. Justru Allah memberikan derajat yang tinggi kepada manusia dengan menularkan sebagian EgoNya kepada manusia, sehingga memiliki 'ego pribadi'. Hanya saja Allah lantas mengingatkan kepada kita bahwa ego pribadi itu bisa berpotensi membawa derita ketika kita tidak menyadari bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki segala keterbatasan dalam memuaskan ego. Sungguh amanat yang sangat berat.
QS. Al Ahzab (33) : 72
5esungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
QS An Nahl (16) : 4
Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata,
QS. An Nahl (16) : 54
Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripada kamu, tiba-tiba sebahagian daripada kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain),
QS Yasin (36) : 77
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!
Dan banyak lagi ayat yang menegaskan betapa manusia tidak menyadari dari apa ia berasal, kemudian terjebak oleh egonya sehingga menentang Allah Sumber eksistensinya sendiri.
Maka, itulah penderitaan yang sesungguhnya. Itulah kebodohan yang sesungguhnya. Dan itulah kezaliman yang sebenar-benarnya.
Namun, Allah mencintai kita. Dan kemudian menawarkan jalan keluar atas 'kebodohan' kita. Dia menurunkan petunjukNya untuk menundukkan 'ego pribadi' kita. Bersatu kembali dengan Ego Allah. Inilah ‘jalan sejati’ yang bakal menghantarkan kita kepada Kebahagiaan yang tiada terkira. Bertemu kembali dengan Allah, Dzat Yang Penuh Cinta. Sumber Segala Kebahagiaan yang Tiada Batasnya...(Dahlia Putri)
TAK KENAL, MAKA TAK SAYANG
Pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya, adalah sebuah proses tanpa henti menuju 'Kualitas Tak Berhingga'. Sebagaimana difirmankan Allah di dalam ayatNya, mereka memiliki tingkatan tingkatan kualitas di sisi Allah
QS. Al Imron (3) : 163
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Seperti kita ketahui, bahwa tingkat tertinggi adalah berserah diri. Muslimun. Berserah diri artinya, ego kita sudah lenyap, dan seluruh perbuatan kita hanya karena Allah semata. Kita menyerahkan seluruh orientasi dan hasil perbuatan kita hanya kepada Allah.
Agar bisa berserah diri seperti itu, tentu kita melakukannya dengan ikhlas. Orang yang tidak ikhlas, tidak akan pernah bisa berserah diri. Pasti ia punya pamrih. Dan pamrih itu adalah lambang dari ego yang masih menonjol. Orang yang ikhlas, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih. Bukan tanpa tujuan, tapi tanpa pamrih yang berorientasi pada kepentingannya sendiri. Ia melakukan segala sesuatu untuk kepentingan 'selain dirinya'.
Untuk bisa ikhlas seperti itu, tidaklah gampang. Seringkali kita tergoda, lho kalau kita tidak berorientasi pada diri kita sendiri tantas berorientasi kepada siapa. Dan siapa yang bakal mengurusi diri kita?
Di sinilah justru, kuncinya, Bahwa berorientasi kepada diri sendiri justru adalah tingkat paling rendah dalam perjalanan kualitas diri. Yang lebih tinggi adalah berorientasi pada orang lain. Dan yang paling tinggi adalah betorientasi kepada Allah saja.
Lebih jauh, seseorang bakal ikhlas menjalani suatu pekerjaan kalau dia mencintai hal itu. jika terpaksa, bisa dipastikan dia tidak ikhlas. Dengan kata lain, sebenarnya dia memiliki agenda dan tujuan lain yang berbeda. Tapi, terpaksa melakukan hal itu. Mencintai, menjadi kata kunci yang lain atas keberhasilan kita mencapai tingkat tertinggi: 'berserah diri'. Mencintai menjadi inti sifat alias ruh dari perbuatan-perbuatan kita.
Namun, mencintai tidak bisa dipaksa-paksa. Kecintaan bakal muncul dari aktivitas yang berulang-ulang, penuh penghayatan. Karena diamalkan dengan penuh ketekunan.
Cinta tidak muncul dari interaksi sepintas. Bisa saja orang mengatakan 'cinta' pada pandangan pertama. Tetapi, sebenarnya itu baru tahap 'tertarik' saja. Belum cinta. Cinta bakal terjadi setelah terjadi interaksi berulang-ulang. Penuh ketekunan. Penuh penghayatan.
Akan tetapi, interaksi berulang-ulang dengan penuh ketekunan bakal terjadi, jika kita memahami serta menghayati. Dan, tidak akan terjadi jika kita tidak berusaha mengenali dan mempelajarinya.
Jadi, awal dari semua itu adalah proses mengenal dan mempelajari. Dari belajar anda jadi paham. Karena paham, lantas bisa menjalankan dengan ketekunan. Dan muncullah cinta.
Kecintaan menghasilkan keikhlasan. Dan akhirnya, keikhlasan itulah yang menjadi landasan untuk berserah diri kepada Allah, Dzat Yang Maha Sempurna, Maha menyayangi...
Dalam kalimat yang ringkas, jika Anda tidak mengenali, maka Anda tidak akan menyayangi. Tapi proses antara mengenal dan menyayangi, kemudian berserah diri secara total itu adalah sebuah jalan panjang yang tiada bertepi. Yang ujung-ujungnya akan berakhir di Dzat Maha Agung, Ilahi Rabbi...
Nah, proses antara 'mengenal' sampai 'berserah diri' itulah yang diajarkan di dalam Al Qur’an lewat rasulNya, Muhammad saw. Bahkan, juga dicontohkan dan diteladankan oleh beliau.
Proses dari mengenal sampai berserah diri itu seringkali saya contohkan sebagai ketertarikan seseorang kepada lawan jenisnya. Katakanlah Anda seorang lelaki, melihat ada gadis cantik tinggal tak jauh dari rumah Anda.
Ketertarikan Anda itu menjadi tidak bermakna kalau Anda tidak menindak lanjuti. Tidak akan terjadi interaksi apa pun. Kalau Anda ingin membangun kedekatan dengannya, langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah mencari informasi selengkap-lengkapnya tentang gadis tersebut. Untuk apa? Agar Anda mengenal latar belakang dan mengetahui layak tidaknya ia menjadi gadis Anda.
Setelah Anda merasa cocok dengan berbagai informasi itu, dan merasa layak, maka Anda akan melangkah ke tahap berikutnya: perkenalan. Tentu Anda akan membangun strategi, agar perkenalan itu menjadi momentum yang sangat mengesankan. Dan bakal berlanjut ke jenjang berikutnya.
Perkenalan yang paling mengesankan adalah ketika Anda berkesempatan untuk 'berhadapan sendiri' dengan si gadis. Dengan berbekal informasi awal yang Anda miliki, perkenalan itu akan berjalan lancar dan tidak salah arah.
Meskipun, tentu saja, kesan yang Anda terima lewat informasi awal akan berbeda dengan kenyataan yang Anda alami sendiri. Melihat dan merasakan sendiri, tentu sangat berbeda dengan sekadar mendengar dari orang lain. Melibatkan ‘rasa’ yang sulit diceritakan dengan kata-kata.
Setelah kenal, Anda jadi ingin berdekatan terus. Ingin bertemu terus. Ingin sering bercengkerama. Ingin selalu curhat dan berbagi rasa. Itulah saat-saat Anda sedang jatuh cinta.
Dan ketika cinta sudah merasuki jiwa, maka apa pun yang diingini oleh sang gadis, Anda tak akan mampu menolaknya. Anda ikhlaskan semua yang Anda miliki. Bahkan, sampai jiwa dan raga sekalipun.
Setelah itu, yang ada hanyalah kenikmatan bersatunya jiwa dan raga dengan pasangan Anda. Saat-saat paling indah dalam mahligai perkawinan yang sejati. Hidup semati bersama sang belahan hati.
Begitulah 'cerita cinta' bersatunya sepasang anak manusia. Dan begitu pula 'cerita cinta' yang terjadi pada seorang hamba dengan Tuhannya.
Ketika cinta telah merasuki jiwa, maka yang ada hanyalah keindahan dan kenikmatan tiada tara . Apalagi, ketika cinta itu menghantarkannya melebur ke dalam 'Kualitas Ketuhanan' yang didamba-dambakannya. Sebagaimana Allah gambarkan dalam nukilan ayat-ayat di bawah ini.
QS. Al Baqarah (2) : 165
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.. . "
Cinta menjadi rahasia dan misteri yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Cinta bisa merubah segalanya menjadi lebih baik. Cinta menjadi 'bahan bakar' yang tiada habisnya untuk mencapai suatu tujuan mulia. Semakin membara cinta kita, semakin besar kobaran energi yang mendorong kita untuk mencapainya.
Maka, ketika seorang anak manusia mencintai Allah, ia telah memperoleh bahan bakar yang luar biasa besar untuk membangun 'Mahligai Cintanya'. Tempat meleburkan dirinya dengan DiriNya. Sebuah mahligai yang penuh dengan keindahan tiada tara .
Cinta bukan lagi urusan fisik. Ia adalah urusan jiwa. Fisik hanya sekadar media. Maka, jangan heran, ketika seseorang sedang terbakar cinta, ia tidak lagi terpengaruh oleh fisiknya. Fisik boleh sakit, tapi keindahan cinta tetap menguasainya. Fisik, boleh terluka, tapi keindahan cinta tak pernah meninggalkannya. Fisik pun boleh hancur lebur tak berbentuk, tapi cinta tetap saja menorehkan kebahagiaan dan keindahan abadinya. Begitulah gambaran orang beriman yang telah terbakar cinta kepada Allah, Sang Kekasihnya...
QS. Hujurat (49) : 7
“... tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu. .. “
Potongan ayat di atas menyiratkan tentang keindahan Cinta. Allah telah menggoreskan 'Pena CintaNya' ke dalam dada orang-orang yang beriman, maka keimanan itu memancarkan keindahan tiada tara dalam hatinya.
Keindahan yang tak pernah dapat dilukiskan oleh bahasa manusia. Karena ‘Cinta’ adalah bahasa ketuhanan yang paling azali: Dia adalah Dzat Yang Rahman dan Rahim penuh Cinta. Sumber segala Rasa Cinta. Sumber segala Kebahagiaan..
Bahasa manusia tidak pernah mencukupi untuk menggambarkan Rasa Cinta. Ia tetap tersimpan dalam relung hati yang paling dalam. Paling rahasia. Hanya sebagian kecil yang bisa diungkapkan lewat kata kata. Sebagiannya lewat senyuman. Sebagiannya lagi lewat bahasa tubuh. Sebagian yang lain lewat pandangan mata yang berbinar-binar. Tapi, sebagian besarnya melebur di dalam samudera jiwa yang tak terukur kedalamannya ... ! (Dahlia Putri)
QS. Al Imron (3) : 163
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Seperti kita ketahui, bahwa tingkat tertinggi adalah berserah diri. Muslimun. Berserah diri artinya, ego kita sudah lenyap, dan seluruh perbuatan kita hanya karena Allah semata. Kita menyerahkan seluruh orientasi dan hasil perbuatan kita hanya kepada Allah.
Agar bisa berserah diri seperti itu, tentu kita melakukannya dengan ikhlas. Orang yang tidak ikhlas, tidak akan pernah bisa berserah diri. Pasti ia punya pamrih. Dan pamrih itu adalah lambang dari ego yang masih menonjol. Orang yang ikhlas, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih. Bukan tanpa tujuan, tapi tanpa pamrih yang berorientasi pada kepentingannya sendiri. Ia melakukan segala sesuatu untuk kepentingan 'selain dirinya'.
Untuk bisa ikhlas seperti itu, tidaklah gampang. Seringkali kita tergoda, lho kalau kita tidak berorientasi pada diri kita sendiri tantas berorientasi kepada siapa. Dan siapa yang bakal mengurusi diri kita?
Di sinilah justru, kuncinya, Bahwa berorientasi kepada diri sendiri justru adalah tingkat paling rendah dalam perjalanan kualitas diri. Yang lebih tinggi adalah berorientasi pada orang lain. Dan yang paling tinggi adalah betorientasi kepada Allah saja.
Lebih jauh, seseorang bakal ikhlas menjalani suatu pekerjaan kalau dia mencintai hal itu. jika terpaksa, bisa dipastikan dia tidak ikhlas. Dengan kata lain, sebenarnya dia memiliki agenda dan tujuan lain yang berbeda. Tapi, terpaksa melakukan hal itu. Mencintai, menjadi kata kunci yang lain atas keberhasilan kita mencapai tingkat tertinggi: 'berserah diri'. Mencintai menjadi inti sifat alias ruh dari perbuatan-perbuatan kita.
Namun, mencintai tidak bisa dipaksa-paksa. Kecintaan bakal muncul dari aktivitas yang berulang-ulang, penuh penghayatan. Karena diamalkan dengan penuh ketekunan.
Cinta tidak muncul dari interaksi sepintas. Bisa saja orang mengatakan 'cinta' pada pandangan pertama. Tetapi, sebenarnya itu baru tahap 'tertarik' saja. Belum cinta. Cinta bakal terjadi setelah terjadi interaksi berulang-ulang. Penuh ketekunan. Penuh penghayatan.
Akan tetapi, interaksi berulang-ulang dengan penuh ketekunan bakal terjadi, jika kita memahami serta menghayati. Dan, tidak akan terjadi jika kita tidak berusaha mengenali dan mempelajarinya.
Jadi, awal dari semua itu adalah proses mengenal dan mempelajari. Dari belajar anda jadi paham. Karena paham, lantas bisa menjalankan dengan ketekunan. Dan muncullah cinta.
Kecintaan menghasilkan keikhlasan. Dan akhirnya, keikhlasan itulah yang menjadi landasan untuk berserah diri kepada Allah, Dzat Yang Maha Sempurna, Maha menyayangi...
Dalam kalimat yang ringkas, jika Anda tidak mengenali, maka Anda tidak akan menyayangi. Tapi proses antara mengenal dan menyayangi, kemudian berserah diri secara total itu adalah sebuah jalan panjang yang tiada bertepi. Yang ujung-ujungnya akan berakhir di Dzat Maha Agung, Ilahi Rabbi...
Nah, proses antara 'mengenal' sampai 'berserah diri' itulah yang diajarkan di dalam Al Qur’an lewat rasulNya, Muhammad saw. Bahkan, juga dicontohkan dan diteladankan oleh beliau.
Proses dari mengenal sampai berserah diri itu seringkali saya contohkan sebagai ketertarikan seseorang kepada lawan jenisnya. Katakanlah Anda seorang lelaki, melihat ada gadis cantik tinggal tak jauh dari rumah Anda.
Ketertarikan Anda itu menjadi tidak bermakna kalau Anda tidak menindak lanjuti. Tidak akan terjadi interaksi apa pun. Kalau Anda ingin membangun kedekatan dengannya, langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah mencari informasi selengkap-lengkapnya tentang gadis tersebut. Untuk apa? Agar Anda mengenal latar belakang dan mengetahui layak tidaknya ia menjadi gadis Anda.
Setelah Anda merasa cocok dengan berbagai informasi itu, dan merasa layak, maka Anda akan melangkah ke tahap berikutnya: perkenalan. Tentu Anda akan membangun strategi, agar perkenalan itu menjadi momentum yang sangat mengesankan. Dan bakal berlanjut ke jenjang berikutnya.
Perkenalan yang paling mengesankan adalah ketika Anda berkesempatan untuk 'berhadapan sendiri' dengan si gadis. Dengan berbekal informasi awal yang Anda miliki, perkenalan itu akan berjalan lancar dan tidak salah arah.
Meskipun, tentu saja, kesan yang Anda terima lewat informasi awal akan berbeda dengan kenyataan yang Anda alami sendiri. Melihat dan merasakan sendiri, tentu sangat berbeda dengan sekadar mendengar dari orang lain. Melibatkan ‘rasa’ yang sulit diceritakan dengan kata-kata.
Setelah kenal, Anda jadi ingin berdekatan terus. Ingin bertemu terus. Ingin sering bercengkerama. Ingin selalu curhat dan berbagi rasa. Itulah saat-saat Anda sedang jatuh cinta.
Dan ketika cinta sudah merasuki jiwa, maka apa pun yang diingini oleh sang gadis, Anda tak akan mampu menolaknya. Anda ikhlaskan semua yang Anda miliki. Bahkan, sampai jiwa dan raga sekalipun.
Setelah itu, yang ada hanyalah kenikmatan bersatunya jiwa dan raga dengan pasangan Anda. Saat-saat paling indah dalam mahligai perkawinan yang sejati. Hidup semati bersama sang belahan hati.
Begitulah 'cerita cinta' bersatunya sepasang anak manusia. Dan begitu pula 'cerita cinta' yang terjadi pada seorang hamba dengan Tuhannya.
Ketika cinta telah merasuki jiwa, maka yang ada hanyalah keindahan dan kenikmatan tiada tara . Apalagi, ketika cinta itu menghantarkannya melebur ke dalam 'Kualitas Ketuhanan' yang didamba-dambakannya. Sebagaimana Allah gambarkan dalam nukilan ayat-ayat di bawah ini.
QS. Al Baqarah (2) : 165
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.. . "
Cinta menjadi rahasia dan misteri yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Cinta bisa merubah segalanya menjadi lebih baik. Cinta menjadi 'bahan bakar' yang tiada habisnya untuk mencapai suatu tujuan mulia. Semakin membara cinta kita, semakin besar kobaran energi yang mendorong kita untuk mencapainya.
Maka, ketika seorang anak manusia mencintai Allah, ia telah memperoleh bahan bakar yang luar biasa besar untuk membangun 'Mahligai Cintanya'. Tempat meleburkan dirinya dengan DiriNya. Sebuah mahligai yang penuh dengan keindahan tiada tara .
Cinta bukan lagi urusan fisik. Ia adalah urusan jiwa. Fisik hanya sekadar media. Maka, jangan heran, ketika seseorang sedang terbakar cinta, ia tidak lagi terpengaruh oleh fisiknya. Fisik boleh sakit, tapi keindahan cinta tetap menguasainya. Fisik, boleh terluka, tapi keindahan cinta tak pernah meninggalkannya. Fisik pun boleh hancur lebur tak berbentuk, tapi cinta tetap saja menorehkan kebahagiaan dan keindahan abadinya. Begitulah gambaran orang beriman yang telah terbakar cinta kepada Allah, Sang Kekasihnya...
QS. Hujurat (49) : 7
“... tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu. .. “
Potongan ayat di atas menyiratkan tentang keindahan Cinta. Allah telah menggoreskan 'Pena CintaNya' ke dalam dada orang-orang yang beriman, maka keimanan itu memancarkan keindahan tiada tara dalam hatinya.
Keindahan yang tak pernah dapat dilukiskan oleh bahasa manusia. Karena ‘Cinta’ adalah bahasa ketuhanan yang paling azali: Dia adalah Dzat Yang Rahman dan Rahim penuh Cinta. Sumber segala Rasa Cinta. Sumber segala Kebahagiaan..
Bahasa manusia tidak pernah mencukupi untuk menggambarkan Rasa Cinta. Ia tetap tersimpan dalam relung hati yang paling dalam. Paling rahasia. Hanya sebagian kecil yang bisa diungkapkan lewat kata kata. Sebagiannya lewat senyuman. Sebagiannya lagi lewat bahasa tubuh. Sebagian yang lain lewat pandangan mata yang berbinar-binar. Tapi, sebagian besarnya melebur di dalam samudera jiwa yang tak terukur kedalamannya ... ! (Dahlia Putri)
Langganan:
Postingan (Atom)